Journey To The West
Hai orang-orang
yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
(Q.S.
Muhammad: 7)
Ini bukan mengenai biksu Tong beserta keempat muridnya,
Sun Go Kong, Ti Pat Kai, Wucing dan seekor kuda yang dulunya adalah manusia,
yang melakukan perjalanan ke barat untuk mengambil kitab sucinya. Bukan pula
kisah seribu penderitaan cinta atau petualangan yang menghadapi 99 rintangan
dan 33 cobaan. Tapi ini tentang perjuangan sekelompok mahasiswa yang mencoba
memberikan yang terbaik dalam media dakwah kampus yang tengah dikembangkannya.
Berawal dari sebuah mentoring, lahirlah sebuah karya
nyata yang menginspirasi, yang menjadi titik tolak kebangkitan media dakwah
kampus. Ketika itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Sebagaimana
mahasiswa muslim lainnya, saya juga harus mengikuti proses mentoring yang
merupakan agenda wajib dari kampus. Sebab, sebagian nilai mata kuliah agama
diambil dari kegiatan ini. Awalnya memang keterpaksaan, tapi selanjutnya justru
menjadi kebiasaan.
Mentoring resmi berakhir pada semester pertama, namun
saya tetap mengikuti kegiatan ini di semester selanjutnya. Dari sinilah muncul
ide itu. Mentor saya berkeinginan untuk menghidupkan media kampus yang selama
ini tidak kelihatan batang hidungnya. Ia merasa, peran media sangatlah penting
dalam perkembangan suatu hal. Maka dari itu, ia mengajak seluruh mentenya untuk
ikut serta dalam membuat gebrakan baru, lahirnya media dakwah kampus.
Semua setuju. Beliau berperan sebagai pemimpin umum,
sementara saya dijadikan pemimpin redaksinya. Awalnya saya menolak, sebab saya
tidak punya pengalaman menulis. Namun karena tidak ada lagi, akhirnya saya
terima amanah itu. Dari sinilah saya mulai belajar menulis, dan memimpin sebuah
tim. Kami membuat sebuah zine (majalah mini) yang bernama ’Ultrassafinah’, yang
bernaung di bawah Lembaga Dakwah Jurusan (LDJ) Teknik Perkapalan ITS Surabaya,
yang bernama ’As-Safiinah’.
Ini adalah zine yang unik sebab
kami menulisnya sendiri, melayoutnya sendiri, mencetaknya sendiri, dan
menyebarkannya juga sendiri. Tepat saat saya menginjak semester tiga, edisi
perdana mulai beredar. Lalu setiap bulannya berturut-turut menyusul edisi
selanjutnya. Kami mencoba menebarkan hikmah dan renungan melalui setiap edisi
yang beredar, dengan berbagai tema yang berbeda. Hal yang cukup sulit mulai
terlihat pada edisi ketiga, dimana kami harus menggali informasi dari setiap
ketua LDJ di ITS.
Inilah pengalaman pertama saya,
juga reporter lainnya dalam mewawancarai orang lain. Kaku? Pasti. Bingung?
Tentu saja. Tapi inilah proses pembelajaran menjadi seorang jurnalis yang
menarik. Saat itu saya berpikir, inilah edisi yang paling menguras tenaga,
pikiran, dan waktu. Tapi tak masalah, sebab dalam edisi tersebut tertuang
gagasan lahirnya FSLDJ (Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Jurusan) yang akhirnya
direalisasikandi tahun berikutnya.
Ternyata saya salah. Edisi yang
paling menguras banyak tenaga, pikiran, waktu, juga dana, bukan pada edisi
ketiga. Pada edisi keempat, kami memutuskan untuk mengambil tema mengenai
lembaga dakwah kampus di Indonesia. Dan untuk mewujudkannya, kami sepakat untuk
mengunjungi kampus-kampus terkemuka yang ada di pulau Jawa.
Perjalanan kami lakukan saat libur semester, mengingat
banyak tempat yang harus dikunjungi. Apalagi jaraknya yang cukup jauh dan
menyebar merata di pulau Jawa. Letak kampus kami yang berada di Jawa Timur,
menjadikan perjalanan tertuju ke barat, menuju Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Beberapa kampus yang kami kunjungi terletak di Surabaya, Malang, Jogja,
Semarang, Bogor, Bandung dan Jakarta. Inilah misi gila yang kami lakukan.
Sebuah misi yang kemungkinan hanya akan dilakukan oleh dua golongan, yaitu
mereka yang gila atau yang nekat. Entah kami termasuk yang mana.
Saat itu, yang berangkat menjalankan
misi ini hanya 3 orang. Saya selaku pemimpin redaksi, satu orang reporter dan
satunya adalah pemimpin umum. Masing-masing orang tidak pergi secara bersamaan,
melainkan menuju ke kota yang menjadi bagiannya.
