Menyajikan info terkini dunia pendidikan dan berita berita menarik

Selamat Datang Di Birulangitid

Wednesday, July 29, 2020

BOLEHKAH PANITIA QURBAN MENDAPAT JATAH DAGING QURBAN ?

2 comments
https://www.birulangit.id/
Sumber Gambar : Freepik.com


oleh Edison (bang edy ustadz)

Birulangitid-Saban tahun dalam penyelenggaraan ibadah qurban, kita saksikan di beberapa Masjid ketika sesi pembagian daging qurban, maka bersamaan dengan itu pula, panitia dan tukang jagal diberikan jatah khusus daging qurban atas nama ‘’upah’’ sebagai panitia dan tukang jagal. Banyak juga kemudian kalangan yang mempertanyakan pembagian jatah khusus ini.

Jumhur ulama 4 madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbali) sepakat bahwa tukang jagal yang diamanahkan oleh peserta qurban untuk mengurusi penyelenggaraan qurban tidak boleh mendapat jatah daging sembelihan sebagai upah. Dalil yang jadi rujukan ulama cukup jelas, yakni hadits tentang “kepanitiaan” Sayyidina Ali RA mengurusi hewan qurban Rasulullah SAW. Ali RA berkata :


Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau SAW bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim)


Sebenarnya, inti larangan tersebut berkaitan  dengan larangan Nabi SAW untuk menjual kulit hewan qurban. Jika kita memberikan upah tukang jagal dengan daging sembelihan; itu sama saja bertransaksi dengan daging sembelihan sebagai bayaran atas jasa tukang jagal.


Tukang jagal boleh mendapatkan jatah daging kurban asalkan bukan atas nama upah


Sejatinya tukang jagal tidak terlarang untuk mendapatkan jatah asalkan jatahnya itu bukan sebagai upah dan bayaran jagalnya. Tukang jagal berhak mendapatkan jatah daging qurban karena memang merupakan warga sekitar yang namanya masuk dalam nama penerima hewan qurban. Jika tukang jagal dari kalangan orang mampu, maka mereka bisa menerimanya atas nama hadiah, namun jika tukang jagal berasal dari kalangan fakir dan miskin, maka jalur penerimaannya adalah sebagai sedekah. Sehingga perlu ditekankan dalam hal ini bahwa tukang jagal boleh menerima jatah daging qurban asalkan tidak sebagai upah.


Hal tersebut dikemukakan oleh Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaily dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu :


Kalau tukang jagal itu diberikan seberapa bagian dari daging kurban karena ia faqir atau sebagai bentuk hadiah, maka itu tidak mengapa, karena ia memang berhak sebagaimana yang lainnya. Bahkan ia lebih utama untuk menerima daging hewan qurban.


Lantas bagaimana cara membayar upah tukang jagal ?


Maka untuk menjawab pertanyaan tersebut, menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari untuk menyiapkan sejumlah uang tambahan sebagai bayaran tukang jagal atas jasa jagalnya, tidak dengan daging qurban. Di negeri kita Indonesia, sudah mafhum setiap tahunnya bahwa dana qurban masing-masing peserta qurban sudah termasuk beban biaya operasional penyelenggaraan qurban dan upah panitia serta tukang jagal, selain biaya utama untuk pembelian hewan qurban yang dimaksud.


Jadi, apakah tetap tidak boleh menjual kulit hewan qurban ?


Karena daging hewan qurban, termasuk kulitnya hanya boleh disedekahkan atau diberikan sebagai hadiah, maka jumhur ulama dari kalangan madzhab-madzhab fiqih melarang menjual semua bagian hewan qurban termasuk kulitnya.


Abu Hurairah RA meriwayatkan hadits bahwa, Nabi SAW bersabda :


Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim)


Kasus yang sering dijumpai, memang sangat jarang warga yang mau menerima kulit hewan qurban baik sebagai hadiah maupun sedekah, ditambah jika tidak ada yang mampu mengolah kulit hewan qurban menjadi benda bermanfaat lainnya seperti bedug atau sandal kulit hewan qurban bisa jadi terbuang begitu saja. Untuk menuntaskan masalah tersebut, maka madzhab Al Hanafiyah membolehkan praktek menjual kulit dan bahkan daging qurban. Akan tetapi penjualannya tidak mutlak, melainkan dibatasi dengan syarat uang hasil penjualannya kembali disedekahkan kepada fakir miskin. Ibnu Nujaim, salah seorang ulama madzhab Al Hanafiyah dalam kitab Tabyiin Al Haqaaiq  menyebutkan :


Kalau –kemudian- daging itu dijual dengan uang dan hasilnya disedekahkan, itu boleh; karena itu juga bagian dari ibadah seperti sedekah dengan kulit dan daging.


Artikel merupakan artiklel lanjutan dari yang kemaren lho ADAKAH PANITIA QURBAN DI MASA NABI SAW ?

sumber
Ahmad Zarkasih, Antara Pekurban, Panitia dan Tukang Jagal, Jakarta : Rumah Fiqih Publishing, 2020

2 comments: