Geliatnya
dimulai dari kedai kopi. Ia memulai perjuangannya dengan mengumpulkan
beberapa sahabat. Awalnya hanya terkumpul lima sampai enam orang saja.
Menganalisa keadaan, berdakwah dari pintu ke pintu, dari kedai minum,
dan tempat makan.
Mulanya,
ajakan Hasan al Banna pada sahabat-sahabatnya untuk berceramah di
kedai-kedai kopi dipandang aneh. Kepada Hasan al Banna, mereka
berkata, “Para pemilik kedai kopi tentu tidak akan mengizinkan dan
menolaknya. Mereka pasti menolaknya karena mengganggu pekerjaan mereka.
Di samping itu, kebanyak pengunjung kedai kopi adalah orang-orang yang
memikirkan apa yang mereka nikmati saja. Bagaimana kita bisa berbicara
tentang agama pada orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan duniawi
seperti mereka?!”
Namun
Hasan al Banna memiliki pemikiran lain. Menurutnya, para pengunjung
kedai kopi itu dalam kondisi siap mendengarkan ceramah dari para aktivis
masjid sekalipun. Perdebatan pun terjadi di antara mereka, sampai Hasan
al Banna mengatakan, “Bagaimana kalau hasil dari percobaan ini kita
jadikan hakim dari perdebatan yang kita lakukan.”
Tidak
ada yang tidak mungkin. Karena percobaan tersebut berhasil. Bayangan
kegagalan yang menghantui hanyalah ketakutan sementara ketika sebuah
inovasi sedang diujikan kemampuannya. Namun dibalik ini semua, sudah
tentu ada Allah dibelakangnya. Sejak itu, gerakan yang ia beri nama
Ikhwanul Muslimin ini mulai mendapat tempat dalam masyarakat yang memang
haus akan sentuhan Islam. Mereka menggeliat. Pelan tapi pasti.
Kegiatan-kegiatan
Ikhwanul Muslimin antara lain meningkatkan kualitas akhlak dan ibadah
anggotanya. Juga banyak kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakannya.
Kegiatan-kegiatannya paling tidak sudah membuahkan hasil. Ikhwanul
Muslimin lama kelamaan mempunyai 100 anggota yang dipilih sendiri oleh
Hasan al Banna.
Pada
tahun 1930 cabang-cabang Ikhwanul Muslimin berdiri di tiap wilayah di
Mesir. Satu dekade kemudian Ikhwanul Muslimin mempunyai 500.000 anggota
aktif dan banyak simpatisan tersebar di seluruh Mesir. Ikhwanul Muslimin
makin berkembang setelah pusatnya dipindahkan Hasan al Banna ke Kairo
pada 1932.
Cara
Hasan al Banna dalam mengembangkan organisasi yang terinspirasi oleh
sebuah alat penunjuk waktu yang bernama jam semakin memajukan Ikhwanul
Muslimin. Oleh rakyat Mesir anggota-anggota Ikhwanul Muslimin dijuluki
sufi di malam hari dan singa di siang hari. Keberadaan Ikhwanul Muslimin
dirasakan betul manfaatnya oleh rakyat Mesir. Pengusaha-pengusaha asal
Ikhwanul Muslimin banyak membuka lapangan kerja. Klinik-klinik murah
bahkan disediakan untuk rakyat miskin. Sekolah-sekolah berkualitas juga
didirikan.
Isu-isu
yang diangkat Hasan al Banna melalui Ikhwanul Muslimin adalah
penentangan terhadap penjajahan, kesehatan masyarakat, kebijakan
pendidikan, pengurusan sumber daya alam, ketidakadilan sosial, dan
penentangan terhadap Marxisme. Ikhwanul Muslimin juga menyuarakan
tentang kebangkitan nasionalisme Arab, dan mengusahakan penyelesaian
mengenai kelemahan dunia Islam. Bahkan Ikhwanul Muslimin juga termasuk
yang concern terhadap berkembangnya konflik di Palestina.
Dakwah
Hasan al Banna juga bersifat internasional. Bahkan segera setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna dan Ikhwanul
Muslimin termasuk yang segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan
tokoh ulama Indonesia pun dijalin oleh Hasan al Banna. Tercatat M.
Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. Di kemudian
hari M. Natsir menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi
negara kesatuan.