penulis: Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA
PENDAHULUAN
Jama’ah menurut bahasa merupakan sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut syari’at Jama’ah adalah Jama’atul Muslimin, sedangkan Jama’atul Muslimin sendiri adalah masyarakat umum dari penganut Islam apabila bersepakat untuk memilih seorang amir diantara mereka dan bersepakat terhadap suatu perkara.
Jama’atul Muslimin mempunyai kedudukan yang mulia dalam syari’at Islam. Selain itu, Jama’atul Muslimin merupakan sesuatu yang wajib ditegakkan dalam kehidupan umat. Ia merupakan ikatan yang kokoh yang bila ia hancur maka akan hancur pula ikatan-ikatan Islam lainnya.
Pada kehidupan dewasa ini Jama’atul Muslimin sudah tidak berdiri. Jama’atul Muslimin telah menghilang seiring dengan dibubarkannya Khilafah Utsmaniyah tahun 1924. Maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam di dunia ini untuk mendirikan kembali Jama’atul Muslimin.
BAGIAN I
STRUKTUR ORGANISASI JAMA’TUL MUSLIMIN
1. Umat
1.1. Umat Islam
Umat menurut bahasa adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal; agama, zaman, atau tempat, baik faktor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan kerelaan.
Umat Islam tidak dibatasi oleh batas geografis. Karena sesungguhnya seluruh yang ada dilangit dan bumi ini hanyalah kepunyaan Allah SWT, sebagaimana yang Allah SWT firmankan:
“Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi.” (An-Nur:42)
Dan Allah SWT menyerahkan kekuasaan kerajaannya di bumi ini hanya kepada orang-orang yang beriman. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah telah janjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi … “ (An-Nur:55)
Jadi pada hakikatnya seluruh bumi ini merupakan tanah air umat Islam, setiap pendudukan oleh orang kafir merupakan perampasan atas hak umat Islam.
Selain tidak dibatasi geografis, yang juga harus kita fahami bahwa umat Islam bukanlah hanya umat Muhammad saw. Melainkan mulai dari manusia pertama, Adam as dan Hawa as, sampai akhir zaman nanti. Namun umat Islam dibagi menjadi dua periode, yaitu periode sebelum Muhammad saw dan periode setelah Muhammad saw, serta dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan yang menerima Islam secara menyeluruh dan yang golongan yang menerima Islam hanya sebagian-sebagian saja.
1.2. Ciri Khas Umat Islam dan Unsur Kesatuannya
a. Ciri khas
(1) Aqidah yang bersih dari segala bentuk kemusyrikan, dan pengakuan terhadap keesaan Allah dalm Uluhiyah dan Rububuyah.
(2) Aqidah yang bersifat komprehensif (menyeluruh, menyangkut seluruh aspek kehidupan)
(3) Manhaj yang bersifat Rabbani secara murni
(4) Kesempurnaan manhajnya
(5) Prinsip pertengahan dan keadilan dalam segala bidang
b. Unsur kesatuan
(1) Kesatuan aqidah, mempunyai satu sistem yang menghimpun setiap orang mengucapkan La Ilaaha Illallah secara ikhlas
(2) Kesatuan Ibadah, Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya
(3) Kesatuan adat dan perilaku, mempunyai keteladanan utama, yaitu Rasulullah saw
(4) Kesatuan sejarah, karena tidak terikat dengan tanah air atau suku
(5) Kesatuan bahasa, bahasa Arab
(6) Kesatuan jalan, jalan menuju surga
(7) Kesatuan dustur (undang-undang), yaitu Al-Quran
(8) Kesatuan pimpinan
2. Musyawarah
2.1. Definisi dan Kedudukannya dalam Kehidupan
Syuro adalah mengeluarkan bebagai pendapat tentang suatu masalah untuk dikaji dan diketahui berbagai aspeknya sehingga dapat dicapai kebaikan dan dihindari kesalahan. Prinsip syuro merupakan fitrah manusia, sadar atau tidak manusia seringkali melakukan aktifitas musyawarah ini, walaupun dalam bentuk yang kecil. Seperti menentukan akan makan malam dengan apa bersama teman, apalagi dalam bentuk yang besar seperti menentukan sebuah peraturan atau undang-undang.
