Oleh: Fatchuri Rosidin (IG @fatchuri_fatah)
Direktur Inspirasi Melintas Zaman
Direktur Inspirasi Melintas Zaman
Gambar Ilustrasi (Sumber zenius.net) |
BirulangitId-Suatu hari saya bertemu seorang teman lama. Dulu ia mahasiswa yang cerdas di kampusnya. Nilai-nilai kuliahnya selalu bagus. Lulus sarjana kurang dari 4 tahun. Jauh dibandingkan saya yang butuh waktu lima setengah tahun untuk menyelesaikan kuliah. Satu semester terakhir saya praktis tak menyentuh tugas skripsi karena berangkat dalam misi kemanusiaan saat Ambon terkoyak konflik horizontal. Satu semester sebelumnya, saya juga hampir tak pernah kuliah. Karena posisi sebagai ketua senat mahasiswa, saya terlibat aktif dalam gerakan reformasi 1998. Dua semester sebelumnya lagi saya masih tenggelam dengan banyak kegiatan kampus sambil bekerja untuk membiayai kuliah. Teman saya ini tak tergoda dengan semua kegiatan itu. Dia lulus dari kampusnya di saat saya masih banyak mata kuliah yang belum diambil.
Saat saling bertanya tentang keluarga dan pekerjaan, saya terkejut. Dengan kecerdasannya seharusnya dia punya karir yang bagus. Saat itu saya sudah menjadi manajer di sebuah perusahan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Dengan kecerdasannya, seharusnya dia pun sudah menempati posisi manajerial. Ternyata dugaan saya salah. Dia masih staf biasa; posisi yang belum bergerak sejak dia mulai bekerja. Saya masih berusaha mencari jawabnya, kenapa kecerdasannya tak berbanding lurus dengan kesuksesannya dalam karir?
Teman saya tak sendiri. Di Malaysia, ada seorang genius bernama Sufiah Yusof. Di usia 13 tahun, ia sudah kuliah di Oxford. Oxford loh! Luar biasa bukan? Sayang, belum selesai kuliah, Sufiah kabur dari asramanya. Dua minggu kemudian ia kedapatan menjadi pelayan kafe internet di Bournemouth.
Sufiah kembali ke Oxford 2 tahun kemudian setelah diberikan kesempatan menyelesaikan kuliahnya. Sayang, ia gagal menamatkan kuliah. Di usia 19 tahun, Sufiah menikah di Inggris. Sayang pernikahannya hanya bertahan 13 bulan. Tragisnya, ia kemudian mengiklankan diri menjadi pelacur. Kini ia sedang menata kembali hidupnya dari keterpurukan.
Saya masih penasaran mengapa orang-orang cerdas seperti teman saya dan Sufiah Yusof tak berhasil dalam kehidupannya. Akhirnya saya temukan hasil riset Thomas J. Stanley yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang. Untuk mendapatkan hasil itu, Stanley meneliti 1.001 responden, di antaranya ada 733 milioner sukses di Amerika.
Hasilnya, kecerdasan (IQ) hanya menempati urutan ke-21. Kuliah di perguruan tinggi ternama atau sekolah favorit menempati ranking 23. Bahkan lulus dengan nilai tinggi hanya menempati ranking 30.
Lalu, apa faktor paling penting yang mempengaruhi kesuksesan? Stanley menemukan 10 faktor: kejujuran, disiplin, interpersonal skill, dukungan dari pasangan hidup, bekerja lebih keras dari orang lain, mencintai apa yang dikerjakan, good & strong leadership, semangat & kepribadian kompetitif, good life management, dan kemampuan menjual ide. Saya menyebutnya critical life skill.
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab. Kecerdasan bukanlah segalanya. Lulus dari sekolah favorit dengan nilai yang tinggi bukan jaminan sukses dalam karir. Pantas banyak teman saya yang saat kuliah biasa-biasa saja karirnya tetap moncer di perusahaan-perusahaan papan atas. Nilai akademik mereka memang tidak istimewa, tapi mereka punya critical life skill yang bagus.
Saya tidak mengatakan bahwa nilai akademik itu tidak penting. Kesuksesan akademik itu bagus. Tapi tanpa diiringi dengan critical life skill yang dibutuhkan di dunia kerja, kecerdasan tak akan melahirkan prestasi di tempat kerja. Tak hanya soal pekerjaan, hidup pun begitu. Kesuksesan akademik tanpa diiringi dengan critical life skill hanya melahirkan jenius-jenius yang terasing dari kehidupan.
Maka mari ajukan pertanyaan ini untuk diri sendiri sebagai refleksi: sudah seberapa bagus critical life skill kita? Ajukan pertanyaan yang sama untuk anak-anak kita: sudah seberapa bagus critical life skill mereka? Seberapa besar perhatian kita terhadap penumbuhan critical life skill anak-anak dalam pengasuhan dan pendidikan di rumah kita? END