BirulangitId-Kenyataan Hagia Sophia kembali dipergunakan sebagai masjid oleh Presiden Turki Erdogan dengan mengacu pada putusan pengadilan, memang telah membuat heboh dunia. Terjadi berbagai sikap pro kontra. Negara-negara dengan budaya barat menolak.
Begitu pula, terasa melalui berita di media massanya, sebagian negara di kawasan Arab yang terindikasi menjadi seteru Turki, juga ada terasa ada nada enggan. Tapi ini lebih karena sentimen politik masa kini dan masa lalu karena pernah menjadi bagian imperium Ottoman.
Bagaimana dengan Indonesia? Jawabnya, sampai hari ini belum ada suara resmi, meski di media massa dan sosial terjadi keseruan pembahasan. Namun bagi orang Indonesia ada pertanyaannya lebih penting yakni: Apakah soal Hagia Sofia dan Turki terjejak di bumi Nusantara? Lalu seperti apa contohnya?
Jawabnya pasti belum banyak tahu bila Ottoman Turki begitu banyak meninggalkan jejak.Yang berbau politik kekuasaan atau yang serius misalnya, soal pengaruh penyebaran Islam dan pendirian kerajaan atau kesultanan Demak misalnya. Pendirian kesultanan ini jelas sekali terpengaruh Ottoman. Ini berbeda dengan buaya barat yang selalu punya sebutan pejoratif kepada Ottoman yang disebut mereka Turki. Dan mana ini kemudian ditabalkan pada nama ayam yang besar yang kita kenal sebagai kalkun.
Sebutan merendahkan lain barat kepada Ottoman misalnya terjejak dalam kisah horor harus hantu haus darah yang bernama drakula. Padahal bagi Ottoman dia adalah seorang pangeran dan komandan tempur yang luar biasa. Pejoratif lainnya adalah sebutan nama masjid yang mereka pun plesetkan menjadi nama nyamuk: Mosquito.
Dan kembali kepada soal pengaruh Ottoman yang terjadi di masa sebelum dan awal pendirian Demak, salah seorang 'Wali Sanga', Sunan Gunung Jati memang sempat dua kali ke Makkah untuk beribadah haji dan mencari restu kepada Syarif Makkah yang kala itu menjadi lambang perwakilan kekuasaan Ottoman. Sunan Gunung Jati pergi menemuinya tujuannya jelas untuk meminta perlindungan dari sebuah kerajaan mungil yang akan baru lahir di wilayah pantai utara terhadap Ottoman yang kala itu eksis menjadi imperium dunia.
Apa buktinya? Soal ini telah diakui langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat pembukaan konggres umat Islam di Yogyakarta beberapa tahun silam. Sultan mengatakan pengaruh Turki di Kesultanan Demak terjejak pada sebuah bendera yang kini disebut ‘bendera pusaka’ Kiai Tunggul Wulung. Bendera yang selalu dikirapkan setiap terjadi wabah yang meluas ternyata berasal dari kain kiswah yang diberikan perwakilan atau gubernur Turki di Makkah alias Syarif Makkah kala awal pendirian Demak itu. Bendara Tunggu Wulung kini tersimpan dan menjadi pusaka Kraton Jogja.
Tindakan yang sama di masa kemudian dilakukan oleh Sultan Agung pada dekade kedua tahun 1600-an. Saat itu dia mengirimkan utusan dari Jogja ke Makkah untuk meminta restu penggunaan gelar Sultan mengantikan gelar raja ala Majapahit, yakni Susuhunan atau Sunan. Sepulang dari sana selain mendapat izin memakai gelar Sunan (sekalgus mendapat legitimasi dan perlindungan dari Turki), Sultan Agung juga mendapat oleh-oleh, seperti air zamzam yang di tempatkan dalam sebuah wadah yang kemudian dilestarikan di pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri yang disebut gentong Nyi dan Ki Enceh. Bahkan dalam babad tanah Jawa disebut bukit Imogiri itu berasal dari pasir yang ada di Makkah yang kala itu wilayah Ottoman.
