Malam Kesebelas: Karena Kita Tak Bisa Sendiri |
Oleh Dr. Afrianto Daud
---
Birulangitid-Segera
setelah Allah menciptakan Adam AS, Allahpun mencitakan Hawa sebagai pendamping
Adam di surga. Penciptaan Hawa sebagai pendamping Adam tak hanya bisa dipahami
bahwa manusia pertama itu memerlukan pasangan untuk kemudian bisa menjadi ayah
ibu bagi jutaan generasi berikutnya, tetapi bisa juga dimengerti bahwa Adam AS
sebagai manusia tak bisa hidup sendiri di surga. Dia memerlukan pendamping,
teman, dan partner. Adam AS memerlukan soulmate.
Maka
jadilah Adam dan Hawa sebagai dua orang yang saling mencinta setelah itu,
saling membutuhkan, saling merindu ketika kedua jasad mereka diturunkan Allah
ke bumi di dua tempat berbeda. Walau ada beberapa versi catatan tentang
persisnya dimana Adam diturunkan. Tapi, berbagai catatan menyebut bahwa mereka
diturunkan pada dua tempat berbeda.
Cukup
lama kedua orang ini merindu untuk bertemu. Tak ada GPS, tentu. Apalagi media sosial
untuk mencari dimana salah satu diantara keduanya. Mereka hanya mengikuti
insting kerinduang masing-masing. Terus berjalan mengkuti kata hati. Sampai
pada suatu hari, kedua mereka bertemu pertama kali di satu bukit itu. Sebuah
pertemuan yang pasti syahdu. Saat dua jiwa yang terpisah lama kemudian akhirnya
dipertemukan kembali. Tempat pertemuan mereka kemudian diabadikan dengan nama
Jabal Rahmah – Bukit Kasih Sayang.
Dari
kisah Adam dan Hawa kita belajar bagaimana hakekat jiwa manusia. Bahwa semua
manusia hakekatnya tak bisa hidup sendiri. Siapapun kita, kita pasti
membutuhkan orang lain. Kebutuhan kita terhadap orang lain, tentu tidak hanya
dalam makna pasangan hidup, tetapi juga dalam bentuk sahabat, teman bermain,
teman berdiskusi, partner bekerja, atau hubungan-hubungan lain yang tak
langsung terkoneksi, tetapi tetap saling membutuhkan dan saling mempengaruhi.
Kita
eksis karena ada orang lain di sekitar kita. Manusia itu sering takut kalau
sendiri, tetapi dia jadi berani ketika bersama orang lain. Manusia yang lemah
ketika sendiri. Jadi kuat saat rame-rame. Ada yang miskin di kala sendiri. Jadi
kaya saat hidup bersama orang lain (menikah). Ada yang letoi tak bertenaga jika
hanya main sendiri, tetapi jadi bersemangat empat lima dikala permainannya ditonton
ribuan orang. Ada banyak lagi contoh lainnya, tentu. Intinya, kita adalah
makhluk sosial sejak semula jadi.
Manusia
wajib berusaha menjaga hubungan antar manusia ini. Baik buruknya hubungan
manusia akan mempengaruhi baik buruknya keadaan alam. Dunia bisa rusak karena
rusaknya dua hubungan manusia. Berbagai perang dalam sejarah terjadi salah
satunya karena rusaknya hubungan ini.
Karena
pentingnya hubungan antar manusia, Islam sebagai sebuah konsep kehidupan sangat
perhatian dengan bagaimana ummatnya memperhatikan hubungan antar manusia itu.
Kita mengenal istilah hubungan vertikal kepada Allah (hablum minallah), dan
pada saat yang sama Islam sangat perhatian dengan hubungan horizontal (hablum
minan naas). Muslim paripurna dalam konsep Islam adalah seorang yang bisa
menjaga dan memainkan tugas dan perannya pada dua hal ini pada saat yang sama
secara seimbang.
Kalau
kita perhatikan berbagai macam ibadah formal yang disyari’atkan Allah, sebutlah
sholat, puasa, zakat, dan haji, hampir semuanya memiliki dimensi kemanusiaan
disamping dimensi ilahi. Sholat misalnya, kita awali dengan membesarkan namba
Allah (Allahu Akbar), namun kita akhiri dengan ucapan selamat kepada manusia
dan dunia seisinya di kanan dan kiri kita.
Pun
begitu dengan puasa yang sedang kita lakukan saat ini, sudah sering kita bahas
bahwa selama puasa kita diajarkan untuk berempati dengan manusia lain yang
kurang beruntung di sekitar kita. Apalagi di akhir puasa, menjelang Syawal,
kita disyari’atkan membayar zakat fitrah. Amal puasa kita akan ‘tergantung di
langit’, sebelum kita membayarkan kewajiban zakt fitrah. Zakat fitrah adalah
ibadah yang sangat kentara aspek sosialnya.
Ibadah
zakat usah diterangkan lagi. Sangat jelas sebagai ibadah yang memiliki dimensi
horizontal yang kuat. Pun begitu dengan ibadah haji. Tak lepas dari aspek
sosial ini. Ibadah haji adalah ibadah yang mengembalikan manusia pada hakekat
kemanusiaannya. Selain juga ada ibada kurban bagi jama’ah haji (walau ada
perbedaan pendapat tentang kewajibannya), setelah haji seorang muslim dituntut
untuk berubah menjadi lebih baik dan menjadi agen perubahan di lingkungannya.
ان يكون
أحسن من قبل وأن يكون قدوة أهل بلده
Hal ini
diantaranya terlihat pada kualitas kerja, kerendahan hati, kepekaan sosial,
kedermawanan serta perilaku utama lainnya.
Pendeknya,
tak berlebihan jika kita katakan bahwa menjaga hubungan baik sesama manusia
adalah diantara amalan utama setelah kita menjaga hubungan baik dengan Allah
SWT. Karena pentingnya hubungan antar manusia ini, itulah mengapa Allah
mengancam melaknat orang-orang yang memutus silaturrahim. Na’uzubillah.
Jika
engkau nanti masuk surga wahai saudara, jangan lupa juga bawa dan do’akan kami.
Karena, sebagaimana juga nabi Adam AS, di surga itu nanti kita tak bisa
sendiri.
Wallahu
a’lam.
---
Demikian
serial #semacamkultum malam ini. Maaf ya kalau
kepanjangan. Hanya kawan-kawan spesial yang mau membaca tulisan sepanjang ini
di media sosial. Terimakasih ya