Oleh Dr Afrianto Daud
---
Birulangitif-Sebagai zat yang menciptakan manusia, tentu Allah sangat mengerti bagaimana cara manusia berfikir. Kecenderungan mayoritas manusia dalam bertindak adalah dengan terlebih dahulu menghitung ‘untung rugi’ dari apa yang akan dia kerjakan. Mereka akan termotivasi melakukan sesuatu jika mereka paham bahwa sebuah amal itu bermanfa’at untuk mereka. Sebaliknya, motivasi mereka bisa hilang jika amalan tertentu tak membawa keuntungan apapun.
Dalam konteks belajar, misalnya, Boby De Porter, pengarang buku Quantum Learning yang dulu best seller itu mengatakan bahwa anda mesti menjawab pertanyaan yang dia singkat dengan ‘AMBAK’, pendekan dari ‘apa manfa’atnya bagi aku?’ sebelum memulai sebuah proses pembelajaran. Intinya dia mengingatkan bahwa kejelasan manfa’at sebuah topik pembelajaran sangat penting disampaikan di awal proses pembelajaran kepada siswa, karena hal itu akan mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar.
Balik ke konteks amalan dalam beragama, saya kira keberadaan konsep surga dan neraka, termasuk konsep pahala dan dosa ada pada ruang ini. Bahwa Allah menggunakan konsep itu dalam rangka memotivasi manusia untuk beramal. Bahwa jika kita melakukan kebaikan tertentu, Allah akan membalas dengan pahala. Jika pahala kita banyak, itu nanti akan menjadi tabungan kita untuk bisa masuk surganya Allah SWT. Sebaliknya jika kita melakukan kesalahan, Allah akan ganjar kita dengan catatan dosa. Dosa yang bertumpuk akan membawa kita ke neraka.
Ajaran tentang sorga dan neraka, atau pahala dan dosa itu bisa dipahami sebagai semacam sistem ‘reward and punishment’ yang banyak dipraktekkan dalam kehidupan kita. Seorang pegawai perusahaan akan berusaha bekerja keras dan disiplin jika ada kejelasan sistem reward dan punsihment ini. Kalau tidak, orang-orang akan bermalas-malasan. Toh, tak ada beda antara yang rajin dan yang malas, misalnya.
Bolehkah kita beramal karena berharap surga dan karena takut neraka? Ini adalah pertanyaan yang menarik untuk dibahas. Saya mengerti ada perbedaan pendapat di sini.
Secara umum tentu adalah wajar jika kita beramal karena berharap surga Allah dan karena takut akan neraka. Karena memang penjelasan Allah tentang surga dan neraka jelas ada dalam kitab suci. Percaya kepada keberadaan surga dan neraka juga adalah bagian dari keimanan kita kepada yang ghaib. Ada banyak ayat yang bahkan menyuruh kita untuk berlomba-lomba dalam beramal sehingga kita pantas masuk surga Allah SWT, atau terhindar dari neraka Allah (lihat, misalnya Q.S 86:26, 18:107-108, dan 25:65).
Mayoritas ulama membenarkan bahwa sangat boleh kita beramal karena berharap sorga dan takut akan neraka. Saya juga termasuk yang membenarkan ini. Bahwa ikhlas bukan berarti kita sama sekali tak boleh punya bayangan akan indahnya surga dan mengkhawatirkan keadaan neraka yang dahsyat itu. Karenanya, mari silakan teruskan motivasi beramal karena ini.
Meskipun begitu, saya pikir ada baiknya juga kita tidak terlalu ‘transaksional’ dalam beramal. Jangan sampai kita terlalu lama menghitung-hitung untung rugi sebelum melakukan sesuatu. Tentu, kita boleh dan malah harus meyakini ada janji Allah dengan pahala berlipat untuk mereka yang berinfak selama bulan puasa, misalnya. Tapi, tak perlu pula kita mengambil kalkulator untuk menghitung sudah berapa banyak tabungan pahala kita dengan sekian infak yang sudah kita tunaikan, misalnya. Atau menghitung sudah seberapa banyak tabungan kita jika mendapat lailatul qadr.
Amalan terbaik adalah amalan yang sudah menjadi kebiasaan. Amalan yang mengalir karena cinta kepada Rabb – Sang Pencipta. Amalan yang terus dilakukan karena penghambaan yang dalam kepada Allah SWT. Penghambaan yang melahirkan keta’atan yang sempurna. Semacam unconditinal love, cinta tanpa syarat.
Sebagai zat yang Maha Adil, Allah pasti telah siapkan ganjaran terbaik untuk setiap amal baik yang dilakukan hamba-Nya yang beriman. Allah pasti telah catat semua amalan itu, baik yang kecil maupun yang besar. Baik yang terlihat manusia ataupun yang tidak. Baik yang dilakukan karena motivasi takut neraka, atau lebih karena Cinta kepada Allah SWT.
Sementara surga dan neraka hanyalah konsekwensi logis dari keredhaan Allah kepada kita hamba-Nya. Sebagai akibat turunan dari amal baik atau amal buruk yang kita lakukan di dunia. Dia akan kita peroleh, jika kita memang berhak mendapatkannya. Diminta ataupun tidak. Surga dan neraka adalah ‘hak perogratif’ Allah SWT.
Sampai di sini, mungkin kita bisa paham esensi yang disampaikan oleh ahli sufi seperti Rabiah Al-Adwiyah itu, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.”
Sekali lagi, saya paham ada yang tak setuju dengan ungkapan Rabiah di atas. Tapi, saya bisa mengerti poinnya.
Wallahu a’lam.
---
Demikian serial #semacamkultum malam ini. Semoga tak ‘terlalu berat’ pembahasannya :D