Penulis adalah Dosen, Peneliti, Penggiat Dakwah dan Pendidikan Agama Islam serta Narasumber di berbagai Forum
Birulangitid-Dengan darah dan air mata, telah kita beli kemerdekaan ini. Syukur Alhamdulillah, kita telah mempunyai negara yang benar, bangsa yang besar di antara ratusan bangsa yang ada di dunia saat ini. Salah satu dasar yang telah kita pilih adalah kebangsaan. Akan tetapi, rasa kebangsaan, bisa mendorong munculnya kekuatan, namun bisa juga menimbulkan chauvinisme (kebangsaan yang sempit akibat cinta tanah air yang berlebihan).
Dengan chauvinisme bisa sampai muncul ucapan : ‘’Yang di awak segala benar, yang di orang segala bukan’’. Rasa kebangsaan yang berlebihan bisa menimbulkan hitlerisme, dan itulah yang menghancurleburkan Jerman. Kebangsaan yang demikian jika menyeruak di Republik ini, dapat memecahkan persatuan yang telah kita capai dan kemerdekaan yang telah ada di genggaman kita ini.
Tidaklah berlebihan, bila Buya Hamka mengatakan bahwa ajaran agama Islam telah turut menanamkan rasa kesatuan kebangsaan yang ada sekarang ini, sejak ratusan tahun yang lalu. Ajaran Islam menekankan sikap bakti di manapun berada. Berkali-kali sejarah menunjukkan bahwa orang dari daerah lain, dikarenakan jasa dan perjuangannya membela Islam dan tanah air dapat menjadi orang besar dalam suatu negeri di kepulauan nusantara ini.
Sunan Gunung Jati, Fatahillah, atau Maulana Hidayatullah adalah keturunan berdarah Arab dan Aceh, namun Islam yang beliau bawa diterima di Jawa Barat dan beliau pula yang mendirikan Kerajaan Bantam dan Cirebon. Berkali-kali pula keturunan Arab menjadi Sultan di Aceh, di Siak, Pontianak dan Perlis (Malaya). Sultan Deli pula adalah keturunan raja-raja Moghul berdarah India.
Orang Melayu Malaka mengembara dan menyiarkan Islam ke Makassar, dihormati sebagai saudara seagama, dan di Makassar sampai sekarang gelar Incek masih dipakai oleh keturunan Melayu di Sulawesi.
Putra Bugis Makassar pun mengembara ke seluruh Nusantara, berjuang dan menyebarkan Islam. Karaeng Galesong pergi ke Madura, diterima menjadi menantu oleh Trunojoyo. Syaikh Yusuf Tajul Khalwati mengembara dari Makassar sampai ke Bantam, lalu diterima menjadi mufti Kerajaan Bantam oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Keturunan Bugis juga dirajakan di Aceh, bahkan sampai tujuh keturunan.
Si Untung yang dulunya budak berasal dari Bali, diberi gelar bangsawan Surapati oleh Sultan Cirebon dan diberi gelar bangsawan pula oleh Amangkurat Mataram, karena si Untung ini masuk Islam dan meninggalkan berhala yang dulu disembahnya. Ki Gedeng Suro bangsawan Demak pula menjadi raja Islam pertama Kerajaan Palembang.
Islam tidak membedakan antara keturunan Arab Sayyid dengan budak belian dari Bali dan pengembara Bugis, semuanya diterima dengan ahlan wa sahlan, yang dihitung bukan bangsa dan keturunan, tapi bakti, jasa dan tujuan hidupnya.
Bertambah dalam keIslaman di suatu daerah, bertambah luas dadanya menerima tetamu, hatta walaupun tetamu itu bukan Muslim, dan ini tetap berlaku di setiap masa. Tatkala Saudara Hoetasoit (ex. Sekjen Kern. PP dan K) dan Ir. Sitompul berkantor darurat di daerah Minangkabau di zaman Agresi Belanda II, mereka disambut di kampung-kampung seperti menyambut keluarga juga, walaupun orang sekampung itu tahu mereka bukan Muslim.
Pada masanya, Tuan I.J. Kasimo, Menteri yang bukan beragama Islam juga diberikan penghormatan yang sama dengan Dr. Soekiman Menteri yang juga tokoh Masyumi ketika mereka berkunjung ke kampung-kampung yang berpenduduk Muslim di Pulau Jawa.
Demikian tingginya ajaran Islam yang memandang orang karena baktinya bukan karena suku bangsanya. Kita harus kembali kepada ajaran Islam itu dalam membina kebangsaan kita yang sekarang ini. Itulah perekat yang asli, teladan dari langit. Adapun upaya mengadu domba hanyalah pusaka jahiliyah yang meninggalkan dendam dan sakit hati.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75
17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2020
والله أعلم بصواب
Sumber : Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Jakarta : Gema Insani, 2017