Tanpa
basa-basi dan tanpa memberi tanda sore itu hujan turun. Deras! Deras sekali.
langit menjatuhkan butiran air yang membuat tubuhku lepek. Basah! Huuh! Aku
terus berlari menebas tiap air yang mengguyur. Aku terpaksa bermandikan air
hujan dan rela basah kuyub seperti ini agar cepat sampai ke kos ku. Ini
salahku. Karena musim hujan seperti ini memang harus membawa payung kemanapun aku
pergi. Apalagi cuaca tak menentu, Hujan sering datang tiba-tiba.
Buku
kuliahku tidak bisa di selamatkan. Air hujan lebih dulu menyentuhnya dan
membasahi setiap lembar bukuku. Padahal isi buku itu adalah materi untuk ujian
tengah semester beberapa minggu lagi. Sial!
Aku
bergegas membuka bajuku yang basah lalu meraih handuk dan segera membersihkan
seluruh tubuhku di kamar mandi. Lekas itu, ku intip dari sela jendela kamarku
ternyata hujan masih saja lebat sedangkan adzan magrib sudah berkumandang.
Memanggill jiwa-jiwa yang haus akan kenikmatan. Nikmat Allah yang tiada
tanding.
Hape-ku
berdering. Ku tahu betul itu telepon dari Fuad. Dalam satu minggu ini, selama
aku menghilang dan tak menampakan diri dihadapannya, sudah berpuluh-puluh kali
Fuad menelpon tapi tidak ada satupun teleponnya yang ku angkat. Sms-nya pun
tidak ku balas.
Selang
beberapa menit dan lagi-lagi hapeku bordering. Ada sms masuk. Dari Fuad!
Rupanya sahabatku itu tidak pantang menyerah. Dahsyat! Ku percepat gerakanku
untuk membaca sms itu,
“Assalamu’alaikum.
Saudaraku, ana dan teman-teman semua menunggu kabar dari ente. Banyak tugas
yang harus kita selesaikan bersama. Kalau ada waktu tolong balas sms ana.
Syukran.”
Ku
jatuhkan hape ke atas tempat tidurku. Ku ambil air wudhu lalu sholat magrib.
Lepas sholat, hapeku berdering. Terdengar suara Maher Zain dengan lagunya
Insyaallah mengalun indah lewat hapeku. “Huuh! Pasti telepon dari Fuad.”
kesalku dalam hati. Tapi ternyata dugaanku salah. Itu telepon dari Umi di
kampung sana.
“Assalamualaykum,
Umi.” Aku membuka pembicaraan.
“Alaykumsalam,
Nak,” balas Umi
“Ada
apa, Mi?” tanyaku, padahal dengan jelas aku sudah tahu dan bisa menebak apa
yang akan Umi katakan. Pasti soal itu lagi. Soal ajaran sesat lagi. Soal agama
sesat lagi. Soal…..
“Kamu
masih aktif di Organisasi Rohani Kampusmu itu, Nak?”
Tuh
kan benar dugaanku. Aku heran, kenapa Umi tidak bosan hampir tiap hari
menelponku. Cuma mau bilang ini? Tapi aku Aku tak bicara sepatah katapun. Aku
diam saja. Aku tak menjawab pertanyaan Umi. Karena Aku yakin Umi pasti sudah
tahu jawabannya.
“Nak,
Umi tidak mau kamu ikut yang begituan. Umi takut kamu masuk ke ajaran sesat.
Agama sesat. Apa tuh namanya? Hheemm…”
“NII,
Umi….”
“Iya..
NII. Sudah! Umi tidak mau tahu pokoknya kamu jangan deh ikut yang begituan. Oh
ya, Uang jajanmu masih ada, Nak?” di seberang sana Umi masih semangat
menasehatiku.
“Masih,
Umi,”
“Ya
sudah… Jangan lupa belajar ya, Nak. Wassalamualaykum.”
“Wa’alaykumsalam,
Umi,” Ku tutup telepon Umi.
Sudah
berapa kali aku jelaskan pada Umi kalau Lembaga Dakwah di Kampusku tuh bukan
ajaran sesat. Sudah berapa kali aku menjelaskan bahwa tidak semua yang ia lihat
di televisi sesuai dengan kenyataan. Sudah berapa kali aku tegaskan bahwa aku
tidak terlibat dan tidak akan terlibat dengan yang namanya NII, Ahmadiyah dan
lain sebagainya. Sudah berapa kali aku… Heuh! Umi Menyebalkan.
Dan
sekarang, aku pusing sendiri. Sudah seminggu ini aku tidak pernah datang ke secretariat
di masjid kampus. Sebenarnya aku mau. Mau banget. Tapi… tapi Umi melarang untuk
aku ikut organisasi keagamaan itu. Takut masuk ajaran sesat katanya. Padahal
tidak seperti itu, kan?
