Kebahagiaanku,
merah hidupku kini
luluh
seketika terciduk penat yang memenuhi kepalaku. Kini aku terperangkap dalam
kerangka kelabu yang tak kunjung disinggahi tarian kuas aurora. Cobaan pelik
menyergapku tiap hari, tak selaksa pun cahaya berani mengeloki hidupku kembali.
Kegalauan
ini bermula dari kehamilan tiba-tiba Ibuku pada usianya yang
sudah menapaki tahun keenam dari kepala limanya. Sederhananya, ia terlalu tua
untuk hamil. Namun, bukan takdir namanya kalau aku bisa menghentikannya parkir
dalam hidup keluarga kami.
Siang itu aku mengantar Ibuku ke Rumah Sakit. Sampai saat
Ibuku dibawa ke ruang pemeriksaan pun, tak sedikit pun yang berubah dari
perasaanku. Aku memang selalu cuek dengan semua masalah, bahkan saat itu pun
aku sebenarnya sangat terpaksa mengantar Ibuku ke Rumah sakit.
Namun, kemudian aku terperanjat ketika ku dengar laporan
kesehatan Ibuku dari Dokter yang memeriksanya. Entah apa yang membuatku marah,
emosiku membuncah seketika, saat Sang Dokter mendekatiku seraya menepuk bahuku
dan berkata “ Selamat ya dek, kamu akan jadi seorang kakak tapi karena umur Ibu
kamu sudah tak lazim untuk hamil jadi jagalah Ibumu dengan baik”. Sejenak
kemudian aku mematung dan kemudian mendorong kursiku ke belakang dengan
betisku. Aku menghambur ke luar ruangan tanpa mempedulikan dokter yang
kebingungan melihat tingkahku. Bahkan, aku pun tak memperdulikan Ibuku yang
sejak tadi tertunduk menahan suatu perasaan yang tak bisa ku tebak apa itu.
Betapa tidak,baru kemarin
Ayahku tertangkap tangan
melakukan korupsi dan kini ada masalah baru pula yang akan membebani keluarga
kami. Ada monster kecil yang akan hadir dan menggerogoti kami melalui biaya
hidupnya yang tak sedikit.
Selama
ini aku yang sering membuat Orang Tuaku geram dengan perilaku barbarku, dengan Harajuku Style kesukaanku. Namun, kali ini
giliran orang tuaku yang membebani fikiranku dengan korupsi dan hamil tak
terduga.
Hari-hari berikutnya menjadi begitu sulit. Diawali dengan
penyitaan rumah kami, pembekuan seluruh deposit ayahku dan pemindah tanganan
seluruh aset keluarga kami. Kehamilan Ibuku pun membuat semakin sulit bukan
hanya bagi Ibuku tetapi juga bagiku. Aku ragu untuk melanjutkan kuliahku dalam
kondisi yang carut marut seperti ini.
Sejak itu aku layaknya orang yang sedang bermimpi, aku
bermimpi tidak bisa bermimpi lagi. Hari-hari
selanjutnya, aku pun tak pernah lagi menampakkan diri di kampus. Semua
barang-barang berhargaku sampai baju-baju ku pun, telah habis ku jual untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku malu, terutama pada teman-teman ngumpulku. Tak
pernah lagi kutengokkan wajahku ke arah klub malam tempat kami biasa
bertengger. Bahkan untuk meliriknya saja aku sudah tak sanggup lagi.
Suatu sore yang lengang, aku sedang duduk di bangku taman
dekat rumah lamaku. Kucoba merasakan desiran angin yang lembut membelai
rambutku. Kurasakan semerbak udara yang menyelimuti ruang kalbuku. Sejenak
kemudian aku mulai merentang-rentangkan tanganku sambil memijiti pundakku yang
begitu pegal berjualan baju bekasku seharian. Sesaat itu kurasakan sedikit
lelahku gugur bersama penat beriringan.
