By
Bintun Nahl
Senja
itu harusnya indah, seindah warnanya yang lembayung kekuning-kuningan disudut
musholla sederhana Fakultas Teknik. Tapi, suasana hatiku seolah menutupinya
menjadi mendung, kelabu. Bagaimana tidak, aku baru menyesali perbuatanku,
terburu-buru dalam bersikap sangat tidak baik, apalagi dalam ucapan, meskipun
itu lewat tulisan.
“Yaudah, jangan Aisy kalo gitu yang
jadi kaput. Nurul aja.” Sent. Sms terkirim, tidak ada balasan hingga lusa esoknya.
“Jangan pernah ngomong seperti itu
lagi ya, Aisy. Apalagi didpn staf, bagaimanapun Aisy adalah kaputnya. Semuanya
bsa dijelaskan. Ba’da shalat dhuhur, ana terburu-buru untuk menyampaikan
amanah, karena akh Arif tidak ada, mungkin ukh Lisa ada, karena amanahnya uang
infak itu harus segera disalurkan oleh DKM. Ba’da ashar, pas kita rapat
bertiga, ana kira Aisy udah ga mau berpendapat lagi, bukankah sblmnya ana
nanya, ada yang mau disampaikan, Aisy?” itu balasan sms yang
harusnya dijawab kemaren lusa. Sambil menyesali, ada saja alasan bahwa tetap
aja aku yang benar.
***
“Anak
Ummi kok cemberut aja, mana senyum manisnya sayang?”Tanya Ummi saat
melaksanakan jadwal rutinnya menjengukku sebelum tidur, mengajak
berbincang-bincang tentang jadwal harianku, khususnya selama di kampus.
“Aisy,
nggak kenapa-napa, Mi.” jawabku nyengir. Ummi, balas tersenyum sambil membelai
sayang kepalaku, mengerti bahwa putrinya belum siap untuk bercerita.
“Ummi,
Aisy kok egois ya? Masih belum dewasa.” Tiba-tiba aku mulai berbicara, sebelum
ummi beranjak pergi meninggalkan kamarku. Setelah Allah, ummi adalah pendengar
dan pemberi nasehat yang bijak. Mungkin aku bisa menemukan jawaban atas rasa
kesalku beberapa hari ini dari Allah lewat perantara ummi, kataku dalam hati.
Ummi,
masih tersenyum, diam. Menunggu aku melanjutkan ceritaku, “Dulu Ummi bukankah
seorang kaput?” tanyaku, kemudian ummi mengangguk mengiyakan.
“Mi,
Aisy belum beradaptasi menjadi seorang kaput yang keren kaya Ummi.
Sedikit-sedikit, Aisy berburuk sangka dengan partner Aisy, kesal, marah, terus
dianya malah nggak ngerti, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Kan sebel,
miiii, berasa Aisy nggak dianggap.” Ceritaku panjang lebar, ummi masih setia
mendengarkan dengan senyum hangatnya.”Menurut Ummi, Aisy harusnya gimana?”
“Aisy,
tunggu sebentar ya, Ummi ada sesuatu buat Aisy baca. Insya Allah itu bermanfaat
buat bekal setahun kedepan.” Kemudian Ummi bergegas mengambil sesuatu dari
kamarnya. Setelah beberapa menit kemudian, sambil tersenyum, ummi menyerahkan
sebuah buku biru, manis dengan pita warna ungu.
“Dulu,
Ummi pun sama, diawal kepengurusan di lembaga dakwah fakultas MIPA, banyak
sekali cerita saat mengalami adaptasi. Ummi merasa, kaput itu harus keren, dan
terus berusaha berubah lebih baik, karena ummi merasa menjadi seorang “Qudwah” untuk muslimah lainnya. Sejak
itu, ummi bertekad untuk menuliskan semua hikmah, apapun yang dapat dibaca
untuk evaluasi dan mengenang puzzle-puzzle
kehidupan selama menjadi seorang kaput. Ini buat Aisy.”
“Catatan
Seorang KAPUT.” Bacaku pelan, “Aisy baca ya, Mi.”
“Iya,
Nak. Bacalah sebelum tidur, semoga itu bisa menjadi sarana refleksi untuk tazkiyatun nafs buat Aisy, lailatus sa’iidah sayang.”
