MELEMBAYUNGI HALIMUN DUNIA
Sebuah catatan
kecil untuk sahabat-sahabatku di LDK seluruh Indonesia:
Maka, kebermaknaan dakwah yang
sesungguhnya bukanlah terletak pada barisan-barisan melingkar di masjid namun
implementasinya: merubah masyarakat ke arah
yang lebih baik.
Selamat mendunia!
Kutarik kembali selimut tebal hingga sempurna membungkus
ujung kaki sampai batang hidung. Dengan kedua kelopak mata yang semiterkatup,
kulihat termometer digital di dekat tempat tidur. Ternetralah angka yang
membuat kantuk terasa makin berat bergelayut-layut, -13oF / -25oC.
Dengus nafasku berat dalam balutan selimut tebal, pertanda adanya gulat hebat
antara bisikan hati yang menyeru agar diri bersujud simpuh di hadapan Illahi
dan teriak berontak nafsu yang memandori mata agar terpejam lagi di sepertiga
malam terakhir ini. Nampaknya kebekuan udara di luar sana berhasil mengalahkan
telak heater di ruang tidurku.
Dinginnya cuaca di pertengahan winter
di Swedia yang berkolaborasi dengan hangatnya balutan selimut tebal
meninabobokan aku.
“Laa haula wa laa
quwwata illa billah...,”ucapku lirih sambil berusaha bangkit.
Aku harus memaksa diri untuk duduk, abai terhadap kantuk.
Sepekan hidup di negara dekat kutub utara sudah cukup menyadarkanku bahwa ranah
dakwah di sini jauh berbeda dari Indonesia, bahkan untuk menjaga amalan yaumiyyah pun perlu banyak usaha.
Pagi menjelang. Suasana dapur lantai tujuh apartemen
Tunnlandsgatan 15 masih sepi. Hampir pukul sembilan pagi, namun langit di luar
sana masih sewarna atap bumi pada pukul empat dini hari waktu Indonesia. Menu
sarapan pagi ini adalah piroger, roti
isi daging sapi giling yang kata salah satu website yang kubuka kemarin
merupakan salah satu masakan khas Swedia.
Sejenak kulayangkan pandanganku ke arah kaca jendela di
ujung dapur. Di luar sana, awan-awan mulai menampakkan diri malu-malu, diiringi
semburat caya mentari pagi. Gemintang dan rembulan seakan mulai memudarkan
warna, mempersilakan pagi menggantikan peran malam. Salju masih tetap setebal
yang lalu, kira-kira hampir setinggi lutut orang dewasa.
Aku mendesah pelan. Sebongkah rindu tanah air mulai
mengambang ke permukaan alam sadar. Mendapatkan beasiswa pertukaran mahasiswa
ke Swedia adalah kesyukuran yang luar biasa, namun juga merupa ujian yang tidak
ringan. Di tanah ini, beberapa tahun lalu, karikatur penghinaan terhadap
Rasulullah SAW lahir. Di bumi bagian aku berpijak kini hijab masih
dipertentangkan. Di sini pulalah aku merasa sangat haus akan dakwah. Tidak ada
suara adzan. Tidak ada masjid di sekitar tempat tinggalku. Selain itu, hatiku
terasa ngilu mengingat tidak ada kelompok binaan atau lahan dakwah yang dapat
kuwakafkan diriku di dalamnya sebagaimana aktivitas-aktivitas di kampusku dulu.
“Hej, Uzi! Hur mår du?1”sapaan Caroline membuyarkan imajinasiku.
“Oh, hai! Aku baru
mau mempersiapkan sarapan pagi. Tumben kamu sudah bangun?”
“Iya, aku tidak bisa tidur. Semalam aku berantem hebat
dengan pacarku di telepon. Kamu lihat ini kantung mataku tebal sekali?”jawab
mahasiswi dari Norwegia itu sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Wow! Itu sungguh besar!”
Caroline menganggukkan kepalanya, lalu berpaling ke arah
lemari esnya, mengambil segelas susu, dan menghangatkannya di dalam microwave. Ide klasik untuk merilekskan
otak agar mudah tidur: minum segelas susu hangat.
Kulanjutkan agenda memasak menu sarapan sederhana.
Caroline memerhatikanku. Gadis cantik ini memang kukenal sangat suka memasak.
“Beef puff?2”tanyanya
sambil melongokkan kepala ke arah loyang.
“Ja!3”
Beberapa saat sesudahnya piroger sudah siap dihidangkan. Caroline mengendus-endus di
dekatku.
“Baru kali ini aku mencium beef puff yang aromanya sesedap ini. Boleh kucoba?”
Kusodorkan beberapa potong piroger kepadanya. Caroline mengambil satu lalu menggigit sedikit
sebagiannya. Kepalanya mengangguk-angguk dalam.
“Enak sekali! Apakah kamu menggunakan pork dan bukan beef?”tanyanya.
“Tidak, Caroline. Aku ini seorang muslim. Dalam agamaku,
tidak dibolehkan memakan daging babi. Itu daging sapi. Aku menggunakan bahan
seperti yang tertera di internet.”
“Tapi dagingmu ini enak sekali! Belum pernah aku
merasakan daging sapi untuk isian roti yang selezat ini.”
Aku tersenyum. Caroline memang gadis yang sangat hobi
memasak. Cita rasanya tinggi. Jika dia memuji kualitas masakan maka itu sama
sekali bukan basa-basi.
“Oh! Aha! Coba kutunjukkan padamu sesuatu,”kataku sambil
berjalan ke arah lemari es untuk mengambil sebungkus sisa daging sapi giling.
“Aku menggunakan daging sapi ini. Lihatlah. Ada label
seperti ini,”kataku sambil menunjukkan label huruf Arab yang berbunyi ‘halal’
kepadanya.
“Apa ini? Seperti tulisan kuno,”komentarnya ringan.
Ya, di negara ini memang Islam sering ditentang namun
banyak yang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka tentang itu, termasuk tulisan
Arab yang sangat dekat hubungannya dengan Islam.
“Bukan, Caroline. Ini huruf Arab yang berbunyi ‘halal’.
Artinya, daging ini diperoleh dengan cara menyembelih sapi dengan memutuskan
tiga saluran di leher sapi. Kamu tahu? Jika ketiga saluran itu terpotong
seutuhnya, darah dalam sapi akan mengalir keluar hingga habis. Dan saat tidak
ada darah yang mengendap dalam daging, maka tidak akan kita dapati
bakteri-bakteri yang membuat daging cepat busuk dan berbau tidak sedap. You know, bakteri-bakteri paling banyak
hidup di dalam darah,”jelasku pelan-pelan kepadanya.
“Aha! Ya! Aku pernah mendengar tentang halal. Kami sering
menentangnya... sorry. Tapi aku baru
tahu daging halal itu bentuknya seperti ini. Harus ada label tertentu, ya, di
kemasannya. Apa kamu yakin kelezatan daging isianmu ini hanya karena label
halal ini?”
Kuanggukkan kepalaku mantap. Aku bukanlah orang yang
gemar dan mahir memasak. Standar masakanku setara dengan apa yang tertera di
internet, tidak kutambahi bumbu rahasia apapun itu.
Caroline diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Okay, next time I’ll try it!”
***
Kulirik jam tangan pemberian teman-teman se-halaqoh sebelum aku berangkat ke Swedia:
pukul 15.15 CET. Kalau di Indonesia, sekarang ini masih waktu Ashar di mana
langit masih bermurah hati berbagi sinar matahari. Namun di sini? Pertengahan
musim dingin merupakan masa-masa tersingkat sinar mentari sudi berjingkat
menyapa penghuni bumi Eropa Utara. Waktu Shubuh sekitar pukul tujuh pagi
sedangkan Maghrib sudah dimulai sejak pukul 16.00 CET. Hari-hari pendek yang
bagi kaum oportunis pahala-Nya sering dimanfaatkan sebagai ajang persembahan
ibadah-ibadah puasa kepada Sang Pencipta.
Aku teringat akan suatu hari yang begitu terik di daerah
Wonosari. Saat itu aku dan beberapa kawan dalam organisasi pelatihan sedang survei
tempat outbound. Panasnya sinar mentari terasa menyengat-nyengat kulit.
Beberapa dari kami sedang menunaikan puasa sunnah. Walaupun demikian, semangat
kami tidak kalah terbakar sebagaimana kulit kami. Survei tetap berjalan, puasa
pun tidak ditinggalkan.
Sebulir kristal bening bergulir menuruni pipi. Aku begitu
merindukan masa-masa aktifku di kampus dulu. Aku merindukan semangat dakwah,
semangat amar makruf nahi munkar.
Separuh hatiku terbang ke nusantara, bernostalgia dengan kenangan perjuangan
bersama teman-teman dulu. Di sini? Ah, tidak ada yang bisa kulakukan! Tidak ada
gairah keislaman! Sepercik sesal terpantik dalam hati, mengapa dulu kuterima
tawaran beasiswa ini.
Bus yang kutumpangi berhenti di Halte Ekängsgatan. Segera aku bergegas turun,
berjalan beberapa puluh meter menuju apartemen bercat kuning kecoklatan. Di
dalamnya, telah menunggu seorang gadis kecil yang setiap malam kutemani dan
kujaga karena ditinggal mamanya bekerja hingga larut malam.
“Tante Ujiiii...!!”teriaknya menyambutku begitu kubuka
pintu depan apartemen.
Serta-merta Victoria, gadis mungil nan cantik itu,
berlari ke arahku lalu memelukku erat. Lima kali saja berinteraksi dengannya,
kelekatan di antara kami sudah sebegitu kuat. Mungkin karena kegemaranku pada
anak-anak.
Ada kemirisan yang menggiris hati saat pertama kali
kuketahui bahwa tidak ada yang mengajari Victoria salat, mengaji, apalagi
menghijabi diri. Di usianya yang beranjak menuju tahun ke-4, ayah dan ibunya
bercerai. Keduanya muslim yang telah sekian lama meninggalkan salat, seakan
Islam hanyalah lima huruf tak bermakna yang pernah mengisi hari-hari mereka
tempo dulu.
Seperti biasa, usai ibunya meninggalkan rumah untuk
bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di Swedia sebagai konsultan
kecantikan, aku bergegas ke arah kamar mandi untuk berwudhu. Tak kuduga
sebelumnya, Victoria mengikutiku. Gadis cantik itu memperhatikan setiap gerakan
wudhu yang kulakukan dengan takjub, seakan dia tidak pernah melihat orang
‘mandi’ dengan cara yang begitu aneh.
“Victoria mau
mandi juga, Tante...,”ujarnya lugu dan lucu.
Kulukis segaris senyum untuknya, “Ini bukan mandi,
Victoria. Ini namanya wudhu. Adik mau?”
Akhirnya saya ajari Victoria berwudhu, bahkan menunaikan
salat Maghrib dan Isya’. Victoria juga memintaku untuk memakaikannya kain
penutup kepala saat salat, persis seperti mukena yang kupakai. Begitu
seterusnya, hingga hari-hari berikutnya. Maka aktivitas baby sitting-ku telah resmi menjelma menjadi pelajaran salat untuk
Victoria.
***
Kucermati satu per satu rak cokelat di Willy’s, pusat
perbelanjaan terbesar di Borås. Jemari tanganku
terampil mengambili satu per satu cokelat sementara mataku jeli membaca daftar
komposisinya: semestinya yang halal, yang ber-emulsifier nabati. Besok pagi aku akan terbang ke tanah air, masa
studiku di sini usai sudah. Segala persiapan mulai dari packing hingga pesta perpisahan dengan teman-teman telah
terselesaikan. Hanya tinggal satu: membeli oleh-oleh cokelat Swedia untuk
keluarga dan kawan-kawan di Indonesia. Senang sekali rasanya kembali ke tanah
air, bertemu kawan-kawan seperjuangan, serta merajut ukhuwwah dan menebar
dakwah. Meninggalkan negara ateis ini, oh betapa senangnya!
“Hai, Uzi!”teriak seseorang yang sudah sangat kukenal
suaranya dari arah belakang.
“Caroline! Kamu belanja juga di sini?”tanyaku yang
disambut anggukan kepalanya.
