Sumber Gambar : gema insani press |
Edison (bang edy ustadz)
Penulis adalah Dosen, Peneliti, Penggiat Dakwah dan Pendidikan Agama Islam serta Narasumber di berbagai Forum
Birulangitid-Di bulan Agustus ini kita memperingati hari ulang tahun Provinsi Riau dan akan kita jelang pula Hari Proklamasi kemerdekaan. Dari Riau inilah dahulunya datang apa yang disebut Bahasa Melayu Riau, yang dijadikan bahasa persuratan, bahasa ilmu pengetahuan. Kita telah berpisah dengan saudara kita sedarah Malaysia sejak dipisahkan oleh Raffles pada tahun 1819 M, tetapi kita belum pernah merasa berpisah dalam budaya. Kita tidak merasa berpisah dalam bahasa. Kita tidak pernah merasa berpisah dalam agama yang dipeluk oleh golongan terbesar, yaitu agama Islam.
Di Riau ini pula sangat banyak sisa kebesaran yang mesti kita gali. Di sini banyak bertemu nama-nama kerajaan zaman lama. Sejak Pra Sriwijaya, Darmawangsa, Pagayurung, Temasik, Riau, Lingga, Kandis dan Kuantan, Indragiri, Siak Sri Indrapura, dan beberapa kerajaan lain.
Di sini kaya dengan nama-nama pahlawan lama dan pahlawan baru, yang akan jadi kebanggan. Sejak Paduka Raja, Sultan Mansur Syah Malaka, Sultan Ahmad Syah bin Sultan Mahmud Syah, Sultan Mahmud Syah Kampar, Laksamana Hang Tuah dan lain-lain. Di sini terdapat Pakih Shaleh, Haji Muhammad Shaleh, yang disebut juga Harimau Rokan, Dalu-Dalu, itulah Tuanku Tambusai, pahlawan Paderi terakhir.
Di sini terdapat nama yang gemilang, Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau, Syahid Fi Sabilillah Teluk Ketapang, yang menggapai syahidnya sembari memegang badik Bugis di tangan kanan, dan surat Dalailul Khairat di tangan kiri. Di sini terdapat pula seorang sarjana Islam yang besar, ahli sejarah dan bahasa, tempat bertanya soal hukum-hukum agama. Raja Ali Haji, yang memancarkan sinar ilmu pengetahuan dari Pulau Penyengat.
Di sini, di zaman baru terdapat seorang Raja Melayu yang pertama sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia pada bulan Oktober 1945. Beliau menyerahkan 13.000.000 Gulden untuk menyokong perjuangan kemerdekaan RI. Itulah beliau Yang Dipertuan Besar Sri Sultan As Sayyid As Syarif Hasyim Abduljalil Saifuddin Al Ba’alwi, Sultan Siak.
Di sini muncul pula seorang pemuda yang hanya mendapat didikan surau, bukan keluaran sekolah tinggi Eropa atau sekolah kolonial. Pemuda itulah yang memimpin penaikkan bendera Merah Putih pertama kalinya di daerah Kampar, yaitu Ustadz Mahmud Marzuki dibantu dengan murid-muridnya. Beliau ditangkap oleh Jepang, diinjak-injak dadanya dan dikirik-kirik dengan kaki, tetapi Sang Merah Putih tetap naik, dan sang Ustadz tetap bahagia meski tak lama kemudian beliau syahid karena dadanya remuk akibat siksaaan itu.
Di sini pula terdapat suatu tempat yang sekarang telah bergabung dalam Provinsi Riau, yaitu Candi Muara Takus. Menurut informasi dari susunan adat, Muara Takus awalnya termasuk Luhak Limapuluh Koto, yang di zaman Belanda adalah Ibukota Negeri Payakumbuh. Namun, tetiba karena kemunculan air gedang, maka sekaligus tepian berubah, tergabunglah Lima Koto Bangkingang ke dalam Provinsi Riau yang sekarang dan lantaran itu terbawa masuk pula Muara Takus. Maka dalam mengenali sejarah Riau, dengan sendirinya Muara Takus menjadi objek penting untuk diteliti dan didiskusikan tentang di manakah sebenarnya letak Sriwijaya lama itu, di Bukit Siguntang Mahameru yang di Sumatera Selatan, atau yang di Lima Koto itu.
Penting sekali menyelidiki sejarah Riau dalam rangka penyelidikan sejarah tanah air Indonesia. Dengan mempelajari sejarah Riau, kita mendapat tambahan kekayaan untuk membina kepribadian kita sebagai bangsa yang besar.
Selamat Ulang Tahun Provinsi Riau yang ke-63
09 Agustus 1957 – 9 Agustus 2020
والله أعلم بصواب
Sumber : Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Jakarta : Gema Insani, 2017