Mengenal Superhero Muslim Nuruddin Mahmud Zanki |
PADA tahun 1187, tak lama setelah pembebasan
al-Quds (Yerusalem) oleh Shalahuddin al-Ayyubi, sebuah mimbar yang indah
dipindahkan dari Aleppo (ulama menyebutnya Halabi) ke Masjid al-Aqsha. Mimbar
yang telah dibuat beberapa tahun sebelumnya itu merupakan sebuah simbol
kekuatan visi dan cita-cita pembebasan al-Quds. Ia memang dibangun untuk
diletakkan di Masjid al-Aqsha jauh sebelum tempat itu sendiri berhasil
dibebaskan dari kekuasaan tentara salib. Mimbar itu dibangun sebelum masa
pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi oleh seorang sultan yang juga saleh, yaitu
Nuruddin Mahmud Zanki (1118-1174).
Nuruddin Zanki memang meninggal dunia tiga belas
tahun sebelum berhasil mewujudkan apa yang dicita-citakannya. Tetapi ia
memainkan peranan yang sangat penting dalam memperbaiki keadaan masyarakat
Muslim di Suriah yang sebelumnya sibuk dengan konflik internal dan perselisihan
madzhab. Ia merupakan seorang sultan di Suriah, dan kemudian juga di Mosul
(Iraq) dan Mesir.
Ia adalah seorang raja dan
pemimpin yang zuhud. Makanan yang dikonsumsinya tak lebih baik dari hidangan
orang paling miskin pada zaman itu. ’Nuruddin merupakan
seorang yang sangat berjasa dalam penyatuan negara-negara muslim dan penakluk
tentara salib dalam Perang Salib Kedua,’’ ujar Syekh Muhammad Said Mursi dalam
bukunya Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Ia dikenal sebagai seorang
tentara pejuang yang menguasai teknik berperang, hingga mampu memukul mundur
pasukan Tentara Salib.
Sejatinya, Nuruddin Mahmud Zanki memiliki nama
lengkap Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin Imaduddin Zanki. Dalam
darahnya mengalir ningrat dari Dinasti Zanki yang menguasai Suriah pada
1146 M hingga 1174 M. . ‘’Nama panggilannya adalah Abu Qasim dan ia
dijuluki Nuruddin (Cahaya Agama) dan raja yang adil,’’ tutur Syekh Said Mursi.
Ayah Nuruddin Mahmud Zanki |
Ayahnya bernama Imaduddin Zanki, penguasa Aleppo
dan Mosul. Ketika ayahnya meninggal dunia, Nuruddin dan kakaknya, Saifuddin
Ghazi I, membagi Kerajaan Zanki tersebut menjadi dua. Nuruddin menguasai Aleppo
dan kakaknya menguasai Mosul. Kedua kerajaan tersebut dipisahkan oleh sungai
Khabur.
Pemerintahannya tidak ditandai dengan adanya
penaklukkan spektakuler terhadap wilayah musuh seperti yang dilakukan oleh Muhammad
al-Fatih terhadap Konstantinopel atau Shalahuddin al-Ayyubi terhadap al-Quds.
Tetapi apa yang dilakukannya boleh jadi lebih penting. Ia menaklukkan dengan
keshalehan dan nilai-nilai yang agung dari Tuhannya. Kekuatan militernya tidak
dilengkapi dengan persenjataan fisik yang hebat dan istimewa. Tetapi ia
memiliki senjata yang jauh lebih menggetarkan musuh-musuhnya, yaitu kekuatan
doa dan pertolongan dari Yang Maha Penolong. Seorang non-Muslim di al-Quds
bahkan mengakui hal ini.
“Sesungguhnya Abul Qasim (Nuruddin) memiliki sirr
‘rahasia’ dengan Allah,” katanya. “Tidaklah ia mengalahkan kami dengan bala
tentaranya yang banyak, akan tetapi ia menang atas kami dengan doa dan shalat
malamnya. Ia shalat di malam hari, mengangkat tangannya kepada Allah untuk berdoa
dan meminta kepada-Nya. Dan Allah mengabulkan permintaannya serta tidak
menjadikan doanya sia-sia, sehingga akhirnya dia menang atas kami.”
Nuruddin Zanki memerintah wilayah Suriah Utara
setelah ayahnya, Imaduddin Zanki, wafat pada tahun 1146. Usianya ketika itu 28
tahun. Ia memerintah wilayah itu dari kota Aleppo (Halab). Ketika kakaknya
meninggal dunia pada tahun 1149, ia menggabungkan Mosul di Iraq dalam wilayah
kekuasaannya. Pada tahun 1154, Damaskus, kota penting lainnya di Suriah, juga
masuk dalam wilayah pemerintahannya setelah melalui strategi yang cukup
panjang.
Pada akhir masa pemerintahannya, tepatnya pada
tahun 1169, Shirkuh dan keponakannya Shalahuddin yang bekerja di bawah
pemerintahannya menambahkan Mesir ke dalam wilayah pemerintahan Nuruddin Zanki.
Hal ini membuat kekuatan salib di al-Quds terjepit di antara wilayah
kepemimpinan Nuruddin Zanki. Hanya saja beliau meninggal dunia tiga tahun
kemudian, yaitu pada tahun 1174. Kepemimpinan atas wilayah-wilayah itu kemudian
diteruskan oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang juga memerintah dengan cara-cara
yang Islami sehingga pada akhirnya berhasil membebaskan al-Quds dari tangan
pasukan salib pada tahun 1187.
Prestasi
Militer Nuruddin Zanki
Nuruddin Zanki memiliki gaya militer yang khas.
Ia tidak tergesa-gesa dalam menghadapi pasukan lawan. Kadang saat pasukannya
berada di suatu daerah dan mendengar kedatangan pasukan musuh ke tempat itu, ia
akan menarik pasukannya ke tempat lain. Tetapi ia melakukan hal itu untuk
menyelidiki jumlah dan keadaan pasukan lawan, sambil terus melakukan
pengintaian. Setelah musuh berangkat kembali dari tempat mereka, Nuruddin akan
mengikuti dan menyergap mereka dengan tiba-tiba. Dengan cara ini, ia berhasil
memenangkan banyak pertempuran dan mengurangi jumlah korban dari pasukan
Muslim.
Adapun terhadap emir-emir Muslim di
Suriah-Palestina yang masih menentangnya, ia menghindari konflik terbuka serta
pertempuran fisik dengan mereka. Ia selalu menyeru mereka untuk berjihad
bersamanya melawan kekuatan salib. Jika mereka menentangnya, ia akan melakukan
tekanan politik terhadap mereka sambil melakukan persuasi dan menarik simpati
para ulama di wilayah-wilayah yang dipimpin oleh para emir itu. Dengan begitu,
walaupun para ulama dan masyarakat tersebut berada dalam wilayah kekuasaan yang
berbeda, tetapi hati mereka bersama Nuruddin Zanki dan selalu mendoakan kemenangannya.
Kesalehan serta cara-cara yang lembut seperti inilah yang membuat Nuruddin
Zanki pada akhirnya dapat menyatukan seluruh Suriah ke dalam satu pemerintahan,
setelah wilayah itu tercerai berai dan saling bermusuhan selama lebih dari
setengah abad.
Ia sangat terampil berkuda dan memimpin secara
langsung banyak pertempuran pada masa itu. Keberaniannya di medan tempur
membuat seorang ulama pada masanya, Qutb al-Din al-Nasawi, menasihatinya, ”Demi
Allah, jangan membahayakan dirimu dan seluruh dunia Islam! Kalau Anda gugur di
medan pertempuran, maka seluruh Muslim yang hidup akan dibunuh (oleh musuh).”
Tapi Nuruddin Mahmud Zanki mempunyai pandangan yang berbeda. ”Dan siapalah
Mahmud sehingga dikatakan seperti ini?” katanya. “Sebelum saya lahir sudah ada yang
lain yang membela Islam dan negeri ini, yaitu Allah, yang tidak ada Tuhan
selain-Nya!”
Ia sangat memperhatikan keadaan pasukannya dan
selalu menjadikan mereka siap siaga dalam menghadapi pasukan musuh. Pasukannya
merupakan yang paling kuat di Suriah pada masa itu. Tentang ini Ibn al-Qalanisi
berkata, ”Tidak ada yang pernah melihat tentara yang lebih baik daripada
tentaranya … (baik) dalam hal penampilan, perlengkapan, maupun jumlahnya.”
Namun karena keadaan kaum Muslimin ketika itu
belum sepenuhnya bersatu padu dalam menghadapi musuh, maka pembebasan wilayah
itu dari pasukan salib masih harus menunggu saat yang lebih tepat.
Nuruddun Punya Peran Penting Pada Perang Salib II |
Bukan hanya tentara yang dipersiapkan, kuda-kuda
pun selalu dalam keadaan terlatih. Di waktu senggangnya, Nuruddin Zanki suka
berburu dan bermain polo kuda. Ketika seorang temannya yang saleh mendengar
tentang kebiasaannya bermain polo kuda, ia segera menyuratinya: “Aku tidak
menyangka bahwa kau senang dengan permainan yang tak ada manfaatnya serta
menyiksa kuda tanpa faedah diniyah.”
Maka Nuruddin menjawab surat tersebut,
“Sesungguhnya kami berada di front pertahanan, yang mana musuh sangat dekat
dari kami, sehingga kami harus selalu siap siaga untuk mengantisipasi setiap
serangan. Dan tidak mungkin kami terus-menerus berperang dan berjihad siang dan
malam, musim dingin dan musim panas, karena bala tentara kami juga memerlukan
istirahat. Dan juga tidak mungkin kami biarkan kuda-kuda kami hanya diam di
kandangnya tidak bergerak, karena itu akan membuat mereka lemah dan tak mampu
berlari jauh dan cepat, menikuk, menyerang di medan perang. Maka dari itu kami
senantiasa melatihnya dan terus membiasakannya agar hilang kelemahannya dan
selalu siap berlari cepat dan taat kepada penunggangnya di waktu peperangan.
Dan inilah, demi Allah Swt, yang menjadikan aku bermain polo kuda.”
Pencapaian
Militer
Selama masa pemerintahannya, ada beberapa
pencapaian militer yang cukup penting yang telah dilakukan oleh Nuruddin Zanki
dalam menghadapi Pasukan Salib, antara lain seperti berikut ini:
Pertama,
ia ikut memberikan dukungan kepada Damaskus saat terjadinya Perang Salib II
(1147-1148). Ketika itu pasukan dari Perancis dan Jerman yang dipimpin oleh
Raja Louis VII dan Raja Conrad III bergerak ke Suriah dan Palestina. Sebetulnya
Perang Salib kedua ini dipicu oleh jatuhnya Edessa ke tangan pasukan Muslim
yang dipimpin oleh Imaduddin Zanki, ayah Nuruddin, pada tahun 1144. Tetapi
sesampainya di Palestina, pasukan yang baru datang dengan orang-orang Frank
(orang-orang Eropa Barat) yang telah menetap di Palestina bersepakat untuk
mengarahkan serangan pada Damaskus.
Pasukan salib kemudian mengepung kota Damaskus
yang dipimpin oleh Mu’inuddin Unur. Tetapi kota itu mampu bertahan, dan pada
saat yang sama pasukan Nuruddin Zanki dan pasukan Saifuddin Ghazi, kakak Nuruddin,
bergerak dari Aleppo dan Mosul menuju ke Damaskus untuk memberikan bantuan.
Pasukan salib akhirnya memutuskan untuk mundur dari kota itu. Raja Louis dan
Conrad kembali ke negeri mereka masing-masing dengan memendam kekecewaan
terhadap orang-orang Frank di Suriah-Palestina yang dianggap telah ikut
berperan dalam kegagalan tersebut. Tak lama setelah peristiwa itu, Mu’inuddin
dan Nuruddin Zanki berhasil menangkap seorang bangsawan Eropa, Bertrand, yang
menyertai Perang Salib II. Bertrand kemudian dibawa ke Aleppo dan ditahan
selama dua belas tahun lamanya di kota itu.
Kedua,
pada tahun 1149, dalam pertempuran di daerah Inab, pasukan Nuruddin Zanki
berhasil mengalahkan pasukan Raymond of Poitiers, pemimpin Antioch, yang ketika
itu dibantu oleh sepasukan Assassin. Nuruddin pada awalnya menarik pasukan saat
mengetahui pasukan musuh mendekati Inab. Tetapi ia terus mengintai dan
memperhatikan gerak-gerik pasukan lawan. Kemudian saat lawan beristirahat di
suatu tempat, Nuruddin menempatkan pasukannya di sekelilingnya, sehingga lawan
mereka dalam keadaan terkepung saat bangun di pagi hari. Raymond of Poitiers
dan pemimpin Assassin yang menyertainya gugur dalam pertempuran itu.
Ketiga,
pada tahun berikutnya, 1150, sepasukan Turki Saljuk berhasil menangkap
Joscelin, pemimpin wilayah Edessa yang ibukotanya telah dikuasai oleh Nuruddin.
Penahanan Joscelin kemudian diambil alih oleh Nuruddin. Joscelin ditahan di
Aleppo dan meninggal dunia di penjara sembilan tahun kemudian.
