Kanker ini penyakit yang sangat mematikan lo sobat, sudah sangat buanyak banget riset dilakukan berkaitan dengan penyakit yang satu ini. Nah sobat birulangitid, batan juga sedang mengembangkan teknologi nuklir yang nantinya dapat difungsikan untuk mendiagnosis penyakit kanker.
BADAN Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Mengembangkan Teknologi Nuklir Dari Molibdenum Alam Untuk Deteksi Sel Kanker |
BADAN Tenaga Nuklir Nasional (Batan) akan mengembangkan teknologi nuklir dari molibdenum alam untuk menghasilkan produk radioisotop teknesium-99m (Tc-99) yang berguna dalam mendiagnosis penyakit kanker.
"Teknesium-99m (Tc-99m) merupakan bagian dari produk radioisotop dan radiofarmaka sebagai salah satu Prioritas Riset Nasional 2020-2024 yang dikoordinasikan oleh Batan," papar Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Radioisotop merupakan isotop dari zat radioaktif yang memancarkan radiasi. Adapun, radiofarmaka merupakan produk farmasi yang mengandung radioisotop dalam bentuk injeksi/minum.
Untuk mendeteksi sel kanker, teknesium-99m digabung pada obat A yang diberikan ke tubuh pasien. Kemudian, teknesium-99m itu akan memancarkan radiasi yang ditangkap detektor radiasi di luar tubuh pasien sehingga diperoleh gambaran tentang sel-sel kanker tersebut.
Selain diagnosis kanker, kata Anhar, produk radioisotop dan radiofarmaka yang berbasis teknologi nuklir ini juga sangat dibutuhkan untuk terapi dan pengobatan penyakit lain.
Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) Eko Purnomo menyampaikan pelayanan diagnostik dan terapi kedokteran nuklir jauh murah dan nyaman, jika dibandingkan dengan metode pengobatan konvensional.
"Ini bisa menghemat program pemerintah melalui BPJS Kesehatan," ujar Eko saat Indonesia Nuclear Expo 2019, beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, terapi kanker tiroid dengan kemo-terapi bisa menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah. Namun, dengan terapi kedokteran nuklir melalui metode ablasi, cukup membutuhkan biaya Rp9 jutaan. "Pasien tidak usah berulang-ulang operasi cukup dibersihkan di kedokteran nuklir sisa-sisa kankernya," jelasnya.
Ia menyayangkan masih awamnya masyarakat ketika mendengar istilah kedokteran nuklir. "Kalau dengar nuklir takut, tetapi kalau pergi ke radiologi X-ray (merasa) tidak masalah. Padahal, radiasi yang digunakan dalam diagnosis kedokteran nuklir justru lebih rendah dibandingkan dengan radiologi X-ray," pungkasnya.
"Teknesium-99m (Tc-99m) merupakan bagian dari produk radioisotop dan radiofarmaka sebagai salah satu Prioritas Riset Nasional 2020-2024 yang dikoordinasikan oleh Batan," papar Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Radioisotop merupakan isotop dari zat radioaktif yang memancarkan radiasi. Adapun, radiofarmaka merupakan produk farmasi yang mengandung radioisotop dalam bentuk injeksi/minum.
Untuk mendeteksi sel kanker, teknesium-99m digabung pada obat A yang diberikan ke tubuh pasien. Kemudian, teknesium-99m itu akan memancarkan radiasi yang ditangkap detektor radiasi di luar tubuh pasien sehingga diperoleh gambaran tentang sel-sel kanker tersebut.
Selain diagnosis kanker, kata Anhar, produk radioisotop dan radiofarmaka yang berbasis teknologi nuklir ini juga sangat dibutuhkan untuk terapi dan pengobatan penyakit lain.
Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir Indonesia (PKNI) Eko Purnomo menyampaikan pelayanan diagnostik dan terapi kedokteran nuklir jauh murah dan nyaman, jika dibandingkan dengan metode pengobatan konvensional.
"Ini bisa menghemat program pemerintah melalui BPJS Kesehatan," ujar Eko saat Indonesia Nuclear Expo 2019, beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, terapi kanker tiroid dengan kemo-terapi bisa menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah. Namun, dengan terapi kedokteran nuklir melalui metode ablasi, cukup membutuhkan biaya Rp9 jutaan. "Pasien tidak usah berulang-ulang operasi cukup dibersihkan di kedokteran nuklir sisa-sisa kankernya," jelasnya.
Ia menyayangkan masih awamnya masyarakat ketika mendengar istilah kedokteran nuklir. "Kalau dengar nuklir takut, tetapi kalau pergi ke radiologi X-ray (merasa) tidak masalah. Padahal, radiasi yang digunakan dalam diagnosis kedokteran nuklir justru lebih rendah dibandingkan dengan radiologi X-ray," pungkasnya.