“Aku membeli ini!”katanya sambil menunjukkan sebungkus
sosis berukuran sedang dan... berlabel halal!
Mataku terpelotot olehnya. Apakah gadis ateis ini sedang
kerasukan arwah penasaran dari bumi Arab sana? Kenapa tiba-tiba dia membeli
sosis berlabel halal? Bukankah seharusnya ia anti terhadapnya?
“Sayang sekali, Uzi. Besok pagi kamu sudah harus kembali
ke negaramu. Kamu tahu? Sejak aku mencicipi beef
puff buatanmu waktu itu, aku langsung membeli daging berlabel halal untuk
membuktikan teorimu itu. Poor me,
ternyata kamu benar. Dan sejak saat itu aku selalu membeli daging dengan label halal
karena rasanya lebih enak... dan kukira kualitasnya lebih baik! Tadinya aku
berniat untuk menyembunyikan fakta ini darimu karena aku merasa malu. Daging
halal adalah sesuatu yang kutentang tapi ternyata kamu benar, Uzi. Ah, andai
saja kamu bisa berada di sini lebih lama lagi, mungkin aku bisa belajar lebih
banyak lagi tentang hal-hal lain yang berlabel halal.”
Aku terpana oleh ucapan Caroline. Sama sekali tidak
menyangka, masakan uji cobaku kala itu telah mengakrabkan gadis ateis ini
dengan hukum halal dalam Islam. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Pada
layarnya tertera sebuah nama: Nia Hanafi, ibu dari Victoria.
“Ya, Kak Nia?”
“Uzi, maaf, ya. Besok aku ga bisa nganter ke bandara
karena ada lembur dari pagi sampai malam. Ga tau deh ini Victoria kutitipin ke
siapa. Ga ada kamu sih, ya!”ucapnya dengan nada sedih.
“Semoga perjalananmu menyenangkan, ya! Salam buat
keluarga di Indonesia. Oh iya, aku juga mau bilang makasih ke kamu, Zi. Sejak
kamu jagain Victoria, dia minta dipakein kerudung tiap malam, katanya mau
solat. Yah, walau mama papanya ga solat, aku seneng liat anakku rajin solat,”lanjutnya.
Seketika itu juga aku menangis, tidak menyangka jika
selama sebulan terakhir aku tidak menjaga Victoria karena ibunya tidak lagi
bekerja hingga larut malam, gadis kecil itu masih istiqomah belajar salat. Caroline
bingung.
Sungguh, aku tidak menyangka tentang sebagian rencana
Allah yang mengizinkanku menginjak bumi Swedia selama enam bulan ini. Aku yang
selalu menyayangkan keberadaanku di sini karena merasa tidak ada lahan dakwah,
baru saja Allah menampakkan apa-apa saja yang bermakna dakwah di negeri ini.
Kupeluk tubuh Caroline erat-erat. Caroline terpaku. Aku
tergugu. Dalam hatiku, terlantunlah sebuah doa syahdu: Allahu Yaa Kariim, bumimu luas, Yaa
Rabb. Sungguh luas. Maka tebarkanlah kami di seluruh penjuru dunia... saya
dan kawan-kawan... untuk memberatkan bumimu dengan kalimat laa ilaa ha illallah. Sungguh Tuhan, bumimu tidak hanya kampus
kami. Bumimu bukan sekedar negara kami. Ada jengkal-jengkal tanah di luar
jangkauan pikiran kami yang ingin sekali kami mewarnainya dengan kecerahan
Islam, menghalau halimun kejahiliyyahan di atasnya... hanya untuk-Mu.
BIODATA SINGKAT PENULIS
Nama lengkap : Fauziah Nur
Wahdhani
Angkatan : 2008
Jurusan :
Psikologi
Twitter :
@fauziahwahdhani
Blog :
fauziahnw-livejournal.blogspot.com
Amanah saat ini :
-
Mentor siswa kelas XII SMAN 1 Yogyakarta
-
Asisten penelitian dosen tentang faktor psikososial pada
diabetasi
-
Pengajar di Sanggar Belajar INKLUSIF
-
Tim Ambassador Fakultas Psikologi UGM