The Most Inspiring Person
Ini tentang seseorang yang sangat menginspirasi saya. Orang yang selalu membuat saya
mendapatkan kembali semangat ketika mengingatnya. Orang yang begitu istimewa dengan
kesederhanaannya, yang tidak punya prestasi menonjol –mungkin karena ia tak sempat
berpikir untuk berprestasi- tapi punya dedikasi yang luar biasa. Yang dengan dedikasinya itu,
saya selalu merasa jadi pecundang ketika berada di hadapannya. Saya, yang sedianya jadi
panutan baginya. Saya, yang seyogyanya jadi sumber inspirasi baginya. Saya, yang adalah
seniornya tapi tak mampu memberi qudwah baginya, dan bagi semua kader di fakultas saya –
yang hanya segelintir saja-.
Darinya saya belajar tentang jiddiyah, istiqomah, amanah, dan semua definisi tentang
aktivitas dakwah yang selama ini saya dapatkan dari materi-materi halaqoh maupun tasqif
dan kajian-kajian rutin. Dialah contoh nyata tentang kuatnya ruhul istijabah. Dia adalah
teladan untuk yang ingin belajar dakwah fardiyah. Dan sosoknya selalu berhasil membuat
orang yang suka mengeluh menjadi terdiam tak bersuara. Dan untuknya, saya bangga karena
telah mengenalnya dan mengisahkan tentangnya untuk sebanyak mungkin kader di seluruh
tempat yang dapat membaca cerita ini.
Dia -hanya seorang- akhwat, beri tanda khusus pada frasa ‘hanya seorang’. Karena memang
hanya seorang. Tak ada akhwat lain di fakultas kami di angkatan 2009. Hanya seorang. Dan
yang seorang itu hanya dia. Ikhwan? Tak ada. Satupun. Ya, dia tak punya teman. Tak punya
tempat untuk berkesah ketika lelah berdakwah, selalu sendiri merancang kerja-kerja dakwah.
Kondisi memaksa kami harus selalu bekerja masing-masing, di ranah masing-masing.
Keadaan saya yang tak memungkinkan untuk terlalu intens mengurus dakwah fakultas,
seiringkali membuat saya harus menangis ketika melihat dia mengurus agenda-agenda
UKMF sendirian. Dan disinilah saya merasa menjadi begitu kecil ketika membandingkan diri
dengannya.
Kesendirian tak membuatnya patah semangat. Saya tahu bagaimana perjuangannya mengajak
teman-temannya untuk mau bergabung dengan aktivitas tarbiyah, meski tak selalu berhasil.
Dan buah dari keteguhannya, adalah sekarang para pengurus BEM-F dan mahasiswa di
fakultas mau hadir dalam ta’lim-ta’lim yang diadakan olehnya. Meski tak berhasil mengajak
teman-temannya untuk bergabung, tapi setidaknya dia mampu membuat mereka menjadi
simpatisan. Dan saya tak sanggup melakukan itu.
Dia tak pernah mengeluh. Meskipun dia harus bekerja di toko tetangganya sepulang kuliah
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, tapi dia selalu berhasil menyelesaikan amanah-
amanah dakwah dan kuliah yang ditanggungnya. Tepat waktu. Seringkali dia tidak bisa hadir
di agenda-agenda yang diadakan hari Sabtu atau Ahad, karena harus bekerja. Seringkali saya
kesulitan menghubunginya di malam hari, karena dia masih bekerja. Hingga saya kadang tak
habis pikir, kapan waktunya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya?
Saya tahu dia kelelahan, tapi tak pernah sekalipun dia menolak amanah yang diserahkan
padanya. Sampai-sampai teman-temannya yang harus mengingatkan kami –para pemberi
amanah- tentang kondisinya yang kesulitan dalam hal finansial. Kami memang sering lupa
jika melihat kegesitannya dalam mengerjakan tugas, sehingga selalu ingin memberi tugas
untuknya. Lagi dan lagi. Dan saya semakin tak ada artinya dibandingkan dia.
Sekali lagi, dia memang tak punya prestasi yang menonjol. Mungkin karena memang tak
sempat. Bacaan Qur’annya kurang lancar. Wajar. Dia baru kenal Islam setelah masuk kuliah.
Begitu pengakuannya dulu. Orang tuanya tak pernah menaruh perhatian lebih pada
pendidikan agama anak-anaknya. Maka dia selalu mengatakan ‘bersyukur bisa kuliah di sini,
bisa bertemu dengan mbak dan saudara-saudara yang lain’. Dan saya makin tak punya muka
untuk berhadapan dengannya. Sebagai alumni pesantren, saya justru tak menunjukkan
semangat belajar seperti yang dia miliki. Karena meskipun kemampuannya tak maksimal,
tapi usahanya tak pernah minimal. Dia selalu berusaha menghafal seperti teman-temannya
menghafal Al-Qur’an meskipun tingkat kesulitan baginya tentu lebih tinggi dibanding yang
lain. Dan dia tetap berusaha, sampai akhirnya berhasil menghafal surat-surat di juz ‘Amma
dengan cukup baik. Dan lagi-lagi itu membuat saya harus menegur diri ‘bukankah kau
adalah guru Tahsin? Lantas apa yang membuatmu malas menghafal?!’
