Status Aktivis Dakwah
In the beginning...
Pagi menyapaku dengan angin yang berhembus dingin
seperti biasa. Membuka kelopak mata, pun aku disuguhi sebuah hawa sejuk yang
menggugah segenap jiwa tuk bersemangat menyongsong hari yang cerah. Pekan ini
mading kampus dipenuhi rekruitasi beberapa unit kegiatan mahasiswa (UKM) atau
juga bisa disebut organisasi mahasiswa (ormawa). Sebagai mahasiswa baru,
tentunya hal ini sangat menarik dan menjadi topik diskusi hangat di kelas kami.
Berdasarkan hasil pembicaraan dengan beberapa
teman, ku ketahui di kelas kami ada beragam UKM yang diminati. Dari mulai unit
kerohanian, olahraga, hobi bahkan ada yang sudah tertarik masuk lab walau masih
tingkat pertama.
Aku menjadi salah satu diantara beberapa orang
yang berminat masuk di organisasi dakwah kampus atau biasa disebut rohis. Hal
yang sama terjadi pada beberapa kawan-kawanku yang sekelompok denganku ketika liqo semester lalu. Yeah, liqo’ atau mentoring memang agenda wajib mahasiswa disini
ketika semester satu. Tampaknya mentor kami berhasil meyakinkan kami untuk
tetap menggali ilmu agama, menyandingkannya dengan ilmu dunia yang akan kami
terima ketika kuliah. Dan alhamdulillah Allah memberikan jalan untukku
melangkah kesempatan di jalan ini, jalan yang takkan pernah aku sesali. Inilah
jalanku.
--------------------------------------------
Aktivis dakwah, Kenapa Tidak?
Suatu ketika aku penasaran dengan seorang kawan
yang ada di kelas. Dari penampilannya dia tampak menjaga dirinya, layaknya
muslimah taat lainnya yang senantiasa memang diharuskan menjaga diri. Hijab ia
kenakan, tutur kata dan tingkah laku ia jaga, tetapi...
"Kamu ikut rohis ya Ti?",tanyaku kepadanya pagi itu. Dosen belum datang,
dan suasana kelas belum terlalu ramai. Suasana normal mungkin aku tak mampu
memberanikan diri menyapanya dengan pertanyaan seperti itu.
"Hmm, nggak”, gumamnya singkat.
"Haa? Nggak?”, responku terkaget, “kenapa
ngga?",tanyaku kembali. Aku
terkejut mendengar jawabnya. Padahal ku duga dia anak rohis juga.
"Statusnya
itu lho.”, dia terdiam sejenak, lalu
ia tambahkan kata-katanya, “ Aku masih begini, masih belum ngerasa mampu. Nanti malah
bikin...", kedatangan dosen di kelas kami mengalihkan perhatiannya. Percakapan kami berhenti sampai
disitu. Tetapi sedikit rasa
keingintahuanku terobati.
Status. Ya,
alasan dia adalah status. Mungkin
beberapa mahasiswa lainnya yang tidak ingin menyentuh ranah lembaga dakwah
kampus (LDK) memiliki alasan yang
demikian. Mereka merasa tidak cukup baik, tak pantas atau bahkan
merasa belum waktunya.
Dan aku sendiri
mengapa berani? Apakah aku sekarang
sudah pantas?
Sekilas, percakapan singkat pagi itu membawaku
terbang ke dalam kenangan lama. Ketika masa SMA, aku jauh dikatakan
berani untuk ikut mengambil peran
yang sama.
"Masak anak
rohis nyontek? Masak anak rohis pacaran? Masak anak rohis begini begitu bla,
bla, bla?", sebuah pertanyaan tajam yang pernah dilontarkan teman yang
melihat anak-anak rohis di sekolah
kami berlaku demikian. Sebuah pertanyaan yang saat itu membuatku
terdiam, terdiam dan tampak memilih
bermain aman. Aku sama sekali tidak
tahu harus bagaimana.
Temanku tidak salah, anak rohis yang bisa disebut
aktivis dakwah sepatutnya memang menjadi role
model bagi orang lain di sekitarnya. Namun...
---------------------
Memahami Kesempurnaan
Angin berhembus sejuk malam ini. Inilah Bandung,
tempatku menempa diri, ditemani rerumputan yang senantiasa hijau berhias embun
yang menyejukkan hati. Langit mendung, tetapi tampaknya perjalanan hari ini tak
akan batal, apalagi hanya karena air.
Kamis malam, perjalanan pertamaku ke tempat ini. Sebuah
tempat milik seorang ustaz yang mungkin sudah terkenal seantero Bandung. Bukan,
Indonesia pun pasti mengetahui siapa beliau. Ceramahnya sempat menghiasi layar
kaca ketika itu, walau kata orang popularitasnya meredup sejak kejadian itu.
“Alhamdulillah sudah sampai”, seru kak Indra,
ketua LDK tempatku bernaung yang memboncengku malam itu.
