Sosok Sahabat Rosulullah yang Penuh Pesona |
Abu
Darda’ Pribadi Penuh Pesona.
Setiap
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai keistimewaan
tersendiri. Begitu pula dengan beliau, tak kenal lelah mengejar
ketertinggalannya untuk belajar Islam, seakan-akan masa mudanya yang kelabu
terus memacu semangatnya untuk menjadi pribadi yang meraup banyak kebaikan.
Kehidupannya sehari-hari sangat sederhana. Ketika ada orang bertanya,
“ Dimana perabot dan hartamu ?”, beliau
mengatakan, “Dirumah kami yang disana (di akhirat). Kami kirimkan
semua harta dan perabot yang kami punya, kalaupun masih ada yang tersisa
disini, tentu sudah aku berikan untuk kalian”.
Hati
beliau telah dipenuhi perasaan cinta pada akhirat, hari-harinya sarat dengan
dzikir, mengajarkan Kitabullah dan Sunnah Nabinya, dan mengimami sholat jama’ah.
Abu Darda’ berkeliling ke pasar-pasar, membuka majlis-majlis taklim dan
bermu’amalat dengan manusia dengan akhlak mulia.
Diantara
nasehat Abu Darda’ kepada seorang laki-laki adalah : “ Ingatlah Allah saat engkau lapang, niscaya Allah akan mengingatmu saat
engkau sempit, jadilah seorang ‘alim atau seorang pengajar, atau seorang
pendengar (kebenaran). Jangan menjadi orang keempat ( seorang jahil dan bodoh
), niscaya engkau akan binasa. Jadikan masjid sebagai rumahmu”.
Beliau
juga sangat peduli pada orang lain, selalu mendo’akan mereka, Abu Darda’
berkata, “Sesungguhnya aku
benar-benar mendo’akan 70 orang dalam satu sujudku, aku sebut nama mereka satu
persatu”. Betapa indah dan mengagumkan akhlak beliau hingga Ummu Darda’
mengatakan “ Sebagaimana engkau
melamarku di dunia, akupun akan melamarmu di akhirat”.
Mu’awiyah
bin Abi Sufyan pernah mengirim utusan untuk melamar Darda’ yang ingin
dijodohkan dengan Yazid, namun beliau menolak karena ingin putri tercinta
menikah dengan pria yang paling baik agamanya, dan beliau takut anaknya
terfitnah oleh gemerlap dunia.
Kisah Keislaman beliau
Sahabat
yang mulia ini bernama Uwaimir bin Malik Al-Khozraji. Sebelum hidayah Islam
menembus hatinya Abu Darda’ memiliki berhala yang senantiasa diagungkan serta
dilumuri dengan minyak wangi yang termahal dan diberi baju dari kain sutera.
Beliau
memiliki sahabat bernama Abdullah bin Rawahah yang terlebih dahulu memeluk
Islam. Tanpa kenal lelah lelaki ini berupaya mengentaskan Abu Darda’ dari
lembah kesyirikan. Ketika Abu Darda’ sibuk berdagang ditokonya, Abdullah bin
Rawahah berkunjung ke rumah dan ditemui Ummu Darda’. Setelah dipersilakan masuk
lantas istri Abu Darda’ meninggalkannya untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Saat itu ia masuk kamar di mana berhala itu diletakkan, dibawanya keluar
kemudian dirusaknya hingga hancur berantakan, seraya mengatakan,
“ Sungguh segala yang disembah selain Allah
adalah batil….sungguh sesembahan yang disembah selain Allah adalah batil”.
Ketika
istri Abu Darda’ melihat tragedi itu ia pun marah dan menangis, tak lama
berselang, sang suami tiba, seketika itu pula api kemarahan menyala dan berkobar,
namun akhirnya tersadar menyaksikan berhala yang dipujanya telah hancur lantas
berkata,
“Kalau berhala tersebut memiliki kebaikan tentu
ia bisa membela dirinya dari kejelekan”.
Saat
itulah benih-benih keimanan kepada Allah mulai tumbuh. Akhirnya bersama sahabat
terbaiknya, beliau menyatakan keislamannya di hadapan Rasul mulia. Abu Darda’
adalah penduduk terakhir dari desanya yang menyambut seruan Islam.
Pribadi
Yang Tidak Mau Menghakimi Orang Lain
Latar belakang Abu Darda’ adalah seorang saudagar yang kaya raya. Pada saat menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi, beliau merupakan pedagang yang sukses di antara penduduk Madinah. Tapi kemudian beliau meninggalkan kesibukan berbisnis dengan alasan tidak dapat menjalankan secara bersamaan antara urusan bisnis dengan urusan ibadah.