Dia tak pernah kehilangan pesonanya. Bukan. Bukan karena dia cantik. Dia berparas
sederhana, bahkan. Tapi sikapnya, akhlaqnya yang berhasil membuat adik-adik tingkatnya
menjadi kagum dan tertarik padanya. Sekali lagi. Saya terpaksa malu dibuatnya. Darinya,
telah hadir kini kader-kader baru yang memang tak banyak. Sepuluh orang. Sepuluh orang
untuk satu fakultas. Dua ikhwan dan delapan akhwat. Dan semuanya adalah hasil
rekrutannya. Sebuah rekor untuk fakultas kami. Fakultas yang –katanya- tak pernah memiliki kader banyak, tapi selalu istimewa.
Ah, dia memang istimewa. Tapi saya? Tak ada yang membuat saya istimewa jika
disandingkan dengan dia yang baru belajar tapi punya semangat membakar. Sementara saya Aku dan LDK: Ini Ceritaku, Mana Ceritamu?
adalah orang yang selalu dikelilingi para pegiat tarbiyah sejak kecil. Saya mengaji bahkan
sebelum tahu membaca a-be-ce-de. Saya dididik keras untuk menjadi muslimah. Saya selalu
mendapatkan segala yang saya butuhkan untuk mencapai prestasi. Dan dia? Dia adalah
mutiara. Sang pembelajar.
Keluarganya hanya keluarga yang biasa. Tidak ada satupun dari keluarganya yang pernah
tersentuh tarbiyah. Bahkan ketika dia memutuskan untuk berhijrah menjadi muslimah kaffah, keluarganya pun tak cukup mendukung. Dan tentu saja itu menjadi hambatan tersendiri bagi dirinya. Tapi dia tetap berusaha. Perlahan-lahan, saya lihat dia berusaha merubah penampilannya menjadi lebih syar’i dan Islami. Tinggal bersama kakak membuat dia tidak leluasa beraktivitas karena sering harus membantu pekerjaan kakaknya, tapi dia seperti tak pernah kehabisan cara untuk mensiasati sempitnya waktu yang dia miliki.
Dan saya teringat ketika di pertengahan 2010 ada laporan dari seorang akhwat seangkatannya
dari fakultas lain. Bahwa ternyata, selama hampir setahun dia belum mendapatkan tutor.
Tersentak saya mendengarnya. Ternyata Bidang Pembinaan tak berhasil menemukan
namanya ketika evaluasi tutor sehingga dia tak terdata sebagai kader. Ternyata sejak pertama
kali mendaftarkan diri bergabung dengan Bapinda, tutor yang diamanahkan untuk membina
kelompoknya menghilang entah ke mana. Sementara teman-temannya yang lain mendapatkan tutor pengganti di fakultasnya masing-masing, dia sendiri diam karena tak tahu harus berbuat apa. Maka yang dia lakukan hanya hadir di kajian, tak pernah absen di tasqif, membaca buku yang juga dibaca oleh teman-temannya, dan tetap belajar membaca Al-Qur’an sendiri. Semampunya.Dan saya menjadi orang yang paling merasa bersalah atas keterlambatan penanganannya.
Saya adalah seniornya, bagaimana mungkin saya tidak tahu akan hal itu? Lalu saya akhirnya
harus introspeksi diri, lagi. Bahwa ternyata saya tak pernah berhasil menjalin hubungan yang
baik dengannya. Perkenalan kami hanya sekadar perkenalan antara senior dan junior di
fakultas. Tidak lebih. Dan tentu saja ini kesalahan saya. Maka saya mengajukan agar dia
masuk kelompok unggulan. Tidak boleh tidak. Dan terbukti dia berhasil melesat, jauh
meninggalkan teman-temannya. Dia melesat, berhasil memaknai setiap ibroh dan hikmah
dalam aktivitas dakwahnya. Hingga dia menjadi kader paling muntijah – setidaknya menurut
saya -. Saya yakin, ada banyak kisah tentang kader-kader inspiratif seperti dia di tempat lain. Dan dia, menjadi salah satu yang istimewa itu. Dia, yang saya pikir tidak perlu saya sebutkan
namanya tapi cukuplah kisahnya menjadi inspirasi bagi semua. Maka, bagi kita semua yang
diberi banyak kelebihan oleh Allah untuk dapat berbuat lebih banyak dengan kemampuan
kita, jangan pernah sia-siakan kesempatan itu. Dan jangan pernah meremehkan kemampuan
seseorang hanya karena keterbatasannya yang terlihat, karena Allah menciptakan manusia
pasti dengan keistimewaan tersendiri.
Biodata
Nama Lengkap : Tika Dwi Lestari
Fakultas/Jurusan/Angkatan : Ushuluddin/Pemikiran Politik Islam/2008
Kampus : IAIN Raden Intan Lampung
No. HP : 085279617570
Facebook : Zuhrah Asiah Syuhada / zuzusyuhada@rocketmail.com
Twitter : @tikazuhrah
Blog : www.gemintangterang.blogspot.com
Amanah : Dewan Pembina LDK Fakultas
Afwan kira-kira bukunya masih ada nggak ya? Saya nggak tau kalo tulisan saya masuk antologi ini. Kalau berkenan saya minta info kemana bisa beli bukunya. Jazakallah
ReplyDeleteAfwan kira-kira bukunya masih ada nggak ya? Saya nggak tau kalo tulisan saya masuk antologi ini. Kalau berkenan saya minta info kemana bisa beli bukunya. Jazakallah
ReplyDelete