Syuro merupakan dasar yang utama da sifat yang melekat dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana Allah SWT menyebutnya bersama iman, tawwakal keapada-Nya, menjauhi dosa-dosa besar dan wajib berpegang teguh kepada adab Islam pada waktu marah. Rasulullah saw menjadikan syura sebagai salah satu penentu perjalanan umat Islam untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan hidup.
2.2. Hukum Syuro
Mengingat kedudukan syuro dalm Al-Quran dan As-Sunnah, disamping peranannya yang amat besar dalam mewujudkan sistem pemerintahan, memadukan masyarakat dan memudahkan urusan rakyat dengan tepat, maka para ulama menegaskan bahwa hukum syuro adalah wajib bagi para pemimpin umat Islam di setiap zaman dan tempat. Firman Allah SWT :
“ … Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu …” (Ali ‘Imran: 159)
Namun yang jadi pertanyaan, kapankah musyawarah diadakan? Musyawarah dilaksanakan, baik dalam masalah keagamaan maupun yang masuk dalm lingkup Iijtihad, dalam masalah yang tidak ada nashnya, ataupun masalah-masalah duniawi.
Lalu, bagaimanakah proses pengambilan keputusannya? Berdasarkan sunnah Nabi saw, nampak jelas bahwa beliau senantiasa mengambil pendapat mayoritas, ketika terjadi perselisihan di antara para anggota syuro. Seperti yang pernah Nabi saw katakan,
Dari Anas bin Malik ra ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan; maka jika kamu melihat perselisihan, hendaklah kamu berpegang dengan kelompok yang terbanyak”
Namun tentu saja dengan catatan anggota syuro yang mayoritas ini merupakan orang-orang yang sudah terbukti keikhlasan dan ketaqwaannya. Pendapat yang dikeluarkan bukan berdasarkan hawa nafsu belaka, melainkan mengharapakan ridho Allah SWT dan kemashlahatan umat.
a. Syarat-syarat anggota syuro
(1) Orang yang paling banyak menguasai Al-Quran dan As-Sunnah
(2) Terpelihara akhlaknya
(3) Bijak dan mampu mengingatkan imam/amir
(4) ‘Adalah (keadilan) yang meliputi: Islam, berakal, merdeka, laki-laki, dam baligh
(5) Mempunyai kafa’ah yang cukup dalam bidangnya
(6) Cerdas dan bijak dalam berpendapat
(7) Jujur dan amanah
3. Imamah ‘Uzhma
Sejarah panjang kepemimpinan umat Islam dimuali dari Nabi Adam as, kemudian anak keturunannya dari para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya yang baik. Nabi Muhammad saw hadir sebagai penutup mata rantai kenabian dan kerasulan yang mulia. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, umat Islam dipimpin oleh khalifah,dst, yang sebagaimana disebutkan Rasulullah saw.
“Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : Kami duduk-duduk di Masjid Rasulullah saw, Basyir adalah seorang yang tidak banyak bicara. Kemudian datang Abu Tsa’labah seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’d, apakah kamu hafal hadits Rasulullah saw tentang para penguasa?” Maka Hudzaifah tampil seraya berkata, “Aku hafal khutbahnya.” Lalu Abu Tsa’labah duduk mendengarkan Hudzaifah berkata: Rasulullah saw bersabda: (1) Muncul kenabian ditengah-tengah kamu selam masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (2) Kemudian akan muncul khalifah sesuai dengan sistem kenabian selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (3) Kemudian muncul “raja yang menggigit” selama masa yang dikehendak Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketika Ia menghendakinya. (4) Kemudian akan muncul “raja yang diktator” selama masa yang dikehendaki Allah, kemudian Ia akan mencabutnya ketiaka Ia menghendakinya. (5) kemudian akan muncul (lagi) khilafah sesuai dengan sistem kenabian …”
Menurut para ulama, sekarang merupakan periode keempat, yaitu periode “raja yang diktator”. Namun kita tidak tahu kapan Allah akan mencabutnya, sehingga munculah kembali kekhalifaan uamt Islam.
3.1. Definisi Imamah
Imam menurut bahasa ialah setiap orang yang dianut oleh suatu kaum, baik mereka berada di jalan yang lurus ataupun sesat. Sedangkan menurut para ahli tafsir ialah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai pengganti (khalifah) dari Nabi saw, atau yang juga disebut Imamah kubra. Sedangkan imam sholat, imam masalah hadits atau fiqih disebut imamah sughra.
3.2. Hukum Mengenai Imam
a. Mengangkat Imam, Ibnu Hazm mengutip kesepakatan semua pihak dari Ahli Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij atas wajibnya megangkat imam. Dalam hal ini kewajiban mengangkat imam merupakan kewajiban kolektif umat Islam, atau fardhu kifayah.
b. Syarat-syarat Imam
(1) ‘Adalah berikut semua persyaratannya
(2) Ilmu yang dapat mengantarkan kepada ijtihad dalam berbagai kasus dan hukum
(3) Sehat Jasmani
(4) Mempunyai pandangan yang bijak
(5) Memiliki ketegasan dan keberanian
(6) Keturunan Quraisy, namun untuk syarat yang ke tujuh ini masih banyak perdebatan. Menurut Ibnu Hajar, orang Quraisy diistimewakan dalam kepemimpinan karena keistiqomahan mereka kepada agama Allah SWT. Namun apabila terdapat orang yang lebih mampu daripada orang Quraisy, maka ia harus diutamakan ketimbang orang Quraisy. Karena sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
Dari Anas ra, ia berkata: bersabda Rasulullah saw, “Dengarlah dan taatlah, sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habasyi yang berambut seperti anggur kering.”
4. Tujuan Jama’atul Muslimin dan Sarananya
4.1. Tujuan-Tujuan Jama’atul Muslimin
- Tujuan Khusus
(1) Membina pribadi Muslim dan mengembalikan kepribadian Islam
(2) Membina keluarga Islam dan mengembalikan karakteristik aslinya
(3) Membina masyarakat Islam yang akan mencerminkan da’wah dan perilaku Islam
(4) Mempeersatukan umat Islam diseluruh penjuru dunia
- Tujuan Umum
(1) Supaya manusia menyembah Rabb yang Maha Esa
(2) Menjalankan prinsip amar ma’ruf nahi munkar
(3) Menyampaikan da’wah Islam kepada seluruh manusia
(4) Menghapus fitnah (kemusyrikan) dari muka bumi
(5) Menaklukan Roma, Ibu Kota Italia. Karena di dalamnya terkandung pengukuhan terhadap kenabian Muhammad saw.
(6) Memerangi semua manusia hingga mereka bersaksi dengan kesaksian yang benar
4.2. Sarana Menuju Tujuan Jama’atul Muslimin
- Sarana Menuju Tujuan Khusus
(1) Wajib mengembalikan media massa, pengajaran, ekonomi dan alat-alat negara lainnya kepada Islam
(2) Menghancurkan semua unsur kemunafikan dan kefasikan di dalam umat
(3) Mempersiapkan umat Islam sebaik-baiknya sehingga sesuai dengan tuntutan zaman
- Sarana Menuju Tujuan Umum
(1) Menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada semua manusia melalui segala media
(2) Menuntut semua manusia agar masuk Islam
(3) Menuntut semua negara tunduk kepada ajaran-ajaran Islam
(4) Mengumunkan jihad bersenjata dan terus menerus sampai mencapai kemenangan.