***
Aku
mulai membaca halaman demi halaman buku ummi, ternyata ummi benar-benar
menuliskan hampir semua perjalanannya menjadi seorang kaput lembaga dakwah
FMIPA Universitas Indonesia Satu dulu. Dari mulai terpilihnya ummi, tanggal 31
Desember 1988, curhatan semua perilaku BPH, khususnya kader akhwatnya, hingga
tentang partner-nya si Ketua Umum LDF-nya, sekilas aku jadi terbayang Gilang
Ramadhan, partner kerjaku sekarang, astaghfirullah.
8 maret 1988
Sudah tiga hari ini aku diam. Aku
mendiamkan semua teman-teman BPH akhwatku, dan meminta semua perintah dan
jarkom langsung terpusat kepada ketua umum saja. Beginilah sikapku jika marah, diam.
Padahal baru bulan ketiga aku mengemban amanah sebagai seorang Kaput, amanah
yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, apalagi aku sangat mengagumi
kaput-kaput sebelumku, aku merasa setiap dari mereka setiap tahunnya punya
karakter khasnya yang berbeda-beda, ka Reta dengan ketegasannya, ka Avi dengan
kelemah-lembutannya, ka Nani dengan cerewetnya, ka widya dengan cerianya, lalu
aku? Baru menghadapi sikap BPH akhwat begini saja aku ngambek, marah, padahal
jika mereka mengkomunikasikan itu secara baik, insya Allah aku akan terima,
bukan izin pas ketemu, kalau tidak ketemu, ya nggak izin.
Tok…tok..tok..sepertinya ada yang
mengetuk hijab kayu yang memisahkan kesekretariatan ikhwan dan akhwat.
“Assalamu’alaikum, ada Icha?” aku
hafal betul itu suara Yusuf, partner-ku, Ketua Umum LDF Nurul Fikri. “Iya, ada
apa Yusuf?” jawabku.”Tolong kopi file di Flash Disk ana ya, nama filenya buat
Icha.”Lalu aku mengambil FD-nya dan segera mengopi file yang disebutkan tadi ke
laptopku. Malam sebelum tidur, aku mencoba membaca tulisan dari Yusuf tadi.
Assalamu’alaikum
Gimana rasanya jadi koorwat LD Nurul
Fikri, Cha? Manis asam asin ramai rasanya! (Nano-Nano)
Bukan kita yang
inginkan posisi ini. Qadarullah wa ma sha fa'al. Perjalanan kita masih panjang,
tapi (mungkin) kita merasa banyak sekali ujian/cobaan. Sebut saja ilangnya dana
abadi. Miskomunikasi. AFC (akhwat fighting club) minim partisipasi. BPH susah
konfirmasi (kalo diminta konfirmasi kehadiran). Kantong menipis. Waktu luang
ngempis. Apa lagi? Kalo harus dituliskan satu per satu, dengan selembar kertas
ini saja kayaknya ga bakal cukup. Dan bukan seperti itulah yang seharusnya kita
lakukan untuk mempersiapkan bekal untuk perjalanan kedepan.
Cha, melalui tulisan
ini, an hanya ingin melaksanakan kewajiban an sekaligus menunaikan hak ant
sebagai saudari an dalam Islam untuk saling menasihati dalam kebenaran dan
kesabaran. An mencoba menunaikan tuntutan surat Al-Ashr.
Pertama, Fitri boleh mengeluh, Nurfa boleh
mengeluh, Nunu boleh mengeluh, Mimi, Ani, Fika, Dw, & smua teman-teman BPH
boleh mengeluh. Tapi kita jangan (mudah) mengeluh. Apalagi mengumbarnya. Kita
harus tampil sebagai orang yang paling kokoh, yang dengannya seblum itu kita
telah (selalu) memohon kepada Allah untuk menguatkan pundak, bahu, dan
kaki-kaki kita.
Sebagaimana
nabi Ya’qub ‘alaihissalam berkata "Sesungguhnya
hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku,…" (Yusuf:
86). Beliau mengadu yang dengannya ia akan mendapakan kesabaran.
