Menyajikan info terkini dunia pendidikan dan berita berita menarik

Selamat Datang Di Birulangitid

Monday, May 18, 2020

Malam Ke-25: Menjaga dan Memupuk Harapan

0 comments

https://www.birulangit.id/

Oleh Dr. Afrianto Daud

--

Birulangitid-Apa yang membuat manusia bisa bertahan menjalani kehidupan seberapapun sulitnya masalah yang dihadapi? Apa yang membuat seorang berani mengambil resiko terburuk, memulai perjalanan baru ke negeri asing, sebutlah untuk pergi merantau untuk menyambung hidup, atau berangkat sekolah ke negeri yang jauh, meninggalkan segala zona nyaman yang mereka miliki?

Jawabannya adalah karena ada ‘harapan’. Ya, harapan adalah sumber energi terbesar yang menggerakkan seseorang dalam menjalani kehidupan, dalam kondisi apapun. Energi itu tidaklah datang dari makanan yang kita konsumsi. Bukan juga dari minuman. Makanan dan minuman tentu ada juga mendatangkan energi. Tapi, efeknya sangatlah singkat dan terbatas. Sementara keberadaan harapan bisa memberi pengaruh panjang dan lama.

Selama seorang anak manusia masih memiliki harapan ini, maka baginya tak ada perjalananan yang dianggap terlalu jauh, tak ada gunung yang terlalu tinggi, tak ada lembah yang terlalu dalam. Tak banyak yang masuk kategori ‘tak mungkin’.

Inilah diantara rahasia mengapa orang-orang tertentu bisa melakukan hal-hal yang luar biasa di dalam kehidupan. Seorang ayah, misalnya, akan melakukan ‘apa saja’, bekerja membanting tulang, tanpa lelah setiap hari. Dia nyaris tak pernah mengeluh. Dia jalani semua sakit dalam setiap usahanya demi tercapainya cita-citanya. Agar anak-anaknya bisa bersekolah, misalnya. Agar anak-anaknya memiliki nasib yang lebih baik dari dirinya. Dia ingin anak-anaknya seperti orang lain. Sukses. Bekerja. Hidup yang cukup. Tidak sesulit yang dia rasakan. Keinginan dan cita-citanya itulah harapan itu.

Seorang ustadz, pada contoh yang lain, tak pernah merasa capek, melakukan perjalanan jauh ratusan kilometer, demi menemui masyarakat binaannya. Dia menikmati saja suka duka perjalanannya. Memacu laju motornya di tengah malam yang dingin. Kadang kehujanan. Kadang motornya kempes. Dengan sabar dia menuntun motornya dengan jalan kaki, beratus meter sampai bertemu bengkel tempel ban.

Dia jalani usaha membina masyarakat ini berbulan-bulan. Tanpa mengeluh. Walau dia sama sekali tidak digaji. Dia hanya berhadap ridha Allah, plus berharap agar ummat yang dia temui memperoleh hidayah. Menjadi muslim yang ta’at. Dia bisa bertahan selama itu, sekali lagi, karena harapan itu.

Tentu sangat banyak contoh lain yang bisa kita temui di dalam kehidupan kita bagaimana keberadaan harapan ini membuat kita bertahan, bersabar menjalani proses hidup yang tak selamanya indah. Saya sendiri, misalnya, pernah sakit cukup lama. Harapan agar saya bisa sembuh, agar bisa kembali ke sekolah, adalah diantara sumber energi saya untuk bersabar menjalani proses perawatan yang lama, berbulan-bulan.

Begitulah memang harapan itu begitu penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, diantara tugas kita adalah bagaimana bisa menjaga dan memupuk harapan itu agar tetap tumbuh di dalam pikiran kita. Karena sekali seseorang kehilangan harapan, maka itulah momen ketika dia sudah ‘mengakhiri’ makna hidupnya sebelum waktunya. Fisiknya bisa jadi masih hidup, tetapi jiwanya telah lama mati.

Berbagai peristiwa yang menyedihkan di sekitar kita terjadi bisa jadi karena seseorang telah kehabisan harapan ini. Sepasang suami istri yang sudah menikah lama kemudian memutuskan untuk bercerai bisa jadi karena kehabisan harapan untuk bisa kembali meneruskan bahtera rumah tangga mereka bersama.

Seorang karyawan memtuskan mundur dari perusahaan tempat dia bekerja karena kehabisan harapan untuk bisa berkembang. Atau berbagai peristiwa bunuh diri yang terus terjadi di banyak tempat saat ini sesungguhnya karena seseorang sudah kehilangan harapan untuk bisa meneruskan kehidupannya.

Karena pentingnya harapan bagi keberlangsungan kehidupan, Allah kemudian melarang kita untuk berputus asa dengan rahmat Allah (Q.S. 39:5). Seorang muslim memang seharusnya tak boleh putus asa, karena di atas segala permasalahannya ada Allah yang maha besar. Serumit apapun masalah yang dia hadapi dalam hidup, dia meyakini bahwa di hadapan Allah yang maha besar dan maha kuasa tak ada permasalahan yang benar-benar rumit. Semua masalah menjadi kecil. Karenanya, dia terus berharap, bertahan, menjalani kehidupannya. Berharap Allah membantunya mencari jalan keluar.

Dalam konteks pandemi, misalnya. Tak ada secuilpun alasan seorang muslim untuk berputus asa, lalu kemudian memilih mengakhiri hidup, bunuh diri, karena sudah tak kuat menjalani sulitnya hidup selama masa Covid-19 ini. Kita meyakini bahwa setiap yang ada awalnya, pasti ada akhirnya. Bahwa di balik setiap kesulitan ada kemudahan - فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (Q.S. Al-Insyirah: 6). Bahwa setelah kegelapan malam yang begitu pekat, pasti akan berganti dengan datangnya pagi, dan kemudian datangnya mentari yang benderang. Kita hanya butuh bersabar menjalani perputaran waktu dari Allah SWT.

Meskipun begitu, untuk bisa optimis, kita juga butuh usaha-usaha yang sifatnya manusiawi. Usaha maksimal yang kita bisa. Menggunakan segala potensi akal, fisik, dan jiwa kita dalam menghadapi pandemi ini. Di sinilah misalnya para pemimpin wajib hadir mendatangkan semangat dan optimisme. Membangun dan memupuk harapan, bahwa kita bisa keluar dari krisis ini.

Sekali lagi, dalam konteks pandemi ini, pemimpin di level manapun berkewajiban untuk terus mengalirkan harapan ini kepada masyarakat. Bikin keputusan yang masuk akal. Konsisten. Tidak mencla mencle. Pimpin masyarakat dengan komando yang jelas. Sampaikan ke semua elemen masyarakat bahwa jika kita disiplin, bersatu, kita akan bisa melewati masa-masa sulit ini.

Pada akhirnya, masyarakat akan ikut dengan para pemimpin yang benar-benar memberi mereka harapan untuk bisa hidup lebih baik. Termasuk untuk bisa keluar dari berbagai krisis ini lebih cepat. Mereka akan percaya bahkan membela sedimikian rupa para pemimpin yang bisa memberi harapan yang nyata. Terukur. Bukan justru harapan palsu.

Jangan. Jangan sampai ada harapan palsu. Karena, sekali rakyat kecewa. Hati mereka sulit diobati. Di sini putus asa itu bermula. Kalau sudah sampai di sini, bahaya!

--

Demikian serial #semacamkultum kembali hadir malam ini. Description: 🙂

 

No comments:

Post a Comment