BAGIAN II
JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
1. Hukum-Hukum Islam
1.1. Keintegralan Hukum Islam
Sejak da’wah Islam di bawah pimpinan Rasulullah saw mulai digelar di Mekkah, turunlah pengarahan-pengarahan Rabbani secara bertahap sesuai dengan keperluan jama’ah dan tuntutan yang dihadapi jama’ah. Sehingga penerapannya pun dilakukan secara bertahap. Namun pada kondisi saat ini, dimana pengarahan-pengarahan Rabbani dan Nabawiyah sudah turun secara sempurna, penerapan bertahap ini tidak bisa dilaksanakan. Setiap muslim dan jama’ah Islam dituntut melaksanakan seluruh pengarahan Rabbani dan sunnah Nabawiyah secara utuh tanpa pengurangan.
Hal ini mendapat perhatian yang besar karena sebagian besar kaum Muslimin tidak melaksanakan dan menerapkan ajaran-ajaran Islam kecuali sebagian ajaran yang sesuai dengan peraturan negara dimana mereka tinggal. Bahkan sebagian mereka ada yang mendukung dan membantu program penolakan sebagian hukum Islam.
Begitu pula halnya sebagian besar jama’ah Islam yang memperjuangkan Islam di negara-negara Islam, tidak mugkin mendapatkan legalitas untuk berda’wah kecuali setelah mengajukan daftar program kerjanya yang bersifat internal kepada pihak-pihak tertentu di dalam negara. Seandainya orang-orang Islam atau jama’ah-jama’ah itu mengetahui bahwa perbuatannya berarti membantu keberlangsungan dan eksistensi pemerintahan kafir, juga berarti melenyapkan pokok-pokok hukum ajaran Islam, niscaya mereka tidak akan melakukannya.
1.2. Penerapan dan Pembagian Hukum Islam
a. Penerapan
Penerapan hukum Islam dapat disesuaikan dengan waktu dan kondisi, dengan syarat individu atau jama’ah tersebut meyakini semua hukum Islam dan keberlangsungannya. Contoh seorang muslim yang belum akhil baligh tidak sama dengan muslim yang telah baligh, atau seorang muslim yang sedang dalam perjalanan mendapatkan keringanan pada hal tertentu.
b. Pembagian
Hukum Islam dari segi hakikat dan tata cara terbagi dua, yaitu substansi hukum dan cara pelaksanaan hukum. Contoh: membaca Al-Fatihah dalam shalat adalah substansi hukum, sedangkan cara membacanya adalah cara pelaksanaan hukum.
Dari segi pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu individu dan jama’ah. Dalam hal ini yang dimaksud jama’ah adalah jama’ah da’wah.
2. Langkah di Jalan Menuju Jama’atul Muslimin
2.1. Urgensi Langkah ini
Rasulullah saw sejak masa-masa pertama diturunkannya wahyu Ilahi menyadari bahwa tugas yang diserahknan kepadanya tidak mungkin dapat dilakukan oleh satu orang manusia, tetapi memerlukan suatu jama’ah yang kuat. Rasulullah saw mengetahui hal ini dari sejarah Nabi-Nabi sebelumnya, dimana Nabi-Nabi yang diterima kaumnya dan dapat membentuk sebuah jama’ah lebih kekal da’wahnya dan lembaran-lembaran ajarannya. Seperti Nabi Musa as dan Isa as, walaupun sudah banyak dipalsukan, kitab dan ajaran mereka masih ada.
2.2. Klasifikasi Berkaitan dengan Langkah ini
a. Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat satu jama’ah
Dalam hal ini para da’i wajib masuk ke dalam jama’ah tersebut, kemudian berusaha memperbaiki kekurangannnya.
b. Kewajiban para Da’i di Negara yang terdapat beberapa jama’ah
Sikap yang harus diambil para da’i adalah menimbang prinsip-prinsip dan pemikiran semua jama’ah yang ada dengan neraca Islam yang hanif. Sehingga dapat diketahui manakah jama’ah yang lebih dekat prinsip-prinsip dan pemikirannya dengan Islam. Selanjutnya mereka bergabung didalamnya dan berusaha menyatukan seluruh jama’ah yang ada.