Jika pada kondisi
tertentu ternyata kondisi kita memang bener-bener ‘rapuh’, meskipun demikian
setidaknya kita harus tetap bisa menampilkan (menampakkan dalam bentuk sapaan,
raut muka, senyuman) bahwa kita kuat, kita tegar. Ini adalah upaya kita. Bukan
kedustaan. Bukan untuk unjuk ke-gagah-an di depan teman-teman. Menurut an, ini
pun bentuk kesabaran.
Kedua, agaknya kita sama-sama sepakat
bahwa setiap mereka yang aktif di LD Nurul Fikri, mau atau tidak mau, dengan
senang hati atau terpaksa, harus meningkatkan kadar ke-sabar-annya. Jika para
staff harus 100% sabar, maka teman-teman BPH harus punya sabar 200%. Kita?
1000%. Karena tidak semua staf bisa punya 100%. Tidak semua BPH punya 200%.
Kalau bukan kita yang backup, siapa lagi? Karena sabar adalah kata kerja
sekaligus predikat yang Allah berikan kepada hamba-Nya (teruji kesabarannya),
maka sabar harus kita lakukan (karena Allah). Sabar harus kita pinta dari Allah
ta’ala. "Bersabarlah (hai
Muhammad) dan tiadalah kesabaramnu itu melainkan dengan pertolongan
Allah." (An-Nahl: 127).
"Dan,
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (Al-Baqarah: 45).
Sabar menurut pengertian bahasa
adalah menahan atau bertahan. Jika dikatakan, "Qutila Fulan Shabran", artinya Fulan terbunuh karena hanya
bertahan. Jadi sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah;
menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan. (Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah) "Dan,
janganlah kalian bersikap lemah dan janganlah (pula) kalian bersedih hati." (Ali
Imran: 139).
"Dan, Allah mencintai orang-orang yang
sabar." (Al-Baqarah:
146).
"Ya
(cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kalian
dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu
malaikat yang memakai tanda." (Ali
Imran:125). "Dan ketahuilah bahwa
pertolongan itu beserta kesabaran."
Dan
yang ketiga, Bisa jadi yang selama
ini menjadikan kita, BPH Nurul Fikri, agak susah komunikasi—koordinasi, teman2
BPH susah respon jika diminta konfirmasi, AFC-TOM minim partisipasi, bukan
karena kita smua sedikit dalam interaksi. Bisa jadi, ‘afwan, karena kita yang
kurang pandai dalam memelihara habluminallah. Mungkin karena do’a kita kurang
kuat. Atau kerena dosa yang belum kita taubati, yang karena hal ini semuanya
kebagian ‘apes’nya. Na’udzubillah min dzalik. Karena ketaatan kita, ketaatan
seorang pemimpin, akan linier terhadap kebaikan, kelancaran langkah kerjanya.
Pun kalo misalnya ada hambatan, tentulah hambatan tersebut seharusnya berbuah
pahala karena kesabaran yang dipelihara.
Satu
hal yang seharusnya ada pada setiap pemimpin adalah pengaruh. Jujur saja, an sering merasa tidak punya modal apa-apa
untuk menjadikan diri an mempunyai pengaruh bagi temen-temen BPH juga para
staf. Dari segi usia, usia an lebih muda dibanding kebanyakan BPH. Usia
“tarbiyah”? usianya lebih muda juga dibanding kebanyakan mereka. Wawasan dan
ilmu pengetahuan umum an pun tidak luas. Prestasi kering. Akademik tidak bisa
dibilang memuaskan. Track Record agak menghawatirkan. Kalo bukan karena
pertolongan Allah serta al-fahmu temen2 BPH-staf bahwa dalam organisasi ini
harus ada kepatuhan/ketaatan terhadap seorang Qiyadah, tentulah an, qt, akan
lebih banyak menemukan kesulitan. oleh karena itu, karena topik utama yang
sedang an bahas di paragraph ini adalah tentang pengaruh, an bermaksud
mengingatkan diri an sendiri dan juga ra bahwa daya pengaruh bisa terbangun
dengan Qiyamullail + Qur’an, serta segala bentuk sikap kepemimpinan yang
dicontohkan Rasulullah yang senyumannya saja menggerakkan hati orang yang
melihatnya. Semoga kita bisa menjadi ahlinya, kita bisa senantiasa menegakkan
Qiyamullail dan menjadi Ahlul Qur’an.