“Lho kok ramai ya?”, sahutku. Kami memasuki bagian depan sebuah kompleks pondok pesantren. Tetapi sudah terlihat banyak mobil dan motor berjejalan memenuhi parkiran. Seperti memang akan ada pengajian besar.
“Iyalah. Dulu sebenarnya lebih ramai. Bahkan bisa meluber sampai ke jalan raya pengunjung ketika pengajian kamis malam”, jawab Kak Indra.
“Bukannya sejak saat itu saya sering baca berita
katanya pengajian Pak Ustaz jadi sepi ya”, tukasku, “tapi masak sepinya aja
gini, gimana ramainya?”, tambahku. Kak Indra hanya menjawabnya dengan
tersenyum.
Malam ini aku baru menyadari satu hal. Ustadz yang
satu ini memang keren. Pantas banyak yang menyukainya ketika mendengar
ceramahnya di depan televisi. Namun mendengar ceramahnya langsung disini,
rasanya memang berbeda. Setiap kata, dalil dan contoh sangat pas dan mudah
dicerna. Sempurna. Dan mungkin inilah yang dirasakan ratusan orang lain yang
menghadiri pengajiannya hingga memaksa menutup jalan raya di waktu silam.
Dalam Surat At Tin dijelaskan bahwa manusia memang
diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tetapi tidak ada yang mengatakan
manusia itu sempurna. Yang paling sempurna adalah Allah, dan sebaik-baik
panutan hanya Nabi Muhammad Saw
Mungkin jamaah yang tersisa disini menyadarinya.
Bahwa sang ustaz pun manusia biasa, terkadang boleh jadi melakukan kesalahan
betapapun ceramahnya mengandung nilai keislaman yang begitu mempesona. Sepertinya
tidak akan pernah ada aktivis dakwah jika menunggu peran itu diambil sosok yang
sempurna. Bukankah Rasulullah juga menyuruh kita menyampaikan ilmu darinya
walau hanya satu ayat yang kita bisa sampaikan?
"Jangan melihat siapa yang bicara
tapi lihatlah apa yang dibicarakan" (Ali bin Abi Thalib)
-----------------------------------
Jadi Status Itu...
Status aktivis dakwah, apakah pantas aku
memilikinya? Perlahan tetapi pasti aku mulai menemukan jawabannya. Jawabannya
tenggelam diantara lautan dan masuk ke dalam palung terdalam. Tidak ada. Aku
mencoba mencarinya tetapi tetap tidak ada. Mengapa demikian? Entahlah. Mungkin
ini bukan tentang pantas atau tidaknya kita, tetapi apakah kita telah
memantaskan diri kita untuk itu. Apakah kita telah berusaha membuat diri kita
pantas?
Yang jelas, bukan karena status aktivis dakwah
kita harus rajin beribadah, sholat fardhu pada waktunya, shaum ketika Ramadhan tiba, membayar zakat, atau bahkan naik haji
ke Baitullah. Bukan karena aktivis dakwah kita menjaga diri, mata kita, telinga
kita, kaki kita, menjaga pergaulan kita, menjaga semua yang kita miliki dari
hal yang diharamkan oleh-Nya. Bukan karena aktivis dakwah bukan?
Apakah lantas ketika kita tidak mengemban amanah
ini, kita jadi bebas menjadi muslim yang sholatnya jarang, ibadahnya nggak
karuan, perilakunya begajulan, sementara kita masih berani mengharapkan
ampunannya di hari pembalasan?
Tentunya bukan karena status aktivis dakwah ini
kita berdakwah. Dan bukan karena status aktivis dakwah kita menjadi muslim,
namun karena kita muslim sudah seharusnya kita menjadi aktivis dakwah.
Apapun bagaimanapun, lakukan itu hanya niat
untuk-Nya.
Larilah
hanya menujuNya.
Meloncatlah
hanya ke haribaanNya.
Walau
duri merentas kaki.
Walau
kerikil mencacah telapak.
Sampai
engkau lelah.
Sampai
engkau payah.
Sampai
keringat dan darah tumpah.
Maka
kekhusyu’an akan datang padamu ketika engkau beristirahat dalam shalat.
Saat
kau rasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat.
Lalu
kau pun pasrah, berserah.
Saat
itulah, engkau mungkin melihatNya, dan Dia PASTI melihatmu!
(Jalan Cinta Para Pejuang - Salim A.
Fillah)
Biodata :
Nama lengkap : M. Faizal
Ramadhan
Nama pena : Raffa
Muhammad
Angkatan : 2010
Jurusan : S1
Teknik Telekomunikasi Institut Teknologi Telkom Bandung
Twitter :
science_sparker
Blog : multiply : http://ramadhanfaizal.multiply.com/
Amanah :
Madrasah Quran Syamsul Ulum, TPA Al Ikhlas, Riset Lab Antena ITT