Oleh Dr. Afrianto Daud
---
Birulangitid-Jauh sebelum peradaban manusia mengenal sistem sekolah formal seperti saat ini, manusia awalnya lebih banyak belajar dengan melihat dan memperhatikan berbagai macam fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka. Manusia belajar pada timbul tenggelamnya matahari. Pada datang dan perginya bulan. Pada pergantian siang dan malam. Pada apa yang mereka temukan di sepanjang perjalanan hidup mereka.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Q.S.3:190)
Konon dulu ketika Qabil selesai membunuh Habil, dia terdiam dan bingung apa yang mesti dia lakukan terhadap jasad adiknya. Qabil belum tahu ilmu tentang menguburkan mayat, sampai dia menyaksikan seekor burung gagak yang juga selesai berkelahi. Gagak itu terlihat menggali tanah untuk menguburkan korban perkelahiannya. Dari menyaksikan gagak itu kemudian Qabil dapat ilmu tentang bagaimana menyelenggarakan mayat, menguburkannya ke tanah.
Pun begitu dengan kisah awal lahirnya beberapa teori-teori yang sekarang di kenal di dalam dunia sains. Sebutlah misalnya teori gravitasi itu. Dikisahkan bahwa ketika wabah sedang melanda kota Cambridge, Inggris pada tahun 1666, Isaac Newton memutuskan mengungsi sementara di luar kota. Suatu hari, ketika dia sedang berjalan-jalan di taman, dia melihat sebuah apel jatuh. Beberapa tahun setelah menyaksikan apel yang jatuh itulah itu kemudian Isaac Newton memformulasikan teori gravitasi yang kemudian terkenal itu. Terlepas bahwa ada yang menyebut cerita ini fiksi, bolehlah kita simpulkan bahwa Newton awalnya belajar dari fenomena alam.
Ada banyak lagi kisah-kisah para ilmuan yang awalnya lebih banyak belajar kepada fenomena alam. Termasuk dalam hal ini bagaimana Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu itu, konon belajar melalui eksperimen dengan memperhatikan bagaimana ayam bertelor dan mengeram. Fenomena alam yang dia coba lakukan sendiri, mencotoh apa yang dia lihat. Walaupun eksperimennya gagal. Tapi, kegagalan adalah bagian dari belajar itu sendiri.
Akan sangat panjang contoh lain tentang bagaiamana manusia lebih banyak belajar kepada alam. Kepada tanda-tanda Tuhan yang mereka lihat di bumi. Inilah sumber kebijasanaan yang tak pernah habis dari dulu sampai sekarang. Oleh sebab itulah kemudia dalam masyarakat Minangkabu, misalnya, ada filosopi hidup ‘alam takambang jadi guru’.
Inti dari filosopi ini adalah bahwa belajar tak boleh dibatasi ruang dan waktu tertentu. Kita bisa belajar dari mana saja dan dari siapa saja. Dalam konsep alam takambang jadi guru itu, semua tempat bisa menjadi sekolah, dan semua orang bisa berperan menjadi guru.
Sekali lagi, folosopi hidup inilah yang membuat lahirnya banyak tokoh hebat di masa lalu, walau mungkin mereka tidak menamatkan kuliah sampai sarjana atau pasca sarjana.
Siapa yang tidak kenal Buya HAMKA, misalnya. Beliau memang tak memiliki sertifikat pendidikan formal yang tinggi. Tapi, dunia mengakui keilmuan di banyak bidang, termasuk di bidang agama, sastra dan politik Islam. Buya HAMKA lebih banyak belajar dari berbagai pengalaman hidupnya di lapangan, termasuk ketika menjadi aktivis organisasi, ketika menjadi wartawan, atau belajar secara otodidak tentang banyak hal. Alam membuat beliau menjadi seseorang dengan kemampuan luar biasa.
Ada banyak orang sukses lainnya yang tak memiliki sekolah formal yang cukup. Ada banyak orang Padang, misalnya, yang sukses menjalankan bisnis, walau mereka tak pernah kuliah di fakultas bisnis. Mereka belajar menjalankan usaha langsung di lapangan – learning by doing, learning from mistakes, learning by looking others. Mereka tumbuh tak kalah baik dari mereka yang tamat dari school of bussiness.
Poin yang saya ingin ingatkan dalam serial #semacamkultum malam ini adalah tentang pentingnya kita mendidikan diri kita, anak-anak kita, untuk kembali pada konsep alam takambang jadi guru ini. Apalagi kita sedang dalam suasana pandemi dan ketika menjalankan ibadah Ramadhan.
Hari ini anak-anak kita dijejali berbagai kegiatan ‘learning from home’. Belajar dari rumah melalui berbagai platform online yang disediakan guru, sekolah, atau pemerintah. Dari pagi sampai sore, anak-anak dan guru sibuk duduk di depan laptop, atau memegang gadget. Sampai panas ‘ekor’ mereka, saking lamanya duduk di depan komputer. 😬😀
Tak salah memang. Tapi, jangan lupa bahwa jangan hanya kita habiskan waktu kita belajar melalui berbagai platform itu. Tak cukup dan tak kan pernah cukup. Sempatkan juga mengajak anak-anak kita untuk belajar kepada alam. Belajar dengan merenungkan segala perisitiwa yang terjadi di sekitar kita.
Jika kita ingin anak-anak kita bisa berempati ke orang-orang miskin, misalnya, mungkin perlu sekali dua kali mengajak mereka ke luar rumah. Membawa makanan atau bingkisan yang bisa dibagi ke para pemulung di jalan, misalnya. Beri kesempatan kepada mereka belajar tentang perlunya berbagi dan berempati. Bawa mereka ke dunia nyata bahwa ada banyak orang kurang beruntung di luar sana.
Jika kita ingin anak-anak kita memahami betapa lemahnya manusia di masa pandemi ini, sesekali ajak mereka ke belakang rumah. Menyaksikan ayam, burung, keong, dan binatang lainnya. Bilang ke mereka, “Hey, anak-anak, lihat semua binatang itu masih bisa hidup dengan tenang, sementara jutaan manusia hidup dalam kekhawatiran yang dalam saat ini.” Biar mereka bisa belajar bahwa hakekatnya manusia memang lemah. Tak pantas sombong. Baik di depan binatang, di depan manusia, apalagi di hadapan Tuhan.
Ada masih banyak lagi tentu yang bisa kita lakukan dalam konteks alam takambang jadi guru ini. Intinya, perluas ruang sekolah kita. Perluas dan perbanyak guru kita. Guru paling luas dan paling bijak itu adalah Alam ciptaan Allah.
Fa’tabiru yaa ulil albab!