Pengaruh Ottoman dalam dunia hiburan di Indonesia
Soal pengaruh Ottoman di Nusantara saya pernah tanyakan kepada sahabat saya asal Balkan (lahir di Serbia) yang kemudian menyelesaikan pendidikan pasca sarjanya di Malayia, Edin Hadzalik. Dia mengatakan, “Pada suatu hari duta besar Turki pernah berkata bila banyak sekali arsip Ottoman tentang Indonesia yang belum dibuka. Bahkan jumlahnya mencapai 20.000 an arsip. Ingat Ottoman sangat suka dan rapi mencatat. Cuma memang arsip itu belum dibuka karena memakai bahasa Turki dan harus punya keahlian khusus untuk membacanya!”
Nah, dalam soal Ottoman, terkhusus pada pengaruh arsitektur Hagia Sophia, yang kubahnya kemudian menjadi ide masjid-masjid yang megah di Turki, ternyata terbawa ke Nusantara. Padahal ide awalnya hanya dengan model kubah saja orang dapat membuat bangunan bentangan ruangan yang luas tanpa tiang. Kala itu teknologi beton tanpa tulang belum ditemukan
Alhasil, kemudian terlihat jelas dengan begitu banyaknya gaya masjid di Indonesia yang menggunakan kubah hingga hari ini. Masjid Raya di Banda Aceh yang punya lima kubah misalnya jelas sekali itu masjid dengan bangunan model masjid ala Ottoman. Cuma masjid lama di Demak, Jogja, dan Solo saja yang berbeda. Mereka mempergunakan gaya Joglo.
Tak hanya soal masjid, model tata kota-kota di Jawa pada masa lalu dirancang dengan model Turki. Di pusat ibu kota kerajaan hingga kota kabupaten letak istana atau tempat tinggal penguasa diatur sedemikian rupa. Lazimnya di sebelah depan kraton atau pendopo bupati selalu terdapat lapangan luas, di sebelah kanan ada masjid, di sebelah kiri ada penjara, dan agak terpisah dari itu ada pasar. Dan sayangnya tata kota yang filosofis ini kini sudah banyak yang ambyar atau sedikit sisanya.
Lalu apa jejak Ottoman tidak ada pada kebudayaan yang tak mengerutkan keining atau bersifat hiburan misalnya? Bagi generasi yang menyebut diri sebagai milenial mungkin tak tahu, bahwa ada satu jenis lagu dalam musik keroncong (jangan-jangan apa itu musik Kroncong juga tidak tahu) ada yang bernama atau mempunyai beat ‘Stanbul’. Stanbul ini adalah nama yang kini disebut Istanbul. Dan dalam sejarah dunia teater panggung di Indonesia pada tahun awal abad 1900-an, ada grup sandiwara ala Turki (Opera Bangsawan) yang sangat terkenal yang bernama Dardanela.
Bila ingin tahu asal-muasal lagu Stambul dalam keroncong adalah perkawinan lagu Portugis yang bernada Arab dengan kebanyakan memakai ekpresi nada minor. Lagu ini dimainkan dengan instumen musik flute, gitar, dan sejenis mandolin atau ukulele namun lebih mungil, yang dikenal di sini sebagai keroncong.
Lalu mengapa ada nada Arab dan instrumen berbau Arab menyelinap masuk dalam lagu Portugis? Semua harus ingat bahwa Ottoman pernah menguasai Portugis bahkan Spanyol sangat lama (711 –1492). Dan harus diingat gitar itu juga sebenarnya juga berasal dari alat music petik sejenis Oud yang kemudian disebut sebagai qitara.
Di masa kini jelas-jelas apa yang disebut Musik Latin itu terpengaruh musik Arab. Lagu penyanyi Mesir Amir Diab yang mendapat penghargaan Grammy: 'Noor Al Ein' salah satu contoh konkritnya.
Lagi pula harus paham pula di sisi yang lain, ternyata terbukti begitu banyak sumbangan ilmuwan Islam dalam dunia musik. Ulama besar Al Farabi misalnya mengawali adanya piano. Bahkan ada satu soal yang sangat serius dalam musik yang kita kenal, yakni adanya (solmisai) atau tujuh tingkat titi nada ‘do, re, mi fa, sol, la, si, do’: yang pencetus idenya adalah ilmuwan Muslim Al Khawarizmi.
