Malam Kesepuluh: Pendidikan Kita dan Disrupsi Corona |
Oleh Dr. Afrianto Daud
--
Birulangitid-Seorang teman request saya menulis sesuatu terkait pendidikan pada peringatan hari pendidikan nasional yang jatuh pada hari ini. Maka serial #semacamkultum malam ini mengambil tema terkait refleksi peringatan hari pendidikan nasional.
Karena sedang mengerjakan yang lain, saya tak bisa menulis terstruktur. Saya coba sarikan saja beberapa poin yang mungkin bisa jadi bahan renungan kita semua. Urutan poin berikut tidaklah menunjukkan tingkat kepentingannya.
1. Era disrupsi yang selama ini banyak dibicarakan orang itu saat ini benar-benar telah terjadi, menjadi fakta di depan mata kita. Namun disrupsi itu bukanlah karena lahirnya banyak robot-robot pintar (artificial intelligence), atau keberadaan machine learning yang super canggih, seperti banyak dibahas dalam berbagai forum seminar dan konferensi pada tiga empat tahun terakhir. Disrupsi itu dipicu oleh makhluk kecil bernama Corona atau Covid19.
Covid telah mengenterupsi kehidupan kita secara dahsyat. Tidak hanya hampir melumpuhkan sendi-sendi eknonomi, dan menginterupsi gerak sosial, praktek agama dan budaya kita, Covid itu juga mendisrupsi gerak pendidikan kita secara signifikan.
Covid mengubah banyak hal. Membuat mayoritas orang shock, terkejut, dengan segala akibat yang dibawanya. Jutaan sekolah di dunia terpaksa tutup fisiknya. Belajar berpindah ke rumah. Pembelajaran virtual menjadi alternatif wajib tak terelakkan. Sekali lagi, saat ini kita benar-benar berada di era disrupsi itu dengan segala resikonya.
2. Disrupsi Covid terhadap keberlangsungan proses pendidikan membukakan mata kita terhadap banyak hal. Covid memaksa kita untuk berfikir, mengevaluasi, dan mempertanyakan kemampuan dan kekuatan kita sebagai bangsa dalam menyelenggarakan pendidikan nasional saat ini. Covid, misalnya, menyadarkan kita betapa kita masih jauh dari siap menyelenggarakan pendidikan berbasis online.
Padahal sudah lama kita mendengung-dengungkan istilah keren dalam dunia pendidikan kita beberapa tahun terakhir. Sebutlah diantaranya revolusi industri 4.0, society 5.0, digitalisasi pendidikan, digital literacy, cyber university, e-learning, blended learning, machine learning, artificial intelligence, technological pedagogical content knowledge, dan banyak lagi istilah lainnya. Saat ini berbagai istilah keren itu menemukan ujian sebenarnya.
Kegagapan kita salah satunya karena memang masih banyak infstruktur yang belum benar-benar disiapkan. Jangankan infrastruktur pembelajaran daring di ribuan sekolah yang berada di daerah terpencil, terdalam, dan terluar, bahkan kampus saja yang notabene banyak berada di perkotaan juga kelabakan dengan keharusan belajar online ini.
Ini kita belum bicara kesiapan sumber daya manusia sekolah dan perguruan tinggi yang tiba-tiba dipaksa untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh. Banyak yang gagap dan gugup dengan apa yang mesti dilakukan. Kefasehan kita beradaptasi dengan tuntutan dunia digital tidaklah sefaseh saat kita berdiskusi tentang digitalisasi pendidikan.
Tak sedikit pembelajaran jarak jauh secara sederhana berubah menjadi pemberian tugas-tugas yang dikirim guru ke siswa atau dikirim ke orangtua melalui messengger seperti whatsApp, Telegram, dan lainnya. Akibatnya banyak orangtua yang komplain. Karena yang menanggung beban tidak hanya anak-anak mereka. Tetapi juga orangtua sendiri yang ikut berjibaku membahas berbagai soal dan tugas itu di rumah.
