Oleh Dr Afrianto Daud
----
Birulangitid-Jika anda ditanya lebih baik mana sholat taraweh delapan raka’at atau dua puluh raka’at, anda akan menjawab seperti apa? Boleh jadi ada mereka yang percaya bahwa taraweh dua puluh lebih afdhal dari delapan, karenanya mereka mengamalkannya. Sebaliknya, boleh jadi ada juga yang berpendapat delapan raka’at lebih baik dengan argumennya sendiri-sendiri.
Terus kemudian mana sesungguhnya yang lebih baik di hadapan Allah SWT? Jawabannya bisa kita ambil dari penggalan ayat di dalam Surat Al-Muluk ayat 2, ketika Allah berfirman, ‘Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala', (yang akan menguji kamu, tentang siapa yang paling baik amalannya).
Menarik ketika Allah SWT menggunakan kata ‘ahsan’ dalam penggalan ayat di atas. Dalam grammar Bahasa Arab, ‘ahsan’ adalah isim tafdhil. Atau dalam tata bahasa Inggris sama dengan comparasion degree. Allah menggunakan kata ‘ahsan’ yang artinya ‘lebih baik’ terkait amal, bukan menggunakan kata ‘aktsar’, yang artinya lebih banyak.
Secara bahasa implikasi kata ‘ahsan’ dalam konteks amalan kita adalah bahwa sangat penting kita memperhatikan kualitas sebuah amalan terlebih dahulu sebelum bicara tentang kuantitas amalan. Jadi bukan masalah seberapa banyak, tetap yang jauh lebih penting adalah seberapa baik amalan itu di mata Allah SWT.
Syeikh Al Fudhail bin Iyadh dalam tafsirnya menjelaskan makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan). Ini artinya bahwa kualitas amal sangat ditentukan oleh kualitas niat sebelum, ketika, dan setelah menjalankan amalan itu.
Begitulah memang dalam pemahaman ibadah seorang muslim. Sebuah amalan mestilah dimulai dengan niat yang ikhlas yang hanya mengharap ridha Allah SWT. Amalan yang mengharapkan selain itu dikhawatirkan kemudian ditolak Allah SWT.
Dengan demikian, betapapun kita telah melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh, berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah.
Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengajarkan ilmu, tapi kalau hanya ingin disebut orang pintar, juga tak ada nilai. Bahkan ke masjid setiap haripun, tapi bukan Allah yang dituju, hanya ingin disebut orang yang shaleh oleh manusia, maka itu semua tidak bernilai di hadapan Allah. Tidak bernilai!
Ini sebenarnya hal yang sudah sering kita ulang, kita dengar, kita baca, dan kita ceramahkan. Tapi, soalan niat ini bukanlah perkara mudah. Karena pada sa’at yang sama syeithan terus mengintai kita. Berusaha menggelincirkan ummat manusia. Amalan yang awalnya bisa jadi ikhlas, di tengah jalan bisa berubah. Oleh karena itulah, kita diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk terus memperbaharui niat. Tajdiduu niyatakum!
Terus, bagaimana kita bisa mengukur kadar keikhlasan kita beramal kepada Allah SWT? Syeikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Niat dan Ikhlas menjelaskan beberapa indikator orang yang ikhlas dalam beramal. Pertama, orang yang ikhlas takut kemasyhuran dan sanjungan yang boleh jadi bisa membawa fitnah kepada diri dan agamanya. Inilah yang menjadikan ramai di kalangan ulama’ salafussoleh takut kalau hati-hati mereka ditimpa fitnah kemasyhuran, kemegahan dan sanjungan. Oleh karena itu, jika ada orang yang memuji amal baikmu, cepat-cepat kembalikan kepada zat yang pantas dipuji.
Kedua, mereka yang ikhlas tidak mencari populartias dan tidak mau menonjolkan diri. Mereka tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian. Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah kepada hamba-hamba yang beramal baik. Hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya. Kita baik di hadapan manusia lebih karena Allah menutup aib kita.
Ketiga, mereka yang ikhlas tidak diperbudak imbalan dan balas budi. Mereka tidak mudah kecewa. Baik amalannya dibayar ataupun tidak. Baik diapresiasi ataupun tidak. Baik di lihat orang ataupun tidak. Mereka terus bekerja dalam diam. Berkarya dalam sunyi. Bermunajat dalam kesendirian.
Keempat, mereka yang ikhlas tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil. Semangatnya tetap sama baik saat menjadi pemimpin ataupun saat menjadi rakyat. Baik saat menjadi imam ataupun makmum. Dia tahu bahwa amalan sekecil apapun, pasti dicatat Allah SWT. Tak ada yang luput dari catatan malaikat.
Kelima, mereka yang ikhlas tetap beramal dengan kualitas sama, baik ketika bersama dengan orang lain ataupun saat sendirian. Kualitas ibadahnya tidak berbeda baik beramal di masjid ataupun di rumah. Baik saat di depan mertua, ataupu saat di kamar sendirian. Karena, dia tahu Allah tak perah tidur. Dia selalu ada kapan saja dan dimana saja.
Balik kita pada soalan di awal tulisan ini, lebih baik mana dua puluh atau delapan raka’at? Begitulah jawabannya, bukan tentang jumlah raka’at yang utama. Yang lebih penting siapa yang paling ikhlas diantara mereka. Itulah yang terbaik di hadapan Allah SWT.
Dengan demikian, mari sekarang kita fokus pada substansi amalan. Pada kualitas keredhaan dan keikhlasan kita dalam beramal. Jangan terkecoh oleh jumlah yang banyak. Karena banyak bukan jaminan. Apalagi amalan yang sedikit.
Berinfak sedikit tapi ikhlas itu tentu baik. Berinfak banyak dan juga ikhlas itu jauh lebih baik. Pun, begitu dengan berbagai amalan lainnya. Termasuk dalam membantu mereka yang kena dampak pandemi. Ikhlas dulu. Perbanyak kemudian. Ikhlaskan lagi. Perbanyak lagi. Begitu seterusnya.
Selamat menikmati sepuluh malam terakhir, wahai suadara!
--
Demikian serial #semacamkultum malam ini.