Pagi tadi
setelah selesai menunaikan sholat subuh, birulangitid lihat-lihat twitter
bentar, upss nemu tulisan yang bagus. Untuk melihat kondisi Dunia saat ini,
Tulisan ini dibuat oleh Presin ke 6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, analisanya
keren dan mengedukasi banget, jadi birulangitid copy dan segera share melalui
blog. Semoga bermanfaat ya sobat.
PERANG BESAR
BISA TERJADI KARENA MISKALKULASI, PEMIMPIN YANG ERATIK DAN NASIONALISME YANG
EKSTRIM
Bagi yang berharap tahun 2020 ini
dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan
frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru
ini kawasan Timur Tengah kembali membara.
Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan
ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat
terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya
karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan
untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya
mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun,
hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat
tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara
mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja
dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan.
Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai
tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di
negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak
serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.
Sementara gejolak sosial global di
tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih
serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat
bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh
cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang
melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum “non-state actors”
yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang
ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika
Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah,
Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara
NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan
negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang
keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya,
jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah kesitu?
Saya pribadi termasuk orang yang tak
mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah
perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan
sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak
melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para “world leaders” itu "do
nothing". Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do
something". Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta
lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya
diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan
Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi,
diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar.
Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar.
Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh
sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu.
Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka
mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah
peperangan berskala besar.
Pasca tewasnya Jenderal Iran Qassem
Soleimani oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan
malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan
juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan
kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan
Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada
pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya
aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada
hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang
digaungkan.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah
sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu
tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi.
Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin
menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau
dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan
saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan
juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah
cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya
kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan
keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk "to say
something".
Penyebab terjadinya perang antar
negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya
sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban
jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari
Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut
peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected
accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik
dipicu oleh serangan “pendadakan” angkatan udara Jepang terhadap pangkalan
militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat,
keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik
berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang
Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai
membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah "strategic
miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal
militer Jepang.
Kejadian miskalkulasi ini, atau salah
hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian
juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo
tahun 1914 dulu.
Dari kacamata ini, sejarah tengah
menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan
miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara
mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah
di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer
Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi
untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak
merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu
mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.
Tetapi, harus diingat, di kawasan
Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis
komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan
Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam
kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina,
dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan
terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika.
Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka
selalu ada.
Perang juga mudah terjadi di tangan
pemimpin yang eratik (erratic)dan "gemar perang" (warlike).
Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei
dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau
tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang
matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan
harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian,
dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin
itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot
sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif
tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan
masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya
cara. Saya yakin "political and diplomatic resources" masih
tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan
besar.
Saya tahu memang keadaan sangat tidak
mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan
juga keadilan (justice)yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara
mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan
tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun,
jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang
warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran
tahun 1979-1981 yang lalu.
Sekali lagi, situasinya memang tidak
mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat
Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran “pastilah” berada di ombak dan arus
besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika
Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak
mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang
diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya… keputusan itu bisa salah. Hal
begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu,
politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin.
Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah “the art of
the possible”. Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. “So, if
there is a will, there is a way”.
Dewasa ini dunia berada dalam situasi
yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling
tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang
lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on
the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald
Trump yang mengangkat simbol-simbol nasionalisme "America First".
Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap
pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak
lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh
Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai
mendapatkan pembenaran sejarah.
Selama 10 tahun memimpin Indonesia
dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. "Kehangatan dan
kedekatan" di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada
perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun
para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk
kepentingan bersama. Demikan juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan.
Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga
antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok
Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam
di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan
antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.
Kesediaan untuk duduk bersama dan
mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global
players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan
kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim,
memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional,
serta kerjasama-kerjasama yang lain.
Kedekatan antar pemimpin dunia juga
tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC,
OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di
dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain.
Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan
kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih
relatif "rukun". Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara
negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen.
Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara,
Iran dan juga Venezuela.
Dalam pengamatan saya, G20 tidak
sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan
internal yang meningkat. Bahkan, ASEANpun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni
Eropa sering terjadi “pertengkaran” yang antara lain ditandai dengan keluarnya
Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak
teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen
nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi
kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu
posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan
nasionalnya masing-masing.
Kembali pada topik tulisan ini, kalau
ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang
begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di
kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau
analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrim.
Silahkan ditelaah sendiri.
Namun, ada satu hal yang mungkin
luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang
satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari
kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling
tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan
Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para
pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan
juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang
akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan
dunia. Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam
biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini
semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat
rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara
kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?
Sangat mungkin ketegangan bahkan
permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah “kesepakatan
besar” (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic,
fair deal). Tentu ada “take and give” diantara mereka. Elemennya bisa soal
sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang
aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin
kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus
memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan
mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan
memprovokasi untuk tidak terjadi.
Siapa tahu sejarah menyediakan
peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para
pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir “out of the box”,
misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya
di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang
banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?
Apa yang bakal terjadi di hari-hari,
atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi “game changer”. Artinya, apa yang
akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa
mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang
membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam
sejarah kemanusiaan.
Cikeas, 6 Januari 2020