c. Kewajiban para Da’i di Negara yang belum terdapat jama’ah
Para da’I haruslah mendirikan jama’ah. Yang rambu-rambunya akan dibahas di bagian III
BAGIAN III
RAMBU-RAMBU SIRAH NABI SAW DALAM MENEGAKKAN JAMA’AH
1. Menyebarkan Prinsip-Prinsip Da’wah
1.1. Jalan Penyebaran
a. Kontak pribadi
Cara ini oleh para ahli sirah Rasulullah saw disebut “tahapan sirriyah dalam da’wah”. Dalam tahap ini Rasulullah saw mendatangi secara pribadi kerabat dan teman-teman dekatnya yang dapat dipercaya untuk menjaga apa yang disampaikannya.
b. Kontak umum
Cara ini oleh para ahli sirah disebut “tahapan da’wah terang-terangan”. Dalam tahap ini Rasulullah saw menggunakan beberapa sarana, diantaranya:
(1) Mengumpulkan manusia dalam suatu jamuan makan dirumahnya
(2) Mengumpulkan manusia diberbagai tempat, contoh di bukit Shafa
(3) Pergi ketempat-tempat pertemuan manusia dan menyampaikan da’wah Allah kepada mereka
(4) Pergi ke berbagai negara untuk menyampaikan da’wah
(5) Mengirim surat kepada para kepala suku dan raja
2. Pembentukan Da’wah
Pembentukan (takwin) merupakan tindak lanjut dari rambu pertama baik dalam kontak pribadi maupun jama’i. Rambu kedua ini merupakan penyempurna dan penyambung rambu pertama. Karena itu, orang-orang yang berhenti pada rambu pertama dan tidak mau beralih pada rambu kedua adalah orang-orang yang berda’wah tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sasaran pada rambu kedua ini ialah mengubah akal yang jahiliyah kepada ilmu, hikmah dan ma’rifah, dan mengubah moral dan perilakunya dari kesesatan kepada kesucian.
2.1. Sisi Penataan
a. Takwin dalam tahapan sirriyah
Takwin dalam keadaan ini Rasulullah saw membagi orang-orang yang telah menerima da’wahnya dalam beberapa kelompok kecil.
b. Takwin dalam tahapan ‘alaniyah
Dalam tahapan ini takwin yang dilakukan Rasulullah antara lain
(1) Membuat beberapa halaqah besar
(2) Mengadakan perjalanan (rihlah) jama’iyah tertentu, dalam hal ini hijrah ke Habasya dan Madinah
(3) Mengkondisikan situasi umum terhadap da’wah melalui khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah umum.
c. Takwin dalam keadaan keduanya
(1) Dilakukan secara terang-terangan oleh tokoh-tokoh Quraisy, seperti Abu Bakar ra.
(2) Dilakukan secara sirriyah oleh kelompok kaum muslimin yang lemah dan tidak memiliki dukungan kekuatan.
3. Konfrontasi Bersenjata Terhadap Musuh Da’wah
3.1. Momentum Konforntasi
Penentuan titik tolak konforntasi sepenuhnya wewenang pimpinan tertinggi jama’ah. Dan untuk mementukan titik tolak konfrontasi itu ada beberapa pengarahan
a. Independensi tempat
Jama’ah tersebut harus berkuasa penuh terhadap bumi tempat berpijak dan melancarkan aktifitasnya. Dalam hal ini jama’ah harus mengusai ekonomi, keamanan jalur komunikasi dan sarana pertahanan yang memadai. Selain itu jama’ah harus mempunyai basis geografis yang jelas. Ini penting sebagai pusat pertahanan dan pusat pembinaan.
b. Jumlah yang memadai
Maksudnya anggota jama’ah hendaknya mencapai jumlah atau persentasi tertentu dibandingkan kekuatan musuh.