Dan khusus bila melihat sejarah masuknya 'Keroncong Stambul' dengan mengutip kajian jurnal PEDAGOGIAVol. 1, No. 2, Juni 2012, diperkirakan musik ini ada setelah datangnya orang-orang Gujarat di perairan Indonesia. Mulai datang di Jakarta pada masa sebelum dan awal perang dunia I dan dibawa oleh opera bangsawan yang dikenal dengan nama Opera Jafar Turky dari Medan.
Kedatangan bangsa Gujarat masuk ke tanah air, sangat banyak mengundang simpati masyarakat pribumi, terutama yang tergabung dalam organisasi Islam. Mereka sangat bersimpati pada kerajaan Turki dengan ibukotanya Istambul.Perkataan “stamboel” berasal dari “Istamboel” ibukota negara Turki.
Repertoar yang dipilih Komedi Stamboel mula-mula berasal dari cerita 1001 malam seperti; Aladin dengan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan 40 Penyamun, Hawa Majelis, Sinbad Tukang Ikan, dan sebagainya. Juga dipentaskan Jula Juli Bintang
Tiga lagu keroncong stambul itu yang merupakan repertoar kegemaran teater bangsawan. Musik dan nyanyian pengiring yang menghidupkan suasana sangat diperlukan dalam drama ini.
Dengan masuknya komedi stambul atau tonil dari Turki seperti Dardanela, melahirkan bentuk komposisi baru yang disebut Stambul. Dardanela adalah salah. kelompok yang terkenal di Jakarta yang dipimpin oleh seorang tokoh stambul bernama Jamilah.
Uniknya, berbeda dengan musik keroncong yang lazimnya berlirik, namun lain dengan stambul. Cara mainnya dalam gitar keroncong gaya ‘stambul’ dapat dimainkan sebagai instrument tunggal. Melodi musiknya mengingatkan kita pada musik padang pasir negara timur tengah atau nyanyian melayu Sumatra Timur.
Begitu pula, terasa melalui berita di media massanya, sebagian negara di kawasan Arab yang terindikasi menjadi seteru Turki, juga ada terasa ada nada enggan. Tapi ini lebih karena sentimen politik masa kini dan masa lalu karena pernah menjadi bagian imperium Ottoman.
Bagaimana dengan Indonesia? Jawabnya, sampai hari ini belum ada suara resmi, meski di media massa dan sosial terjadi keseruan pembahasan. Namun bagi orang Indonesia ada pertanyaannya lebih penting yakni: Apakah soal Hagia Sofia dan Turki terjejak di bumi Nusantara? Lalu seperti apa contohnya?
Jawabnya pasti belum banyak tahu bila Ottoman Turki begitu banyak meninggalkan jejak.Yang berbau politik kekuasaan atau yang serius misalnya, soal pengaruh penyebaran Islam dan pendirian kerajaan atau kesultanan Demak misalnya. Pendirian kesultanan ini jelas sekali terpengaruh Ottoman. Ini berbeda dengan buaya barat yang selalu punya sebutan pejoratif kepada Ottoman yang disebut mereka Turki. Dan mana ini kemudian ditabalkan pada nama ayam yang besar yang kita kenal sebagai kalkun.
Sebutan merendahkan lain barat kepada Ottoman misalnya terjejak dalam kisah horor harus hantu haus darah yang bernama drakula. Padahal bagi Ottoman dia adalah seorang pangeran dan komandan tempur yang luar biasa. Pejoratif lainnya adalah sebutan nama masjid yang mereka pun plesetkan menjadi nama nyamuk: Mosquito.
