Menyajikan info terkini dunia pendidikan dan berita berita menarik

Iklan

Selamat Datang Di Birulangitid

Wednesday, October 31, 2012

Hanya Sekerat Tulang

0 comments



Setiap tahunya ketika hari raya qurban, pasti ada cerita yang sangat inspiratif dan banyak memberikan hikmah bagi kita semua. Ada bermacam-macam kisahnya dari yang memberikan hikmah dari kesederhanaan sampai pada tingkatan yang kadang tidak smua orang bisa menjamahnya. nah kisah berikut ini yang ditulis oleh mas Surya Adhiatmoko, sangat menginspiratif bagi kita semua, berbiacara tentang syukur serta keberkahan dalam hidup.

Tahun lalu, saat prosesi distribusi Qurban di perkampungan lereng Gunung Wilis, Jawa Timur, tatapan saya tak lepas pada keluarga Sartono. Ia membaur di antara ratusan warga yang menunggu giliran jatah sekerat daging qurban hari itu.

Mengapa sekerat? Tiga ekor kambing dari Al-Azhar Peduli Ummat dibagi rata untuk 200 keluarga. Bahkan kulit kambing yang bagi sebagian masyarakat dijual murah begitu saja, ikut dibersihkan bulunya kemudian dicacah kecil-kecil hingga terbagi rata. Pada saat prosesi ini, siapapun yang menyaksikan tak kuat menahan haru.

Tiba giliran Sartono mengambil sejumput daging yang terbungkus daun pisang. Petani yang sehari-hari menggarap lahan hutan itu, kemudian bergegas pulang ke rumahnya. Di halaman, tiga anak sartono yang masih kecil menyerbu girang.

“Iwak wedhus yo pak, enak to pak”, (daging kambing ya pak, enak kan pak) cecar anak pertama Sartono yang duduk di bangku SD kelas 4.

Sartono hanya mesem, kemudian menyerahkan bungkusan daun pisang itu pada istrinya. Anak-anak Sartono tak mau jauh sejengkal pun, dari bungkusan itu. Bahkan saat ibunya menyiapkan perapian di tungku dapur yang terbuat dari tanah liat, ketiga anak Sartono setia menunggui. Mereka seakan tak rela, jika seekor lalat pun hinggap.

Di atas tungku dapur, istri Sartono merebus air di dalam panci yang sudah tampak usang. Kemudian bungkusan itu dibuka, tanpa dicuci lebih dulu. Tampak sejimpit daging, ditimpali potongan tulang. Jika ditimbang, tak lebih dari seperempat kg. Amat sedikit, jika dimakan satu orang saja kurang. Tak ada bumbu istimewa diracik, hanya garam dan bawang merah.

Suasana jadi merinding, saat anak-anak Sartono tak beringsut dari tungku dapur. Marno, anak nomor dua bahkan menundukkan wajahnya tepat di atas panci. Kemudian ia mengisap dalam-dalam asap dari dalam panci yang berbau kuah kambing itu.

“Hmmm, seger yo kang. Enak. Jajalo!”, (segar ya mas. Enak. Cobalah) kata Marno pada kakaknya. Tak lama kemudian, sang kakak mengikuti saran adiknya. Kemudian diikuti adiknya yang paling kecil.

“Iyo enak. Wedhus teko ngendi to pake”, (iya enak. Kambing dari mana pak) tanya anak tertua Sartono padanya.

“Wong Jakarta”, (orang Jakarta) jawab Sartono singkat. Sekilas, lelaki paruh baya itu matanya berkaca-kaca.

“Mohon dimaklumi anak-anak saya mas. Malu saya, maklum bocah gunungnggak pernah makan daging”, Sartono berusaha menjelaskan.

Setelah satu jam berlalu, istri Sartono memberi isyarat masakan sudah matang. Saat itulah, anak-anak sartono meninggalkan sekerat tulang yang direbus itu dari sejak ayahnya datang. Mereka berburu mengambil piring. Di atas lantai tanah, anak-anak itu duduk bersila menunggu Sang Ibu membagi kuah dan keratan tulang kambing.

Di atas piring sudah diisi nasi tiwul tanpa campuran beras sedikit pun. Tiwul (nasi dari singkong kering) masih jadi makanan pokok, bagi sebagian masyarakat di lereng Gunung Wilis. Menyaksikan anak-anak Sartono makan, begitu lahapnya. Tak ketinggalan istri Sartono juga ikut bergabung. Disusul kemudian Sartono sendiri menyantap menu qurban hari itu. Saya memilih makan nasi tiwul, ditemani sambel teri dan lalapan daun singkong masakan istri Sartono. Sungguh nikmat, meski haru mencabik-cabik.

Makan siang usai. Tapi, lagi-lagi ada yang janggal. Menengok piring makan anak-anak Sartono masih menyisakan keratan tulang. Hanya suiran daging sedikt yang dimakan. Mendadak, Marno yang paling banyak ngomongnya nyeletuk.

“Mak, disimpen gae makan mengko sore yo. Ojo ilang lo”, (bu disimpan buat makan nanti sore. Jangan hilang ya) tenggorokan saya terasa tercekat. Mendadak ingat daging yang melimpah di Arab Saudi melengkapi prosesi haji. Juga terbayang pesta daging qurban di kota-kota besar yang orang kaya pun ikut menikmati.

Siang itu, raut wajah gembira tersaji murni. Senyum simpul anak-anak Sartono nyaris sulit ditulis. Tapi, cerita ini harus saya bagi dengan Anda semua. Bahwa sekerat daging bisa jadi bagi kita tak berarti, tapi bagi keluarga Sartono sepotong tulang pun asupan gizi yang tak tentu setahun sekali dinikmati.

Maka, pilihan qurban Anda ke daerah-daerah miskin dan terpencil adalah pilihan tepat, sarat silaturahim dan manfaat. Wallahu’alam.

Sunaryo Adhiatmoko

No comments:

Post a Comment