Oleh Dr Afrianto Daud
--
Birulangitid-Jika peradaban manusia diawali dengan kesalahan (sebagaimana saya bahas pada serial sebelumnya), kisah awal peradaban itupun diwarnai dengan kisah tentang perang saudara. Yaitu ketika dua saudara – Qabil dan Habil - bertempur memperebutkan pasangan hidup. Sampai kemudian terjadilah pembunuhan pertama dalam sejarah kehidupan manusia. Yaitu ketika Habil dihabisi saudaranya sendiri – Qabil.
Peristiwa pembunuhan Qabil atas Habil itu tak lepas dari apa yang juga telah saya bahas sebelumnya, yaitu tentang kecenderungan egosentris pada diri manusia. Semacam sifat dasar manusia untuk tak mau dikalahkan orang lain. Tak mau rugi. Ingin menguasai yang lain.
Baku hantamnya dua sadara itu sebenarnya tak hanya dipicu oleh ‘perebutan cinta’, seperti dikisahkan dalam banyak catatan sejarah, tetapi juga bisa dipahami sebagai pertempuran dua individu dalam mempertahankan ego sendiri-sendiri.
Begitulah satu kisah ironis sebuah persaudaraan. Walau idealnya dua saudara itu mestinya saling menguatkan, saling melengkapi, saling mengisi, atau saling membela. Dalam kehidupan nyata tak selamanya begitu. Tak jarang musuh paling dekat kita adalah saudara sendiri. Orang-orang dekat kita sendiri. Bisa teman, sahabat, 'konco palangkin' yang kemudian berubah.
Kisah bagaimana saudara dekat menghabisi saudaranya sendiri bisa juga kita peroleh dari bagaimana kisah persokongkolan saudara-saudara Yusuf AS untuk menghabisi dan membunuh Yusuf AS. Kakak-kakak Yusuf yang seharusnya mengayomi justru terjebak dengan serangkaian rencana pembunuhan. Bukan membunuh orang lain. Tapi, membunuh adiknya sendiri.
Dalam kehidupan kita sehari-hari bukan tak mungkin kita akan mengalami hal yang sama. Bahwa mereka yang berpotensi membenci kita justru datang dari orang-orang terdekat kita. Bisa saudara dalam satu keluarga seperti yang disebut dalam kisah di atas. Bisa juga teman-teman sepermainan. Teman-teman sekantor. Kawan-kawan satu meja ketika main domino. Atau kalau di medsos, mereka yang membenci kita justru datang sangat mungkin dari mereka yang terdaftar sebagai ‘friend’ dalam kontak list. Bukan dari orang-orang jauh.
Fenomena permusuhan antara saudara ini dalam perspektif psikologi pengasuhan anak dikenal dengan istilah ‘sibling rivalary’. Istilah ini mengacu pada kecenderungan adanya kompetisi antara saudara dekat, baik yang sedarah ataupun tidak. Kompetisi itu dipicu oleh banyak faktor, termasuk pola asuhan orangtua, tingkat kematangan kepribadian anak, ataupun karena faktor lain di luar itu semua.
Jika anda tak henti menyaksikan anak anda terlibat dalam ‘perang dunia ketiga’ di rumah setiap hari selama masa-masa di rumah ini, itu pertanda bahwa sibling rivalary itu nyata ada. Satu hal yang sebenarnya biasa di kalangan anak-anbak.
Masalahnya kecenderungan persaingan dan perseteruan itu kadang tak berhenti ketika anak-anak itu remaja. Bagi sebagian orang kebiasaan itu terbawa-bawa sampai dewasa. Sampai mereka masuk dunia kerja, dan seterusnya. Sampai di sini, perlu tindakan agar persaiangan antar saudara itu tidak sampai pada titik seperti yang terjadi pada dua kasus di atas.
Balik ke kisah Yusuf AS, salah satu penyebab terjadinya persekongkolan jahat saudaranya adalah karena kecemburuan saudara-saudaranya yang lain terhadap keistimewaan yang diperoleh Yusuf AS. Yusuf seperti diberlakukan berbeda.
Karenanya, untuk mengurangi kecemburuan ini, ketika tahu Yusuf bermimpi ada bulan dan bintang bersujud kepadanya (QS Yusuf {12}:4)., ayah beliau Ya’qub AS segera menyarankan agar Yusuf tidak bercerita tentang keistimewaan ini kepada saudara-saudaranya yang lain. Karena sadar ini bakal menjadi tambahan pemicu kecemburuan.
Dari sini kita belajar bahwa kadang kita tak perlu menyampaikan semua kelebihan kita, atau anugerah yang kita terima, secara mencolok kepada orang lain. Karena tak semua orang siap menerima kebahagiaan kita. Selalu ada orang-orang yang hatinya berpenyakit. Yang susah melihat orang senang. Senang melihat susah. Dari sini bisa muncul niat jahat. Termasuk niat menghabisi. Na’uzubillah.
Jika kita dalam posisi orangtua atau dalam posisi sebagai orang yang punya otoritas mengatur para ‘saudara’ itu, pastikan ada keadilan untuk semua individu, semua saudara.
Mengapa Qabil tega membunuh adiknya Habil, karena konon dia merasa ada yang tidak fair dari keputusan perjodohan yang dia harus hadapi. Pun begitu dengan saudara-saudara Yusuf AS. Mereka cemburu karena Yusuf seperti diberlakukan berbeda. Seperti menjadi ‘anak emas’ oleh bapaknya. Rasa yang belum tentu benar. Tapi, kecemburuan itu diantara yang mendorong kemufakatan jahat itu.
Kisah saudara yang jadi musuh ini tentu tak hanya tentang dua kisah ini. Ada banyak kisah lain dalam sejarah manusia. Bahkan diantara kisah perang panjang dalam sejarah itu adalah perang antar saudara. Termasuk diantaranya Perang Saudara China (1927-1950), Perang Korea (Utara dan Selatan) yang telah menewaskan jutaan orang, Perang Saudara di Vietnam dengan korban yang juga tak kalah banyak.
Kalau mau ditarik ke zaman para sahabat, ada Perang Shiffin, perang antara kelompok Muawwiyah dan Kelompok Ali. Semua mereka awalnya bersaudara dekat. Tapi, kemudian terlibat baku hantam. Bunuh-bunuhan.
Seringkali hidup adalah sejarah yang berulang. Maka, waspadalah. Waspadalah!
--
Demikian serial #semacamkultum malam ini.
* Kalau dirasa kepanjangan, kasih tahu ya ‘jama’ah’ (tadinya mau bilang ‘guys’) :D