3. Belajar di rumah akibat Covid itu juga menyadarkan kita bahwa betapa pendidikan konvensional bernama sekolah dengan bangunan fisik, dan ruang-ruang kelas dimana siswa dan guru berinteraksi setiap hari tetaplah tak bisa digantikan. Secanggih apapun teknologi informasi dan komunikasi, dia tak akan pernah bisa menggantikan suasana kebatinan yang ada di sekolah. Sekolah dengan banguna beratap, dinding, dan lantai itu, sesederhana apapun bentuknya, tetaplah yang terbaik.
Tak ada aplikasi yang bisa membuat guru bisa mengontrol perkembangan anak didiknya secara detail ketika proses belajar berlangsung, misalnya. Perkembangan dalam makna integral (kognitif, afektif, dan psikomotor). Tak ada aplikasi yang benar-benar bisa memunculkan kehangatan suasana kelas seperti ketika pembelajaran di kelas konvensional berlangsung. Sa’at guru tersenyum, berempati, mendengarkan permasalahan siswa secara langsung, face to face.
Kita belum bicara suasana sekolah dengan setiap sudut bangunannya yang khas. Tempat bermain, kantin, ruang konsultasi, dan sebagainya. Wajar setelah dua tingga minggu belajar dari rumah. Banyak siswa yang rindu dengan sekolah mereka. Pun begitu, banyak guru yang merindukan pertemuan kembali dengan siswa mereka di suasana sekolah seperti biasa.
Dengan demikian, di tengah banyak kampanye pendekatan pembelajaran alternatif, seperti moda pembelajaran daring itu, dengan Covid kita disadarkan dan diberitahu bahwa pembelajaran daring sepertinya bukanlah pilihan moda pembelajaran ideal ketika suasana baik-baik saja. Daring itu hanyalah satu opsi saja ketika karena alasan tertentu siswa atau guru tidak bisa bertemu langsung secara fisik.
4. Ketika sebagian orangtua komplain dengan berbagai hal yang mesti dia kerjakan bersama anak di rumah dalam rangka membantu pembelajaran di rumah, sebenarnya hal itu adalah cara bagaimana orangtua bisa ikut menyadari bahwa proses mendidik anak di sekolah yang selama ini dilakukan guru bukanlah pekerjaan yang senderhana.
Covid memberi kita kesadaran bahwa betapa pentingnya setiap stakeholder mengambil peran dan bersinergi. Orangtua, siswa, guru, pemerintah dan masyarakat secara umum adalah pihak-pihak yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam kesuksesan pembelajaran seorang siswa.
Karenanya, orangtua tak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pendidikan anaknya ke guru di sekolah walaupun memang katakanlah orangtua sudah membayar mahal, misalnya. Guru punya ruang tanggung jawabnya. Orangtua juga begitu. Al-Ummu Al-madrastul Ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak mereka. Maka, menjadi ironis jika ada orangtua yang merasa sangat terbebani ketika mesti ikut membantu proses belajar di rumah. Karena itu sesungguhnya adalah tugas penting orangtua juga.
Harapannya setelah Covid ini pergi, orangtua bisa lebih menghargai kerja-kerja keras guru di sekolah. Tak ada lagi yang lambat membayar SPP misalnya (sekolah swasta). Apalagi sampai melaporkan guru ke polisi karena satu dua masalah guru dengan siswa. Lebih jauh, kita berharap bahwa semua unsur pendidikan itu bisa semakin menguatkan sinergi, bersama membangun sekolah. Termasuk berbagi tanggungjawab agar anak didik kita bisa berkembang optimal.
Demikian #semacamkultum sekaligus refleksi pada peringatan hari pendidika nasional ini. Sekali lagi, selamat memperingati hari pendidikan nasional. Saya yakin cepat atau lambatnya kepergian Corona ini dari sebuah negara berbanding lurus dengan tingkat pendidikan warganya.
Mari percepat peningkatan kualitas pendidikan kita, sehingga Coronapun cepat pergi meninggalkan kita.