Berbekal doa, kamipun berangkat
menuju tempat tujuan masing-masing. Segala sesuatunya harus kami siapkan
sendiri. Sebab majalah ini bersifat independen, yang berati pendanaannya pun
demikian. Misipun sukses, meski terseok-seok. Banyak kisah unik, lucu,
mendebarkan, dan menegangkan yang mewaranai setiap pembuatan zine ini,
khususnya di edisi ke empat dimana para reporter harus berpetualang. Inilah
pengalaman berharga bagi kami semua, terutama saya secara pribadi.
Mungkin yang paling berat
tugasnya adalah pemimpin umum yang mendapat jatah berkunjung ke Depok, ke
markas besar SALAM UI. Ia sempat menginap di rumah temannya di berbagai kota
yang ia singgahi, juga harus rela berdiri di depan toilet selama perjalanan
menggunakan kereta. Apa lagi kalau bukan karena keretanya penuh. Wajar, kereta
kelas ekonomi, yang penuh sesak dengan penumpang.
Selama menjadi pemimpin redaksi, lalu di tahun berikutnya
diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin umum, saya tidak hanya belajar
bagaimana caranya menulis, tapi juga bagaimana memimpin sekaligus memikirkan
sumber dana untuk menghidupi majalah ini. Sejak awal berdirinya, Ultrassafinah
adalah sebuah zine independen yang dibuat oleh sekelompok orang, di bawah
naungan lembaga dakwah jurusan. Mau tidak mau, selain memikirkan bagaimana zine
ini bisa selesai dibuat, juga harus berpikir bagaimana caranya zine ini bisa
dicetak dan disebar.
Dana menjadi alasan utama. Media ini berawal dari sebuah
ideologi akan kebangkitan dakwah bil
qolam. Lalu, siapa yang mau membiayainya? Apalagi di masa perintisan, yang
pasti akan susah sekali meminta lembaga lain untuk bekerja sama mengingat kita
belum melakukan aksi nyata. Tapi kami percaya, sekecil apapun yang dilakukan
manusia dalam berbuat kebaikan, Allah akan memberikan pertolongan.
Terbukti, hingga saya lengser dari jabatan pemimpin umum,
zine ini sudah terbit sebanyak 8 edisi, dengan oplah per edisinya minimal 500
eksemplar. Di setiap pembuatan zine ini, saya seringkali bingung jika ditanya
dananya di dapat dari mana. Karena memang, saat mulai membuat setiap edisinya,
seringkali dengan tidak memegang uang sepeserpun untuk dialokasikan dalam
pembuatan majalah tersebut. Tapi saya yakin, pertolongan Allah pastilah datang.
Maka saya di awal tidak berpikir
bagaimana caranya ini bisa terbit, tapi bagaimana caranya bisa selesai.
Dan ajaibnya, selalu saja ada
dana untuk mencetak majalah yang jumlahnya tidak sedikit itu. Ketika majalah
hendak selesai, biasanya dana baru datang dengan sendirinya. Entah dari pembaca
yang ingin menyumbang, sponsor, hingga bapak dan ibu dosen yang juga tertarik
menyisihkan sebagian dananya untuk pembuatan zine tersebut. Jika tidak ada,
berarti harus menggunakan dana mandiri. Dan inipun, entah kenapa, kamis selalu
saja memiliki uang lebih dimana biasanya mahasiswa harus berhemat dengan
pengeluarannya.
Mungkin zine ini juga yang
akhirnya menginspirasi bangkitnya media dakwah kampus di ITS. Beberapa bulan
semenjak beredarnya Ultrassafinah, mulai bermunculan zine atau media lain di
berbagai LDJ di ITS, termasuk lahirnya Manazine yang merupakan zine resmi hasil
karya JMMI (Jamaah Masjid Manarul Ilmi), yang merupakan LDK di ITS. Beberapa
kawan dari kampus lain seperti UI, IAIN Surabaya, Unesa dan Unair juga mengaku
terinspirasi. Beberapa dari mereka mengontak dan ingin membuat hal serupa di
kampus mereka.
Saya sadar, Allah akan memberikan
pertolongannya jika hamba-Nya mau bersungguh-sungguh, utamanya dalam hal
kebaikan. Bahkan sekecil apapun ikhtiar yang kita lakukan, asalkan dalam
kebaikan, Allah akan menurunkan berkahnya untuk kita. Maka jangan berputus asa,
jangan menyerah, dan jangan takut untuk tetap berbuat kebaikan. Allah bersama
hamba-hamba-Nya yang berjuang menegakkan kalimat-Nya.
Biodata:
Nama penulis : Satria Nova M.K.
Jurusan : Teknik Perkapalan ITS Surabaya
Angkatan : 2008
Twitter : @satria_nova
No HP : 085655479927