Birulangitid-Tentang COVID19 dan kita. Lama sekali sebenarnya saya ingin menulis tentang ini. Potongan kata meronta-ronta minta dirangkai, semoga pada kesempatan kali ini saya bisa merangkainya dengan baik (menghela napas panjang).
Saya tidak menyangka, akhirnya saya bisa bertahan kurang lebih selama 4 bulan membatasi gerak ke luar rumah secara ekstrim. Pelan-pelan saya mulai bisa menerima perubahan yang terjadi. Hal yang tidak pernah saya bayangkan sebenarnya. Saya dengan anak autis yang memiliki pemahaman kaku dan anak balita yang lagi enerjik-enerjiknya. Kami yang harus mengurung diri di rumah. Terapi ayya yang harus stop dan sekolah yang harus di rumah aja. Semua ini berat, sangat berat. Tapi saya setiap detik menghibur diri. Berharap semua segera berakhir, meskipun saya sadar bahwa ini akan berlangsung lama. Seperti prediksi pembicara pada simponsium COVID19 yang diselanggarakan Harvard 4 bulan lalu. Saat itu mereka berkata 2 hal yang membuat saya marah. Satu, bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi pusat pandemi, dan kedua bahwa ini akan selesai di akhir 2021 atau awal 2022. Saya marah, karena bagi saya itu lebay. Tapi, hari ini seakan saya membenarkan semua itu. Meskipun itu tak mengurangi pengharapan saya pada Allah, yang Maha Segalanya.
Izinkan saya bercerita, tentang fakta lapangan yang sedang saya hadapi. Kemarin sore, ada informasi yang saya dapatkan bahwa 1 orang di sekitaran saya positif COVID19 (Rapid test) dan sedang diisolasi di sebuah RSUD. Yang membuat saya lemas adalah saat mengetahui kronologinya. Si Pasien ini ternyata sudah merasakan gejala (karena ada kormobid) sejak 1.5 bulan lalu. Usia dewasa awal, sakit ginjal. Ybs diketahui saat pandemik keluar tanpa protokol, tanpa masker dan menikmati hidup seperti biasa. Sampai akhirnya jatuh sakit dan dibawa ke puskesmas. Di Puskesmas, disarankan rapid test. Tapi orangtuanya malah membawa pulang, karena "TAKUT", takut disuruh bayar dan takut positif. Mereka semua diam, warga tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya anaknya tambah parah dan dibawa ke RS di Jakarta. Di rawat 3 hari, kondisi anak tidak membaik. Diminta untuk cek lanjutan ke RS rujukan COVID19. Mungkin nakes disana menyadari ini sepertinya COVID19. Lalu, orangtua lagi-lagi tidak membawa ke RS tersebut. Malah dibawa pulang.
Tetangga yang bersimpati, malah datang menjenguk. Lalu, seminggu yang lalu si anak tiba-tiba sesak napas dan disangka sakratul maut. Warga berhamburan, antara kepo dan ingin membantu. Lalu dibawalah ke beberapa RS, ada 2 RS menolak karena penuh dan tidak ada layanan yang safety, karena khawatir si anak ini memang positif COVID19. Sampai akhirnya satu RS menerima dan diisolasi-lah ia. Di awal di tes, ternyata positif pada pemeriksaan ada tidaknya antibodi menggubakan rapid test, sedangkan SWAB masih menunggu hasil. Prosedurnya, jika Swab positif, maka pihak RSUD akan menelpon puskesmas. Dari puskesmas akan mentracing siapa saja yang sudah berkontak, dan memeriksa mereka. Sekarang bayangkan, 1.5 bulan, sudah dengan siapa saja dia dan keluarganya berkontak?
Apa yang salah?
Pertama, keluarga yang berbohong karena takut stigma. Bohong pada nakes, bohong pada warga.
Kedua, pihak puskesmas yang tidak memfollow up keluarga ini. Sehingga kebohongannya di 5 RS dan RS ke lima baru dipaksa rapid test. Saya bingung, ntar RS apa tidak saling berkontak ya? Jika memang dia suspect, kenapa dibiarkan bebas, kenapa tidak difollow up? Ohya, ybs juga pneumonia. Jelas gejala klinis, tapi mangkir ketika mau diperiksa, berbohong, dan tidak diawasi. KOMPLEKS memang. Karena sekarang semua sudah pada urusannya masing-masing. Tapi pada satu kasus ini, saya belajar bahwa butuh 1-2 bulan akhirnya satu prosedur bisa jalan. Dan semua akan meledak pada waktunya. Mungkin ini asal mula kenapa bisa satu kampung ODP, satu kampung positif. Hanya karena dua hal : kebohongan dan kelalaian.
Dan kisah ini asalnya sangat dekat dengan saya. Saya dan keluarga bisa terdampak. Belum lagi ancaman dari jalur penularan suami yang sudah WFO. Entah nanti dapat dari yang mana (semoga Allah jaga kami). Saya merasa terkepung. Meskipun saya stay at home, tapi ternyata virus ini sudah sebegitunya mengepung. Kenapa? Karena di luar sana banyak orang-orang yang memaksakan diri dan tak tahan nafsu dunia. Siapa mereka? Apakah termasuk kalian? Saya harap bukan.
Saya berharap teman-teman adalah orang yang taat aturan, taat protokol dan pribadi tangguh yang mampu menahan diri. Semua orang mendambakan hal yang sama, yaitu semua kembali pada kondisi sebelum pandemi ini datang. Yang membedakan sekarang hanya dua hal, siapa yang lebih sabar dan siapa yang lebih tahu diri. Hidup memang Allah yang atur, hidup mati ditanganNya, tapi tentu Allah juga akan menilai, siapa yang benar benar menjaga nyawanya dengan baik dan sungguh -sungguh. Karena kehidupan adalah rezeki dari Allah, menjadi lalai dan abai adalah salah satu tanda kalau kurang bersyukurnya kita. Saya berdoa kenceng, agar teman-teman saya tak tergelincir. Karena sekarang sudah banyak, yang diawal aktif mengedukasi dan menjaga diri, sekarang malah ikut tergelincir gagal melawan nafsu dan sulit menahan diri. Sedikit saran jika berkenan, jikalaupun suata saat kalian melakukan "Pelanggaran protokol" Karena satu dan lain hal, please nggak usah diposting di medsos. Karena itu sama saja kalian mengajak orang lain melakukan kesalahan yang sama. Tutuplah aibmu, untuk menyelamatkan kehidupan orang lain. Namun lebih baik lagi, tahanlah dirimu untuk memberi contoh yang baik, sehingga penderitaan penduduk bumi segera berakhir.
Doakan saya istiqomah dan kita semua yang sudah berikhtiar dijaga oleh Allah dari virus yang mematikan ini. Sungguh saya tak ingin takabbur dan sombong dengan meremehkan pandemi ini. Terakhir, terimakasih untuk kalian yang teguh mengedukasi, yang terus menjaga diri, menjaga jarak, mengikuti protokol. Kalian adalah orang-orang hebat, Allah tahu itu. Dan kelak jika takdir sampai pada kita, semoga semua ini terekam dengan baik sebagai bahan pertimbangan Allah, bahwa kita layak dimaksudkan pada kelompok orang-orang yang menang melawan hawa nafsu dunia.
Jaga diri kalian.
Isti A.