Dan kembali kepada soal pengaruh Ottoman yang terjadi di masa sebelum dan awal pendirian Demak, salah seorang 'Wali Sanga', Sunan Gunung Jati memang sempat dua kali ke Makkah untuk beribadah haji dan mencari restu kepada Syarif Makkah yang kala itu menjadi lambang perwakilan kekuasaan Ottoman. Sunan Gunung Jati pergi menemuinya tujuannya jelas untuk meminta perlindungan dari sebuah kerajaan mungil yang akan baru lahir di wilayah pantai utara terhadap Ottoman yang kala itu eksis menjadi imperium dunia.
Apa buktinya? Soal ini telah diakui langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat pembukaan konggres umat Islam di Yogyakarta beberapa tahun silam. Sultan mengatakan pengaruh Turki di Kesultanan Demak terjejak pada sebuah bendera yang kini disebut ‘bendera pusaka’ Kiai Tunggul Wulung. Bendera yang selalu dikirapkan setiap terjadi wabah yang meluas ternyata berasal dari kain kiswah yang diberikan perwakilan atau gubernur Turki di Makkah alias Syarif Makkah kala awal pendirian Demak itu. Bendara Tunggu Wulung kini tersimpan dan menjadi pusaka Kraton Jogja.
Tindakan yang sama di masa kemudian dilakukan oleh Sultan Agung pada dekade kedua tahun 1600-an. Saat itu dia mengirimkan utusan dari Jogja ke Makkah untuk meminta restu penggunaan gelar Sultan mengantikan gelar raja ala Majapahit, yakni Susuhunan atau Sunan. Sepulang dari sana selain mendapat izin memakai gelar Sunan (sekalgus mendapat legitimasi dan perlindungan dari Turki), Sultan Agung juga mendapat oleh-oleh, seperti air zamzam yang di tempatkan dalam sebuah wadah yang kemudian dilestarikan di pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri yang disebut gentong Nyi dan Ki Enceh. Bahkan dalam babad tanah Jawa disebut bukit Imogiri itu berasal dari pasir yang ada di Makkah yang kala itu wilayah Ottoman.
Pengaruh Ottoman dalam dunia hiburan di Indonesia
Soal pengaruh Ottoman di Nusantara saya pernah tanyakan kepada sahabat saya asal Balkan (lahir di Serbia) yang kemudian menyelesaikan pendidikan pasca sarjanya di Malayia, Edin Hadzalik. Dia mengatakan, “Pada suatu hari duta besar Turki pernah berkata bila banyak sekali arsip Ottoman tentang Indonesia yang belum dibuka. Bahkan jumlahnya mencapai 20.000 an arsip. Ingat Ottoman sangat suka dan rapi mencatat. Cuma memang arsip itu belum dibuka karena memakai bahasa Turki dan harus punya keahlian khusus untuk membacanya!”
Nah, dalam soal Ottoman, terkhusus pada pengaruh arsitektur Hagia Sophia, yang kubahnya kemudian menjadi ide masjid-masjid yang megah di Turki, ternyata terbawa ke Nusantara. Padahal ide awalnya hanya dengan model kubah saja orang dapat membuat bangunan bentangan ruangan yang luas tanpa tiang. Kala itu teknologi beton tanpa tulang belum ditemukan
Alhasil, kemudian terlihat jelas dengan begitu banyaknya gaya masjid di Indonesia yang menggunakan kubah hingga hari ini. Masjid Raya di Banda Aceh yang punya lima kubah misalnya jelas sekali itu masjid dengan bangunan model masjid ala Ottoman. Cuma masjid lama di Demak, Jogja, dan Solo saja yang berbeda. Mereka mempergunakan gaya Joglo.
Tak hanya soal masjid, model tata kota-kota di Jawa pada masa lalu dirancang dengan model Turki. Di pusat ibu kota kerajaan hingga kota kabupaten letak istana atau tempat tinggal penguasa diatur sedemikian rupa. Lazimnya di sebelah depan kraton atau pendopo bupati selalu terdapat lapangan luas, di sebelah kanan ada masjid, di sebelah kiri ada penjara, dan agak terpisah dari itu ada pasar. Dan sayangnya tata kota yang filosofis ini kini sudah banyak yang ambyar atau sedikit sisanya.
Lalu apa jejak Ottoman tidak ada pada kebudayaan yang tak mengerutkan keining atau bersifat hiburan misalnya? Bagi generasi yang menyebut diri sebagai milenial mungkin tak tahu, bahwa ada satu jenis lagu dalam musik keroncong (jangan-jangan apa itu musik Kroncong juga tidak tahu) ada yang bernama atau mempunyai beat ‘Stanbul’. Stanbul ini adalah nama yang kini disebut Istanbul. Dan dalam sejarah dunia teater panggung di Indonesia pada tahun awal abad 1900-an, ada grup sandiwara ala Turki (Opera Bangsawan) yang sangat terkenal yang bernama Dardanela.
Bila ingin tahu asal-muasal lagu Stambul dalam keroncong adalah perkawinan lagu Portugis yang bernada Arab dengan kebanyakan memakai ekpresi nada minor. Lagu ini dimainkan dengan instumen musik flute, gitar, dan sejenis mandolin atau ukulele namun lebih mungil, yang dikenal di sini sebagai keroncong.
Lalu mengapa ada nada Arab dan instrumen berbau Arab menyelinap masuk dalam lagu Portugis? Semua harus ingat bahwa Ottoman pernah menguasai Portugis bahkan Spanyol sangat lama (711 –1492). Dan harus diingat gitar itu juga sebenarnya juga berasal dari alat music petik sejenis Oud yang kemudian disebut sebagai qitara.
Di masa kini jelas-jelas apa yang disebut Musik Latin itu terpengaruh musik Arab. Lagu penyanyi Mesir Amir Diab yang mendapat penghargaan Grammy: 'Noor Al Ein' salah satu contoh konkritnya.
Lagi pula harus paham pula di sisi yang lain, ternyata terbukti begitu banyak sumbangan ilmuwan Islam dalam dunia musik. Ulama besar Al Farabi misalnya mengawali adanya piano. Bahkan ada satu soal yang sangat serius dalam musik yang kita kenal, yakni adanya (solmisai) atau tujuh tingkat titi nada ‘do, re, mi fa, sol, la, si, do’: yang pencetus idenya adalah ilmuwan Muslim Al Khawarizmi.
Dan khusus bila melihat sejarah masuknya 'Keroncong Stambul' dengan mengutip kajian jurnal PEDAGOGIAVol. 1, No. 2, Juni 2012, diperkirakan musik ini ada setelah datangnya orang-orang Gujarat di perairan Indonesia. Mulai datang di Jakarta pada masa sebelum dan awal perang dunia I dan dibawa oleh opera bangsawan yang dikenal dengan nama Opera Jafar Turky dari Medan.
Kedatangan bangsa Gujarat masuk ke tanah air, sangat banyak mengundang simpati masyarakat pribumi, terutama yang tergabung dalam organisasi Islam. Mereka sangat bersimpati pada kerajaan Turki dengan ibukotanya Istambul.Perkataan “stamboel” berasal dari “Istamboel” ibukota negara Turki.
Repertoar yang dipilih Komedi Stamboel mula-mula berasal dari cerita 1001 malam seperti; Aladin dengan Lampu Wasiat, Ali Baba dengan 40 Penyamun, Hawa Majelis, Sinbad Tukang Ikan, dan sebagainya. Juga dipentaskan Jula Juli Bintang
Tiga lagu keroncong stambul itu yang merupakan repertoar kegemaran teater bangsawan. Musik dan nyanyian pengiring yang menghidupkan suasana sangat diperlukan dalam drama ini.
Dengan masuknya komedi stambul atau tonil dari Turki seperti Dardanela, melahirkan bentuk komposisi baru yang disebut Stambul. Dardanela adalah salah. kelompok yang terkenal di Jakarta yang dipimpin oleh seorang tokoh stambul bernama Jamilah.
Uniknya, berbeda dengan musik keroncong yang lazimnya berlirik, namun lain dengan stambul. Cara mainnya dalam gitar keroncong gaya ‘stambul’ dapat dimainkan sebagai instrument tunggal. Melodi musiknya mengingatkan kita pada musik padang pasir negara timur tengah atau nyanyian melayu Sumatra Timur.
Sumber Republika.co.id