4. Sirriyah dalam Kerja Membina Jama’ah
Maksud sirriyah dalam kerja membina jama’ah ialah membatasi pengetahuan program kerja pada lingkungan pimpimnan. Setiap individu dalam kerja sirri ini tidak boleh mengetahui tugas anggota yang lain, tetapi harus mengetahui tugas pribadinya.
Sirriyah adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam gerakan pembinaan jama’ah, terutama pada tahap-tahap pertama, agar tidak diberangus dalam usia dini. Sirriyah hanya pada penataan (tanzhim) saja, bukan menyangkut pemikiran atau nilai-nilai Islam yang dikemukakan.
5. Bersabar atas Gangguan Musuh
Sikap sabar ini tercermin dalm seluruh keadaan umat Islam di Mekkah sebelum hijrah. Tidak ada satupun keadaan da’wah Islam di Mekkah pada tahapan tersebut kecuali menampakkan sifat kesabaran umat Islam. Kita dapat melihat kesabaran mereka atas penghinaan dan provokasi, kendati sebagian anggota jama’ah mempunyai kemampuan untuk melawan. Namun umat Islam tetap diperintahkan untuk menahan diri.
6. Menghindari Medan Petempuran
Sesungguhnya fikrah menjauhkan kaum Muslimin dari konfrontasi merupakan taufiq (petunjuk) Allah SWT kepada Rasul-Nya. Menjauhi konfrontasi pada tahap takwin adalah sikap yang diwajibkan Islam dan dituntut oleh jama’ah pada tahapan masih awal, karena ini juga merupakan upaya perlindungan bagi pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT.
Salah satu bentuk menghindari konfrontasi ini adalah hijrahnya umat Islam ke Habasyah dan Madinah. Walaupun orang melihat sebagai bentuk ketidakberdayaan umat Islam ketika itu, namun ini sesungguhnya taktik yang sangat jitu. Mengingat beberapa tahun kemudian umat Islam kembali ke Mekkah dalam rangka penaklukan.
BAGIAN IV
TABIAT JALAN MENUJU JAMA’ATUL MUSLIMIN
Tabiat ini telah banyak dibicarakan dalam Al-Quran, dapat disimpulkan menjadi dua ketegori: kebaikan dan keburukan, antara lain.
a. Penganiayaan dari kebathilan dan para pelaku kebatilan, kemudian dia tidak mendapatkan penolong yang membela dan mendukungnya
b. Fitnah yang menimpa keluarga dan orang-orang yang dicintai lantaran dirinya, sementara itu dia tidak mampu membela mereka, padahal mereka memintanya berdamai dan menyerah demi cinta dan keselamatan keluarga
c. Pemihakan dunia kepada orang-orang yang menolak kebenaran, dan anggapan manusia bahwa mereka adalah orang-orang yang sukses sehingga mendapatkan perhatian masyarakat. Sementara itu, orang yang beriman terabaikan dan tak seorangpun mau membelanya
d. Keasingan di tengah lingkungan karena aqidah, sehingga bila ia memandang orang dan masyarakat sekitarnya, terlihatlah mereka sedang tenggelam dalam lembah kesesatan
e. Ia mendapati bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia ini tenggelam dalam kenistaan, tetapi mereka maju dan berperadaban modern, bahkan memiliki kekuatan dan kekayaan yang digunakan untuk memusuhi Allah dan agama-Nya
- Fitnah popularitas dan daya tarik kehidupan dunia. Ini merupakan bencana besar karena justru mendapatkan dukungan fitrah dan tabiat kemanusiaannya
g. Fitnah lambatnya kemenangan dan panjangnya perjalanan
h. Ftinah kebanggaan diri dan penyandaran segala sesatu kepada dirinya setelah tercapai kemenangan.
Tabiat jalan ini mempuyai sasaran tertentu, yaitu untuk mengtahui yang shalih dari yang thalih, dan membuang yang jelek dari yang baik, serta membersihkan barisan dari unsur-unsur yang akan mengakibatkan kehancuran.
Wallahu ‘alam Bishshowab