Hmmm,
itu saja dari an Cha. sebagai bentuk pengingat untuk kita. An mohon, jangan
ragu untuk menegur an jika memang an ada dalam kesalahan. Serta, sebagaimana
Imam Syafi’I, an pun lebih senang jika dinasihati tidak didepan umum publik.
Semoga kita bisa menjalankan amanah ini dengan baik dan benar.
Dalam kantuk.. Al-Fakir Ilallah_Yusuf
***
“Ummiii, Aisyah pamit dulu ya.”
“Eh, kok berangkat pagi-pagi sekali, Aisy. Kamu
belum sarapan, Nak. Makan dulu ya, baru pergi.” Bujuk ummi.
“Tapi, Aisy buru-buru, Mi. ada syuro BPH pagi ini.”
“Tapi, Aisy buru-buru, Mi. ada syuro BPH pagi ini.”
“Sudah baikan, Aisy?”Tanya ummi sambil tersenyum
menggodaku.
“Ummiii, Aisy kan nggak apa-apa. Hmm, Mi. makasih ya
buat bukunya. Aisy juga mau menulis mulai sekarang, biar punya kenang-kenangan
kaya ummi, cerita ummi, cerita Aisy akan berbeda kan? Hehe,,,” Terangku sambil
nyengir.
“Kalo begitu makanannya Ummi bekalkan aja ya, biar
bisa berbagi dengan teman-teman yang mungkin belum sarapan.”
“Iya, Mi.” kataku masih tersenyum pada ummi.
“Aisy, satu hal yang
ingin Ummi pesan ke Aisy, selelah apapun kita, sepenat apapun kita, akan
semakin lelah jika kita bersandar pada manusia, mengharapakan simpati dan
empati manusia akan menjadikan hati kita lelah, apalagi jika tidak sesuai
dengan keinginan hati kita. Tapi, jika kita bersandarkan hanya pada Allah,
insya Allah semua yang terasa lelah dan berat dalam menjalankan amanah, akan
terasa ringan, karena Allah.”
“Ummiii,,,yupz, insya
Allah Mi, Aisyah akan selalu ceria dijalan dakwah ini, dan Allah adalah
sandaran utama Aisy. Hm, oya Mi, dikalimat terakhir ketua umum pas zamannya
Ummi, seperti pernah Aisy lihat. Dimana ya?” tanyaku sambil berusaha mengingat
sesuatu.
“Iya, Aisy sering lihat
tanda tangan itu kan milik Abi. Oh ya, Aisy. Kadang Allah menguji hamba-Nya
lewat perkataan hamba-Nya.” Jelas ummi tersenyum menunduk, malu.
“Ummiiii,,,,?”Tanyaku
kaget. Selama ini aku tahu ummi pernah jadi kaput pas dikampus dulu, tapi aku
tidak tahu kalo ketua umumnya abi.
“Aiisy, mau berangkat bareng
Abi nggak?” teriak abi dari luar rumah.
“Sudahlah, Aisy mau
berangkat bareng Abi nggak, tuh udah dipanggil. Syuronya mulai jam 7 kan?” Ummi
tersenyum dan aku pun mengangguk tersenyum pada ummi. Perkataan ummi tidak
semuanya kumengerti, yang jelas aku harus pandai bersyukur, tidak mudah untuk
mengeluh, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Karena seperti kalimat
orang bijak, “Amanah itu selalu menuntun dan menuntut. Menuntun untuk semakin
dekat kepada Allah, dan banyak menuntut untuk ber-tadhiyah (berkorban).
Keterangan: an= kepanjangan dari ana yang berarti
“saya” dari bahasa Arab
Ant=
kepanjangan dari anti yang berarti kamu perempuan
nama: Rasih
fak/jur/ang: FMIPA/Fisika/2008
universitas: UI
Fb: Rasih Rara (rasih.biru@gmail.com),
amanah : kadept. Mar-ah (kemuslimahan) Salam UI i5
fak/jur/ang: FMIPA/Fisika/2008
universitas: UI
Fb: Rasih Rara (rasih.biru@gmail.com),
amanah : kadept. Mar-ah (kemuslimahan) Salam UI i5