Tak lama kemudian, sekujur tubuhku terasa lemas, betisku
bergetar, kepalaku pusing tak karuan. Aku tak tau apa yang terjadi pada tubuhku
sekali ini. Karena, aku belum pernah merasakan yang seperti ini. Sesaat
kemudian kulongsorkan tubuhku memanjang di kursi taman. Tanganku pun seperti
tak punya tenaga tuk menggenggam.
Tiba-tiba melalui mataku yang berkunang, terlihat seorang
wanita berjilbab panjang menyodorkan sepotong roti padaku. Seketika aku bangkit
dan terperangah, aku memelototi wajahnya yang pucat pasi. “Sakit yang kamu
rasakan itu namanya lapar, kamu tentu belum pernah mengelaminya sebelum ini
kan?”. Dahiku berkerenyit mendengar ucapannya, bibirnya pucat seperti orang
yang kedinginan padahal jilbabnya begitu panjang menutup tubuhnya, tapi
senyumnya begitu lembut dan meyakinkan. “ Makanlah, maka kemudian kamu akan
merasa lebih baik”. Perlahan kulonggarkan sedikit jari-jemariku untuk kemudian
menerima sodoran roti darinya.
Perlahan kugigit roti itu dan kukunyah dengan hati-hati. Roti
itu pun kini memenuhi tenggorokanku, berlalu pelan menuju lambungku yang telah
kelewat asam, dan kurasakan sakit yang kualami tadi telah sedikit reda. Namun,
aku belum puas dengan satu gigitan roti kemudian ku lanjutkan gigitan
selanjutnya dan sampai pada gigitan terakhir pun aku belum juga merasa puas.
Namun, sesaat kemdian aku berdiri mematung sebab aku telah kehilangan jejak Si
Pemberi roti yang sedari tadi duduk di sampingku. “ Lho? Kemana perginya wanita
itu? Padahal aku belum mengucapkan Terima Kasih padanya”. Kini hanya tinggal angin sepi yang terasa
semilir menyapu guguran dedaunan, seketika hawa dingin menyerebak di sekelilingku.
Tak hentinya kupersalahkan seluruh nasib pelik dan
kemalangan yang terjadi di keluargaku ini kepada Orang tuaku. Meski Ibuku
semakin terseret dalam posisi yang sulit, kekurangan asupan gizi dan sakit-sakitan,
namun hatiku tak luluh olehnya. Ayahku pun terlihat semakin kurus dan tak
terurus, keadaannya menyedihkan tapi aku tak tergoyahkan. Setiap peristiwa
pelik yang terjadi harus ada yang dipersalahkan, dan dalam hal ini tidak
mungkin aku.
Selang delapan bulan demikian, Ibuku melahirkan. Tak seperti
biasanya hari itu perasaanku khawatir, bukan pada Ibu dan Adikku tapi hanya
pada Ibuku, dan tak sedikit pun untuk monster kecil itu. Seorang anak laki-laki
bernama Fikry, berperawakan kecil dan berparas aneh pun kemudian lahir dari
rahim yang sama denganku, tubuhnya begitu mungil padahal sebenarnya tak
prematurh. “Mungkin karena kekurangan gizi”, batinku.
Bertahun telah berlalu kini aku, dan kehidupanku telah
berubah 180o. Aku telah berpindah profesi dari seorang yang barbar
menjadi seseorang yang sederhana. Tiap hari aku duduk menghadap meja dan
penggorengan di los kontrakanku yang sumpek dan bau apek. Aku kini menjadi
seorang pedagang kerupuk pasir. Sementara ibuku sendiri sibuk mengurus anaknya
yang tumbuh lambat. Buih-buih nestapa tak hentinya meletup di kehidupan kami
yang semakin morat-marit. Bukannya menjauh, buih-buih nestapa itu kini menjadi
penuh di kehidupan kami, menyisakan pedih yang membuat sembab ujung mataku tiap
kali kusesali hidupku ini.