“Apa yang
dapat membuatku bahagia dengan keutungan perhari 300 dinar, sementara hatiku
selalu terpaut ingin masuk pintu masjid?” Demikian alasan utama kenapa Abul
Darda’ memilih meninggalkan urusan bisnis.
Sebagai
mantan pebisnis Abu Darda’ tak pernah menyerang pesaingnya dengan
menjelek-jelekkan kebiasaan riba yang berlaku di antara koleganya. “Saya tak
bermaksud mengolok-olok praktek riba. Hanya saja saya tak ingin termasuk
orang-orang yang tenggelam dalam urusan bisnis sehingga melupakan ingat kepada
Allah,” katanya dengan sangat bijak.
Abu Darda’
merupakan sosok sahabat yang dikenal luas sangat bijaksana. “Hijrahnya” secara
totalitas untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan sesembari menyerang
kejelekan orang lain. Beliau benar-benar ingin mengaca untuk dirinya, bukan
untuk orang lain. Oleh sebab itu ketika disinggung bahwa di antara sahabat Nabi
banyak yang berprofesi sebagai pedagang sukses dan saleh, Abu Darda’
berkomentar, “inilah jalan yang saya pilih!”
Demikian
halnya ketika sahabat yang lain dengan penuh semangat berjuang mengangkat
senjata dan pulang dengan membawa hasil rampasan perang dari Siprus, Abu
Darda’ justru menangis. Kejadian aneh ini sempat ditanyakan oleh Jubair b.
Nafir: “Kenapa engkau menangis pada saat Allah memberikan kejayaan bagi umat
Islam?” Abu Darda’ menjawab: “Betul demikian adanya, tapi jika saya ikut serta
dikhawatir diri ini terlalu uforia sehingga melanggar perintah Allah.”
Abu Darda’
diketahui memiliki pandangan, bahwa “seburuk apapun pasti masih terdapat
buliran kebaikan padanya”. Dalam riwayat Abu Qulabah disebutkan bahwa suatu
hari Abul Darda’ ketemu dengan seorang pemuda berlumuran dosa yang dihina oleh
orang-orang sekitarnya.
Beliau
justru membelanya, “Apabila orang ini terperosok dalam lubang, maka apa kalian
diamkan? Semoga Allah memaafkan kalian,” tanya Abul Darda’ kepada orang-orang
yang membenci pemuda itu. “Kenapa kamu tidak murka dengan pemuda itu, wahai
Abul Darda’?” Beliau menjawab, “Kita boleh marah karena kelakuan dia, bukan
kepada dirinya.”
Pribadi
bijaksana Abu Darda’ yang tak ingin menghakimi orang lain patut kita contoh.
Beliau tidak mau memberikan beban kepada orang lain yang tak mampu. Beliau
tidak mau menjustifikasi orang lain karena urusan itu tidak ada yang berwenang
terkecuali hanya Allah. Beliau tak ingin dianggap paling taat beragama semata-mata
hanya dalam sudut pandang manusia biasa.
Abu Darda’
pernah berkata, “Berkacalah untuk diri kalian. Sebab banyak orang yang
mengikuti arus pujian orang lain namun nyatanya justru menyesal untuk
selama-lamanya.”
Wafatnya
Abu Darda’
Ketika
ajal menjemput, teman-temannya menjenguk, mereka menanyakan,
“Apa yang engkau keluhkan ?” , “Dosa-dosaku!”,
jawab Abu Darda’. “ Apa yang engkau inginkan ? , “Maaf dan
ampunan Rabb-ku!”. Lalu beliau mengatakan, “Tolong talqin aku Laa ilaha
illallah Muhammad Rasulullah”. Diulang dan diulanglah kalimat
tersebut hingga ia meninggal dunia!
Demikian
luar biasa kisah hidup Abu Darda’ yang penuh hikmah, ilmu, dan senantiasa
menjadi teladan bagi generasi sesudahnya yang selalu setia pada jalan Islam.
Al-Muhaqqiq Al- Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin
mengatakan.
“ Para sahabat adalah orang yang paling baik
hatinya, dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya, dibanding dengan yang lain,
mereka paling dekat dengan kebenaran, sebab Allah telah memberi keutamaan bagi
mereka hingga mereka memiliki kecerdasan luar biasa, kefasihan berbicara,
keluasan ilmu, serta mudah dan cepat dalam memahami persoalan. Bagi mereka
hanya sedikit musuh atau bahkan tak ada sama sekali. Mereka senantiasa punya
maksud baik dan bertaqwa kepada Allah”.