Oleh Dr Afrianto Daud
---
Broadcast yang saya baca menggambarkan suasana kebatinan ketika walikota menyampaikan keputusan ini. Suasana yang emosional penuh keharuan. Seakan-akan, kita sudah menang perang.
Berakhirnya PSBB tak hanya berarti bahwa tempat ibadah kembali dibuka, tetapi juga berarti bahwa kota ini akan kembali terbuka. Bisa dimasuki 'siapa saja' dari arah mana saja, tanpa pajagaan ketat seperti PSBB.
Saya sendri hari ini memutuskan belum ikut sholat jum'at di masjid. Selain dapat info sudah sangat dekat dengan waktu jum'at, juga karena saya menunggu fatwa/arahan terbaru tertulis dari ulama lokal terkait keputusan pemerintah ini, terutama terkait teknis jum'atan pasca PSBB.
Atau sudah adakah? Mungkin saya kudet. Bagi kawan yang tahu, tolong dishare.
Saya mengerti cukup banyak kawan yang gembira bisa kembali ke masjid. Ada yang menulis status 'kerinduan yang membuncah'. Boleh. Baik. Tapi, terus terang otak saya masih belum bisa menyambung-nyambungkan antara pelarangan ke masjid dulu, arahan ulama dulu, Corona, dan PSBB yang sudah berjalan dengan keputusan PSBB berakhir dan kita masuk era normal baru ini.
Selama ini saya mengikuti arahan ulama dan larangan pemerintah tidak ke masjid, karena saya mengerti 'ilaat' (sesuatu yang mendasari adanya hukum atau keputusan) yang dibuat, yaitu usaha preventif penyebaran virus, yang secara medis bukan virus biasa itu.
Tak pernah saya berfikir bahwa keputusan itu adalah keputusan zalim. Itu adalah sebaik-baik keputusan dalam rangka melindungi nyawa manusia, melindungi tumpah darah Indonesia. Sekali lagi, itu adalah 'illat' yang tepat.
Logisnya, penghentian PSBB itu hanya tepat jika angka-angka korban virus itu sudah jauh berkurang.
Lha, tapi ini illatnya masih di situ. Masih relevan. Masih ada barangnya. Angka-angka di curva masih naik. Terus kemudian, sekarang semua seperti dikembalikan ke titik awal. Cuma ditambahin istilah keren 'new normal' yang masih dicari-cari penjelasan detailnya itu. Apakah selama ini kita salah menjadikan bahaya Corona sebagai basis keputusan?
Yes, saya mengerti ekonomi mesti bergerak dengan standar operasional yang ketat. Tapi, apakah semua larangan selama PSBB itu kemudian sekarang bakal diselesaikan dengan dua kata 'new normal' itu?
Karena belum ada definisi yang jelas, kini semua orang sepertinya sedang membuat definisinya sendiri-sendiri.
Kalaupun akhirnya kita sama-sama tak paham, mungkin ini adalah dintara tanya yang tak berjawab atau diantara rahasia hidup yang mesti kita bawa mati. Entahlah!
Semoga besok atau lusa, otak saya bisa menyambung-nyambungkan puzzle antara larangan berkumpul dulu, himbauan beribadah di rumah, virus Corona, PSBB, dan tiba-tiba new normal ketika Makrona ini masih gentayangan.