Dr. Saiful Bahri, M.A
Ishmah Addîn Khâtûn…
Salah seorang perempuan yang tak banyak disebut sejarah tapi memiliki
peran penting dalam masa-masa sulit umat Islam. Perempuan yang pernah
mendampingi dua lelaki besar. Dua pahlawan penting. Dua pejuang gagah.
Dua tokoh yang diabadikan sejarah. Pertama, Sultan Nuruddin Zanky. Dan
setelah beliau wafat Shalahuddin al-Ayyubi menjadi suami keduanya. Dua
tokoh penting di balik perseteruan ideologis umat Islam dan tentara
salib.
Perempuan ini berada dibalik lelaki bermental baja, Sultan Nuruddin yang
telah bersiap dengan menyiapkan mimbar untuk digunakan di Masjid
Al-Aqsha, namun hingga dirinya wafat mimpi dan rencana besarnya tersebut
tidak juga terwujud di alam nyata. Inilah barangkali yang menjadikan
Shalahuddin meminang beliau sekaligus menjaga warisan cita-cita Sultan
Nuruddin Zanky untuk menaklukkan Bait al-Maqdis dari tangan tentara
salib. Mewujudkan mimpi Sultan Nuruddin juga mimpi istrinya Ishmah
Khatun.
Bapaknya, Atabik Mu’inuddin adalah seorang penasehat kerajaan di
Damaskus di era pemerintahan Seljuk. Saat negara benar-benar lemah di
bawah kepemimpinan Raja Mujiruddin Abeq, Sang Ayah bahkan berperan bak
Nizhamul Mulk; Sang Raja yang sesungguhnya.
Ishmah tumbuh dan besar di benteng-benteng Seljuk, hingga keluarga Zanky
memerintah. Dididik langsung oleh ayahnya yang pakar politik dan
militer menjadikannya tidak seperti kebanyakan perempuan di zamannya.
Selain itu pendekatan keluarga Zanky dengan Damaskus juga patut diacungi
jempol. Sultan Nuruddin memerankan politik koalisi dan saling menolong
serta saling membela sebagai ganti dari penaklukan-penaklukan sesama
kaum muslimin. Maka jadilah Damaskus yang kuat, dan dengan sendirinya
keluarga Zanky menjadi diterima di sana.
Dialog dan surat menyurat antara Mu’inuddin dan Nuruddin Zanki
menjadikan keduanya sangat mengenal satu sama lain. Hingga akhirnya
keduanya pun melanjutkkan hubungan yang sudah baik tersebut dengan
semakin memperkuatnya melalui hubungan kekerabatan dan pernikahan.
Nuruddin meminang putri Mu’inuddin, Ishmah Addin Khotun.
Beruntunglah sang pejuang yang memiliki seribu obsesi kebaikan tersebut.
Ia dipertemukan Allah dengan seorang perempuan tangguh didikan ayahnya
yang kuat dan cerdik serta terkenal keshalihannya. Cantik zhahirnya,
berakhlak tinggi dan memiliki iffah serta rasa malu yang lebih dari
perempuan lainnya.
Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyahnya bahkan secara eksplisit memuji Ishamh Addin Khatun, “Dia
termasuk salah satu perempuan tercantik, paling iffah dan pemalu,
banyak melayani rakyatnya, berpegang teguh pada ajaran agamanya”.
Barangkali ini pula yang kemudian menjadikan Shalahuddin segera
meminangnya setelah suami pertamanya, Sultan Nuruddin Zanky wafat dan
habis masa iddahnya. Terlebih Abu Syamah al-Maqdisy menjelaskan dalam
bukunya “Raudhatain fi Akhbâr An-Nûriyah wa Ash-Shalâhiyyah”
bahwa Ishmah semakin rajin bersedekah sepeninggal Sultan Nuruddin.
Beliau juga makin banyak berkeliling memenuhi hajat rakyatnya dan rakyat
suaminya. Dan Abdul Qadir An-Nu’aimy dalam ad-Dâris fi Târîkh al-Madâris menambah, “… beliau punya kebijakan cerdas, alirkan sedekah-sedekah, menggaji para fuqaha…”
Dalam beberapa kesempatan Ishmah bahkan disebut sebagai seorang pakar fikih perempuan (faqîhah)
yang bermadzhab hanafi. Beliau belajar di Madrasah al-Khatuniyah di
Damaskus. Beliau bahkan dikenal kemudian sebagai donatur sekaligus
inisiator kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut. Dengan semangat
reformatifnya sekolah ini juga nantinya menjelma menjadi sekolah
penting yang melahirkan banyak ulama madzhab hanafi yang terkenal.
Selain keshalihan dan kecerdasannya, Ishmah Khatun juga dikenal memiliki
kesabaran yang luar biasa. Di antara contoh kesabaran beliau adalah,
menantikan keturunan dari Sang Sultan Nuruddin yang baru dikarunia
keturunan darinya nyaris hampir dua puluh tahun lamanya. Selama
mendampingi Sang Sultan, Ishmah –hanya- dikaruniai tiga orang anak.
