“Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu, niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak.”
Itu adalah perkataan dari Abdurrahman bin 'Auf r.a., sahabat Rasulullah saw. Seorang saudagar sukses, yang dengan kekayaannya ia bisa membiayai perjuangan Islam. Pertempuran dan ekspansi yang membutuhkan dana besar dapat terlaksana dengan bantuan para konglomerat muslim sahabat Rasulullah. Dan ia adalah salah satu penyokong dana perjuangan umat muslim saat itu.
Beliau termasuk orang yang paling awal masuk Islam. Menjadi muslim berselang dua hari setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. - yang juga seorang konglomerat penyokong dana dakwah Islam - masuk Islam.
Abdurrahman bin Auf r.a. merupakan sahabat yang turut serta dalam hijrah ke Habasyah. Dan beliau juga ikut serta dalam hijrah ke Madinah.
Saat tiba di Madinah, beliau tidak memiliki apa-apa. Tidak memiliki harta atau pun isteri. Karena saat hijrah, semua harta ditinggalkan di Mekkah.
Salah satu kebijakan Rasulullah saat tiba di Madinah adalah mempersaudarakan antar sahabat Muhajirin dan Anshor. Abdurrahman bin Auf r.a. dipersaudarakan dengan Sa'ad bin al-Rabi' al-Ansari r.a.. Persaudaraan ini benar-benar dijalankan dengan tulus oleh para sahabat, sehingga Sa’ad yang memiliki dua istri menawarkan salah seorang istrinya untuk Abdurrahman bin Auf. Selain juga menawarkan harta bendanya.
“Saudaraku! Saya adalah salah seorang penduduk Madinah yang punya banyak harta, pilihlah dan ambillah/ dan saya juga mempunya dua orang isteri, lihatlah salah satunya yang mana yang menarik hatimu sehingga saya bisa mentalaknya untukmu.” Ujar Sa’ad.
Namun Abdurrahman bin Auf menolak. Ia hanya mengajukan satu permintaan. “Semoga Allah memberkatimu pada hartamu dan keluargamu (akan tetapi) tunjukkanlah di mana letak pasarmu,” jawab Abdurrahman bin Auf. Maka Abdurrahman bin Auf ditunjukkan ke sebuah pasar.
Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat lihai berbisnis. Tak memerlukan waktu yang lama, usahanya di pasar itu telah mampu mendatangkan laba yang banyak kepadanya, dan ia juga mampu membeli makanan yang cukup. Dan tak lama berselang ia telah dipenuhi wewangian.
Rasulullah s.a.w. bertanya, "Apa gerangan yang terjadi denganmu?” Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, aku telah menikah.” Baginda bertanya, “apa maharnya?” Ia menjawab, "Emas sebesar biji kurma." Lalu Rasulullah memerintahkan, "Buatlah walimah walaupun dengan satu ekor kambing."
Itu adalah gambaran bagaimana hebatnya insting bisnis Abdurrahman bin Auf. Dengan kehebatannya itu, ia bisa menyumbang kontribusi besar bagi perkembangan Islam.
Saat Rasulullah melakukan konsolidasi dengan para sahabat untuk menghadapi perang Tabuk, sebuah perang yang membutuhkan banyak biaya karena perjalanannya yang jauh dan musuh yang dihadapi cukup besar yaitu Romawi, Abdurrahman bin Auf tampil sebagai penyokong dana yang besar.
Abdurrahman bin ‘Auf datang dengan dua ratus ‘uqiyah emas yang ia serahkan di jalan Allah. Umar bin Khattab pun berkata, ”Sesungguhnya aku melihat, bahwa Abdurrahman adalah orang yang berdosa karena dia tidak meninggalkan untuk keluarganya sesuatu apapun.” Maka bertanyalah Rasulullah kepadanya, ”Wahai Abdurrahman, apa yang telah engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Dia menjawab, ”Wahai Rasulullah, aku telah meninggalkan untuk mereka lebih banyak dan lebih baik dari yang telah aku infakkan.” ”Apa itu?” tanya Rasulullah. Abdurrahman menjawab, ”Apa yang dijanjikan oleh allah dan RasulNya berupa rizki dan kebaikan serta pahala yang banyak.”
Itu adalah salah satu contoh kontribusinya dalam bidang harta. Beliau r.a. selain dermawan, juga tidak kalah aktif dalam menyertai jihad bersama Rasulullah saw. Beliau hadir dalam jihad di Badar, Uhud, dll. Karena bergabung dengan barisan Islam, beliau harus kehilangan harta yang banyak di Mekkah. Namun hal ini tidak menyebabkan beliau menjadi kikir, namun justru semakin dermawan di jalan Allah.
Ibrohnya adalah bahwa perjuangan Islam butuh orang seperti Abdurrahman bin ‘Auf. Banyak yang salah kaprah tentang konsep zuhud – baik salah kaprah yang disengaja atau tidak – sehingga kesalah kaprahan itu mempengaruhi umat agar menjauhi harta.
Padahal orang seperti Abdurrahman bin Auf adalah model orang yang sangat zuhud. Beliau tidak menggantungkan hidupnya dengan meminta-minta atau mengandalkan pada saudaranya Sa’ad bin Rabi’. Beliau menolak saat ditawarkan untuk memanfaatkan harta saudaranya, bahkan mengambil salah satu istri saudaranya. Dengan zuhudnya, Abdurrahman bin ‘Auf hanya meminta ditunjukkan pasar agar ia bisa berusaha sendiri.
Apa yang dilakukan di pasar? Tentu saja beliau mengamati potensi bisnis yang ada. Dan dalam waktu yang sekejap ia mampu hidup yang sangat layak bahkan menikah.
Kemampuan usaha seperti ini yang harus diasah oleh umat muslim di zaman sekarang. Pasar begitu terbuka. Tak harus hadir di pasar fisik, namun cukup di dunia maya kita sudah bisa berusaha. Pengamatan melihat peluang memang merupakan bakat, tapi bukan berarti tidak bisa diasah.
Cerita Abdurrahman bin ‘Auf ini begitu fenomenal dan menjadi paragraf besar dalam coretan emas sejarah Islam. Tulisan ini tidak berpanjang-panjang karena bertujuan untuk mengingatkan lagi para pembaca tentang kisah ini – yang mungkin banyak pembaca sudah akrab dengan nama dan kisah hidup Abdurrahman bin ‘Auf. Jadikanlah beliau sebagai icon perlawanan atas penindasan ekonomi yang menimpa umat Islam saat ini.