Keempat,
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Nuruddin Zanki berhasil menyatukan
Damaskus ke dalam wilayah kepemimpinannya pada tahun 1154. Proses penyatuan
Damaskus berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 1149, ketika Mu’inuddin Unur
wafat. Pengambil-alihan kota ini dilakukan oleh Nuruddin karena penguasa kota
ini tidak mau membantunya berjihad dan malah menjalin kerjasama dengan kekuatan
salib.
Lamanya proses penguasaan ini disebabkan Nuruddin
menghindari terjadinya pertempuran terbuka di antara kedua belah pihak yang
sama-sama Muslim. Walaupun Nuruddin berkali-kali membawa pasukannya mendekati
Damaskus, tetapi ini dilakukannya sebagai bentuk tekanan politik dan psikologis
terhadap pemimpin Damaskus, dan hal itu tidak membawa pada pertempuran yang
berarti di antara kedua belah pihak. Nuruddin melakukan langkah-langkah
persuasif kepada para ulama dan tokoh-tokoh di Damaskus, sehingga lama kelamaan
penguasa kota itu kehilangan dukungan dari rakyatnya sendiri. Akhirnya kota itu
berhasil dikuasainya setelah masyarakat Damaskus sendiri yang membuka gerbang
kota itu. Dikuasainya Damaskus oleh Nuruddin menandai suatu era baru di Suriah
setelah wilayah itu terpecah belah sejak tahun 1090-an.
Kelima,
pasukan Nuruddin berhasil menangkap Reynald of Chattilon, pemimpin Antioch
selepas wafatnya Raymond of Poitiers, dalam sebuah pertempuran pada tahun 1160.
Reynald yang kepemimpinannya banyak menimbulkan masalah itu kemudian diikat dan
dibawa ke Aleppo. Ia ditahan selama enam belas tahun di kota itu.
Keenam,
atas permintaan Mesir sendiri dan karena adanya ancaman pasukan salib atas
negeri itu, Nuruddin mengirimkan tiga kali ekspedisi militer ke Mesir di bawah
pimpinan Shirkuh antara tahun 1164 dan 1169. Mesir akhirnya jatuh ke tangan
pasukan Nuruddin. Dinasti Fatimiyah yang menguasai wilayah itu kemudian
dihapuskan pada tahun 1171, menjadikan Mesir menyatu ke dalam wilayah pimpinan
Nuruddin Zanki.
Pada akhir masa kepemimpinannya, wilayah
kekuasaan Nuruddin Zanki mencakup wilayah Suriah, Hijaz, Mesir, dan sebagian
Irak. Nuruddin berhasil menyatukan wilayah-wilayah itu ke dalam satu
pemerintahan dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pondasi utama
pemerintahannya. Sementara pada saat yang sama, kekuatan salib mulai tidak
kompak di antara sesama mereka dalam menghadapi kekuatan Muslim. Apa yang
dibangun oleh Nuruddin ini kelak menjadi pondasi yang kokoh bagi pemimpin
berikutnya di wilayah-wilayah itu, yaitu Shalahuddin al-Ayyubi, dalam
menghadapi pasukan salib dan membebaskan al-Quds.
Bagaimanapun, kekuatan dan prestasi militer hanya
salah satu bagian yang penting dari pemerintahan Nuruddin Zanki. Di samping
militer, ada hal lain yang membuat kepemimpinan Nuruddin sangat berkesan, yaitu
dibangunnya nilai-nilai Islam yang kuat di wilayah itu.
Nuruddin Zanki terkenal sebagai pemimpin yang
saleh dan adil. Ibnu al-Athir, seorang sejarawan Muslim, penulis kitab Al-Kamil
fi-l-Tarikh, menganggapnya sebagai pemimpin Muslim yang paling adil selepas
Umar bin Abdul Aziz.
Nuruddin dikenal sebagai pemimpin yang selalu
menjaga shalat berjamaah, shalat malam (Qiyamul Lail), banyak membaca
al-Qur’an, dan berpuasa. Ia memiliki ilmu agama yang mendalam, sangat dekat
dengan para ulama, dan ikut meriwayatkan hadits bersama mereka.
Keadilan dan penegakkan syariah merupakan hal
yang sangat menonjol dalam pemerintahannya. Ia mendorong dilangsungkannya
majelis-majelis ilmu, mendirikan madrasah-madrasah, serta memberikan berbagai
wakaf untuk keperluan agama dan masyarakat.
Sumber
https://www.hidayatullah.com