Seorang anaknya meninggal ketika masih bayi, seorang lagi meninggal di
usia kanak-kanak. Sehingga kemudian beliau hanya memiliki seorang anak
saja dari Sultan Nuruddin bernama Isma’il yang nanti dijuluki dengan al-Malek Ash-Shalih.
Bentuk kesabaran kedua adalah penantian panjangnya untuk menyaksikan
langsung penaklukan Masjid al-Aqsha dari tangan tentara salib. Namun
Allah berkehendak lain. Ishmah ad-Din Khâtun wafat pada tahun 581 H,
sebelum kedua matanya menyaksikan langsung pembebasan al-Aqsha tersebut.
Mimpinya sebagaimana mimpi suaminya juga belum terwujud di masa
hidupnya.
Ia bawa mimpi pembebasan al-Aqsha bersama ruhnya menjadi saksi obsesi
mulia yang dimilikinya yang dititipkan pada suaminya juga umat Islam
setelahnya untuk terus melakukan usaha penaklukan dengan gigih dan
pantang menyerah. Dan enam tahun setelah wafatnya beliau suaminya yang
pemberani dan pakar strategi perang itu berhasil taklukkan kembali
Masjid al-Aqsha. Wakili istrinya juga Sultan Nuruddin wujudkan mimpi dan
cita-cita. Maka kemudian beliau letakkan mimbar Nuruddin ini ke dalam
Masjid al-Aqsha sebagai mimbar utama yang telah disiapkan selama dua
puluh tahun sebelum penaklukannya. Dan kemudian menjelma menjadi mimbar
utama sampai tahun 1969 M ketika mimbar bersejarah tersebut terbakar
bersama terbakarnya Masjid al-Aqsha yang dilakukan oleh orang Zionis
Israel.
Berita wafatnya Ishmah Khâtun sendiri dirahasiakan pihak istana. Kabar
duka tersebut baru diketahui suaminya, Shalahuddin al-Ayyubi tiga bulan
setelahnya.
Perempuan yang menjaga kehormatannya itu telah pergi dengan catatan
prestasinya, namun namanya akan terus ada bagi mereka yang mencari tahu
sejarah besarnya. Perempuan terhormat yang telah mendampingi orang-orang
terhormat yang bergulat dengan sejarah taklukkan keangkuhan dengan
kekuatan ilmu, senjata, fisik, mental dan kesatuan umat.
Lahir dan tumbuh di pusat-pusat pengambilan keputusan. Dewasa dan
mendampingi aktor-aktor pengambil keputusan penting. Dan kemudian
meninggal di balik bilik-bilik pemegang kebijakan super penting. Lahir,
tumbuh, berkembang, dewasa, hidup dan bersama di bilik-bilik
kepemimpinan.
Mesti namanya tak semoncer kedua suaminya, Ishmah Khâtun adalah orang
penting di balik para decision maker di istana Damaskus dan Kerajaan
Syam.
Dengan terbiasa di lingkungan istana tak menjadikannya sosok yang angkuh
dan sombong. Justru sebaliknya, beliau menjelma dengan segala
kerendahan hati dan ketawadhuan serta kezuhudannya. Harta yang melimpah
beliau “larikan” untuk pengembangan ilmu, mendukung program-program ahli
fikih dan ulama, kemudian mensuply penguatan mental para pasukan muslim
yang sedang berjuang melawan tentara salib. Hampir tak ada waktu dan
materi yang dinikmati untuk kepentingan pribadinya
Perempuan pemalu itu tak malu-malu untuk menerima pinangan Shalahuddin,
sebagaimana ia tak malu menyandang sebutan janda sepeninggal suami
pertamanya Sultan Nuruddin. Saat menjanda kegiatan sosial dan
keilmuannya malah meningkat dan sedekahnya semankin bervariasi. Dengan
menikahi Shalahuddin ia berharap mewujudkan mimpi suaminya, membebaskan
tanah suci Bait al-Maqdis dari tangan para salibis.
Meski impian dan cita-citanya untuk shalat di Masjid al-Aqsha tak
tercapai, tapi dengan terbebasnya al-Quds oleh Shalahuddin menandakan
bahwa Ishmah memiliki sentuhan pantang menyerah untuk sebuah pembebasan
bermakna, penaklukan penuh spirit dan kemenangan yang fenomenal di
tangan suaminya, dengan pasukan yang jauh lebih sedikit dari jumlah
tentara salib yang merupakan aliansi kerajaan di Eropa.
Di samping dua lelaki hebat itu terdapat seorang perempuan hebat… Ishmah Ad-Dîn Khâtun.
Semoga Allah memberkatimu, memberkati keluarga dan keturunanmu, berharap
ada lagi perempuan-perempuan tangguh sepertimu yang berani menjadi
spirit para lelaki untuk bebaskan negeri yang terjajah dari berbagai
dimensi. AlLâhu al-Musta’ân.