Namun, bersama dengan itu aku kini telah memiliki teman
baru, seseorang yang sering memberiku sepotong roti yang sama dengan roti yang
ia berikan padaku dulu. Perempuan pucat aneh berjilbab panjang yang selalu
menemaniku setiap saat sulit hidupku. Dia mengajariku tentang menerima cobaan
hidup dengan lapang, menerima kenyataan hidupku yang dipenuhi nelangsa
kesedihan, bahkan mengajariku untuk menyayangi adikku yang ternyata autis.
Dia juga yang telah membawaku ke salah satu mesjid di
dekat kontrakanku. Di sanalah aku diperkenalkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang
tergabung dalam organisasi yang menurutku aneh. LDK Gamais, begitulah sebutan
organisasi itu. Kukatakan aneh karena sejak awal aku melihat hal yang tak
pernah ku temui sebelumnya. Misalnya pada saat rapat mereka menggunakan tirai
tebal untuk menjadi penutup atau hijab menurut sebutan mereka, sangat aneh
bagiku untuk mendengarkan perkataan orang yang sama sekali tak dapat kulihat
wajahnya. Seperti sedang mendengarkan cincongan radio.
Kehidupanku
kini pun telah banyak berubah. Aku telah mendapatkan pekerjaan sebagai kasir di
butik muslimah milik temanku dari LDK Gamais. Aku kini lebih sering menemui
ayahku di penjara, merawat Ibuku saat ia sakit dan kini pun aku mulai dapat
menerima kehadiran adikku. Sederhananya, aku mulai sayang padanya.
Meskipun
tiap hari dan tiap saat aku selalu dibuat kesal olehnya tapi aku yakin kini
keras hatiku telah melembut dan telah luluh olehnya. Adikku yang dulu ku anggap
monster kini telah berubah menjadi adik yang telah berhasil melunakkan kukuhnya
dendam dalam dadaku. Menggugurkan kebencian yang telah mengakar jauh dalam
setiap inci di sudut hidupku. Kini aku mulai mengajarinya menulis dan membaca
dan ternyata ia begitu mudah faham dan cerdas. Meskipun aku selalu berkata-kata
kasar padanya tapi ia tetap menatapku dengan tatapan teduh yang jenaka dari
wajahnya yang unik.
Bahkan
dulu aku pernah meneriakinya aneh, gila, bodoh, pun aku pernah mengatakan
padanya bahwa impian terbesar dalam hidupku adalah melihatnya mati di
hadapanku. Agar aku bisa melihat dengan jelas bahwa monster pengganggu dalam
hidupku telah pergi untuk selamanya.
Siang
itu saat aku baru pulang dari tempat kerjaku untuk istirahat sholat dan makan. Ku
lihat lap kaki yang biasanya bertuliskan Welcome berubah menjadi ‘Hepy Birday’. “ Hehehe ini pasti ulah
Fikry, padahal hari ini aku nggak ulang tahun ckck mana tulisannya salah lagi
hehe”. Lalu aku berlari kecil ke kamarnya untuk sedikit memberinya kejutan,
tapi ia tak berada di sana. Kini aku melangkahkan kakiku menuju kamarku. Kemudian,
kutemukan lagi secarik kertas yang bertuliskan ‘Selamat kak’ . Selanjutnya kutemukan lagi di meja makan kami
secarik kertas yang bertuliskan ‘Semoga
bahagia kak’. Kemudian di depan kamarku tertera jelas di atas carik kertas
yang disambung menjadi panjang bertuliskan. “Semoga
kakak bahagia hidupnya kalo fikri tidak di sini lagi, fikri cuma bisa kasi
impian terbesar kakak ini karena fikri tidakk punya lain lagi selain diriku
sendiri”.
Secepat
kilat kubuka tirai kamarku yang agak tebal dan panjang menjulur sehingga aku
agak kesulitan untuk menyampirkannya. Namun, ketika kuliahat apa yang terjadi
di dalam, lidahku tercekat, tubuhku dingin dan aku tak dapat bergerak melihat
pandangan mengerikan di hadapanku.
