Dari kata Qahwah dalam bahasa Arab diderivasikan kata baru dalam
bahasa Inggris yaitu coffee dan cafe. Para sufi di Yaman meminum kopi
sebelum memulai ritual zikirnya. Kabarnya meminum kopi membuat mereka
lebih konsentrasi dan fokus (dalam bahasa keagamaan: lebih khusyu’).
Maka dari Yaman menyebarlah tradisi minum kopi ke Mekkah, Mesir dan
Syria serta Turki di abad 15 dan 16 masehi.
Tapi seiring kontroversi terhadap para sufi, kopi pun sempat
diperdebatkan halal-haramnya oleh para ulama di Mekkah, Kairo dan
Istanbul pada masa itu. Efek kafein di dalam kopi dianggap setara dengan
efek alkohol. Bahkan ada yang mengharamkannya karena dianggap
menyerupai budaya meminum wine di masyarakat barat. Ah memang orang
fanatik dimanapun berada senangnya curiga terus dengan budaya luar.
Tapi kopi bukan hanya sekedar milik para sufi. Dibukanya kedai kopi
di banyak tempat telah menjadi arena orang berkumpul sambil ngobrol.
Yang diobrolkan dari sekedar curhat sampai soal sastra, agama dan
politik. Iya, kata yang terakhir ini menjadi alasan lainnya mengapa
meminum kopi bisa dianggap berbahaya. Di banyak tempat kedai kopi
menjadi forum obrolan politik mengkritik penguasa tiran. Dan penguasa
tiran segera meminjam tangan para ulama untuk mengeluarkan fatwa hukuman
mati untuk peminum kopi, seperti dilakukan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640).
Dari Yaman dan Istanbul, kopi menyebar ke dunia barat. VOC Belanda
yang semula berdagang di nusantara terus lama-lama menjajah itu juga
punya andil besar menyebarkan kopi dari wilayah nusantara ke Eropa di
abad 17. Dan ketika masuk ke Eropa, pada mulanya kopi dicurigai sebagai
minuman muslim dan banyak yang enggan meminumnya (kalimat saya di atas
berlaku juga di sini: ah memang orang fanatik dimanapun berada senangnya
curiga terus dengan budaya luar). Baru setelah Paus Clement VIII
dilaporkan sangat menikmati minum kopi dan keluar ‘fatwa’ dari Vatikan
bahwa kopi tidak selayaknya menjadi monopoli orang Islam, maka Eropa pun
memulai menikmati tradisi baru ini –sebelumnya tradisi Eropa itu
meminum teh.
Lantas belakangan muncul cita rasa baru dalam meminum kopi. Kopi arab
yang terasa berat dengan wangi jahe dan disajikan dalam gelas kecil,
digantikan dengan kopi yang dicampur rasa beraneka ragam dengan gelas
yang lebih besar. Starbucks perusahaan kopi Amerika itu menjelma menjadi
perusahaan internasional. Tapi tak semuanya berhasil ditembus
Starbucks. Di Australia kedai kopi cita rasa Amerika itu banyak yang
tutup karena orang Australia merasa mereka punya tradisi meminum kopi
sendiri. Begitulah, akhirnya kopi menjadi bagian dari budaya setempat,
dimanapun berada. Dan masing-masing mengklaim memiliki tradisinya
sendiri. Kopi bukan lagi sekedar secangkir tapi telah menjadi teman saat
berzikir dan berpikir.
Satu hal yang kita harus ingat: “Sesempurna-sempurnanya racikan kopi
anda, pasti tetap ada rasa pahitnya.” Itulah filosofi kopi. Mungkin
begitu juga kehidupan ini. Benarkah demikian? Silahkan saja dinikmati
maknanya sambil menyeruput kopi anda hari ini
Setidaknya dibuat juga pengarang kalimat berita nya min. ,🙏
ReplyDelete