Aku
yakin sekali lembaga dakwah di kampus-kampus seluruh Indonesia bersih dengan
yang namanya ajaran sesat. Mungkin! Soalnya aku belum pernah mendengar ada anak Rohis yang terjerumus ke
ajaran sesat. Justru anak-anak yang biasa-biasa saja yang terjerumus. Anak-anak
yang ikut organisasi di luar organisasi Dakwah kampus lah yang justru terjun
kedalam ajaran sesat macam NII itu. Kesal!
Dalam
hati ada getar yang begitu abstrak. Seperti terguncang sebuah gempa dahsyat
tapi hanya dalam mimpi. Seperti getaran ketika naik kereta. Tapi… ini begitu
asing dan sulit untuk aku jelaskan.
Allah, inilah
aku dengan wajah seadanya menatap-Mu penuh harap. Sesungguhnya Engkaulah maha
tahu dari segala yang diketahui dan tidak diketahui.
Diluar
hujan masih saja deras. Bau tanah basah yang menyeruak kepermukaan semakin kuat
terhirup hidung. Bulan, jelas dia masih enggan menampakkan diri. Mungkin nanti.
Selepas hujan reda. Atau malah malam ini ia berniat tidak menampakkan diri?
Entahlah…
Ku
sandarkan tubuh kurusku pada punggung tempat tidur kamar kosku. Ku pakai
kembali kacamata yang sempat kubuka ketika sholat tadi. Pikiranku melayang jauh
mengabur. “Apa aku harus mengikuti kemauan Umi ya untuk tidak mengikuti organisasi Islam
karena takut terjerumus ajaran sesat. Karena sepertinya lebih baik aku seperti
ini, ibadah saja sudah cukup dan fokus kuliah agar Umi bangga.” Dialog batinku
dalam hati yang membuat diri ini semakin bimbang, resah dan…. Galau.
Akhirnya
kuputuskan. Detik itu juga langsung kuraih hapeku dan ku telepon Umi. Namun
ketika umi mengangkat teleponku, tak ada kata yang keluar, Aku tak bisa bicara
sepatah katapun. Semuanya seperti tertahan karena….
“Assalamualaykum.
Nak. Assalamualaykum. Hallo.. Hallo.. Nak..” berkali kali Umi memberi salam
tetapi aku diam. Mulutku diam. Mungkin karena bimbang, karena belum yakin
dengan keputusanku atau karena takut? Entahlah… tapi semua harus di akhiri.
Tekad ku
Dengan
suara gemetar ku coba bicara. Sedikit mengeluarkan kata-kata. Setelah itu…
setelah memaksa mulutku agar mengeluarkan kata dan bicara pada Umi kalau aku
bersedia untuk menuruti kemauan beliau supaya aku tidak lagi aktif di
organisasi kerohanian, beliau terkejut,
tapi ada yang aneh, sangat aneh. Detik itu juga, dengan alasan yang tak jelas
beliau malah mengizinkan aku untuk mengikuti organisasi lembaga dakwah di
kampusku.
“Yeah!”
teriakku.
“Eits…
tapi dengan satu syarat!”
“Apa
itu Umi?” tanyaku penasaran dengan syarat yang diajukan Umi.
“Hhhem..
kamu harus berjanji untuk total dalam berdakwah. Jangan setengah-setengah! Itu
pesan almarhum Abimu, Nak.”
“SIAP,
Umi!”
Allah, belum
mampu aku bangkit saat malam-Mu menyapa ruang terdalamku. Kau dimana? Akulah insan
sederhana yang rindu dengan segala kemegahan-Mu. Maafkan. Maafkan aku jikalau
mungkin aku belum sepenuh hati membela agama-Mu. Maafkan. jikalau aku masih
begitu terbuai oleh nafsu dunia-Mu. Maafkan. Maafkan.
Oh
ya, Fuad! Aku harus menghubungi Fuad. Harus…
“Assalamualaykum.
Saudara terbaikku.” Aku memulai percakapan
“Wa’alaykumsalam,
Masyaallah, Akhi, Apa kabar? Kemana saja Ente?”
Dan………………………….
Ukhuwah itu.. Perjuangan itu.. Subhanallah..
Allah, Aku malu.
Malu! Jika malaikat datang pada malam-Mu sedangkan aku alpa. Apakah pantas
surat kasihku pada-Mu aku titipkan? Layakkah aku yang menjijikan ikut berjuang?
Allah, aku malu. Malu! Sungguh, Kalau orang-orang itu ikut berjuang sedangkan
aku tidur dalam kandang. Malu!
Allah, masukkan
aku dalam syuhada-Mu. Jadikan aku prajurit-Mu, terjunkan aku bersama para
pejuang-Mu. Demi Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi.
Angkatan
: 2008
Jurusan
: Fisioterapi
Facebook
: Syafroni Agustik
Twitter
: ony89
Blog
: Kakofini.Multiply.com
Amanah
: Dep. Syiar
Ketemu Juga,,, :) Disini Toh Muhammad Rokhim Uchiha Ternyata Orang RIAU Juga... Salam Kenal mas..
ReplyDeleteDari Dodol Blog
salam kenal juga.....
ReplyDelete