Adikku, senyumnya
yang jenaka,sosok lugu yang dulu begitu kubenci telah menggantung dirinya
(bunuh diri) demi mewujudkan impianku yang dulu tak sengaja kukatakan karena emosi
yang begitu meluap-luap dalam hatiku. Aku tersungkur seketika setelah menikmati
panggung jenaka yang kini telah sirna. Adikku yang dulu begitu kubenci, bahkan
dipenghujung umurnya ia berniat untuk membahagiakanku, meski dengan cara yang
salah.
Padahal
seminggu lagi ayahku akan bebas dari penjara. Tapi kini kepiluan kembali
merundung hidupku. “Ya Allah ampuni aku, semua ini karena kata kasarku
padanya”. Ia begitu kecil dan terlalu
muda untuk mengerti yang sebenarnya.
Kini,
saat kalut dan duka memayungi hidupku kembali. Hanya Allah tumpuanku. Aku tak
mampu melihat mata Ibuku yang begitu sedih karena hal ini. Aku tak kuasa
melihat Ayahku kehilangan semangatnya karena Fikry telah tiada. Tapi aku lebih
tidak sanggup lagi menghadapi ini karena akulah yang menyebabkan adikku
berinisiatif untuk bunuh diri sebagai hadiah ulang tahunku.
Kini aku
tinggal di rumah temanku si pemberi roti yang ternyata adalah seorang
murobbiyah di LDK Gamais. Jiwaku yang tadinya kusut kini termanja oleh terpaan
taqwa dari teman-temanku di LDK Gamais. Mereka mengajariku bersabar, mereka
mengajariku tajwid setelah lama sebelum ini mereka telah berhasil membuatku
kecanduan sholat dan mengaji. Berada di
organisasi ini membuatku mengerti akan esensi hidup yang tak hanya sulit namun
begitu pelik jika tersentuh angin cobaan dari Sang Maha Pencipta.
Kini, kutangguhkan pundakku tegak untuk menerima selapang-lapangnya cobaan yang ingin mengguyur kebahagiaanku yang sesaat. Kini aku yakin setiap jengkal dalam hidupku kini akan dibanjiri Rahmat yang mengalir sejak aku berkumpul bersama teman-temanku di LDK Gamais. Mereka menuntun menuju kebaikan, mereka menempatkan diri tak hanya sebagai teman tetapi juga sebagai keluarga, saudara, dan guru yang setia.
Kini, kutangguhkan pundakku tegak untuk menerima selapang-lapangnya cobaan yang ingin mengguyur kebahagiaanku yang sesaat. Kini aku yakin setiap jengkal dalam hidupku kini akan dibanjiri Rahmat yang mengalir sejak aku berkumpul bersama teman-temanku di LDK Gamais. Mereka menuntun menuju kebaikan, mereka menempatkan diri tak hanya sebagai teman tetapi juga sebagai keluarga, saudara, dan guru yang setia.
Sejak
itu,kehidupanku lebih berwarna. Andai kelabu kembali menyerebak di sekelilingku
maka kukatakan ku hadapi cobaan karena Allah. Jika aku kembali dijatuhkan dalam
lembah ujian, harta dan keluargaku kembali diambil maka kukatakan iman di
hatiku tetap tumbuh karena Allah. Berawal dari LDK,aku dan Si Pemberi Roti.
Biodhata Penulis
Nama
Lengkap : Diah Mahastika
Nama Panggilan : Tika
Pekerjaan : Mahasiswa
Angkatan : 2011
Jurusan : Farmasi
Twitter : @diahmahastika1
Amanah :
Allah telah menciptakan kita dengan sebaik-baik penciptaan-Nya, segala rahmat
(bakat) yang ia ciptakan bersama dengan kita adalah rahmat yang tak boleh kita
sia-siakan. Tunjukkan rahmat tersebut sekali lagi karena Allah. Agar
terpeliharalah kita dalam rahmat yang murni karena-Nya.