Oleh Edison (bang edy ustadz)
Penulis adalah Dosen, Peneliti, Penggiat Dakwah dan Pendidikan Agama Islam serta Narasumber di berbagai Forum.
Birulangitid-Dalam pemaparan makna hijrah berdasarkan asal kata, telah disebutkan bahwa akar kata hijrah adalah kata hajr yang bermakna meninggalkan (Attarku), berpaling (Al-I’rodh), memutus (Al-Qath’u) dan menahan (Al-Man’u). Namun istilah hajr–dengan difathahkannya huruf ra’– mempunyai makna dan cakupan yang berlainan. Para ulama fiqih mengemukakan istilah hajr dengan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi hajr dijelaskan sebagai berikut :
Pertama. Hajr Al Akh Al Muslim, maksudnya adalah mengambil sikap untuk menjauhi dan tidak berkomunikasi dengan sesama saudara muslim karena disebabkan suatu permusuhan atau perselisihan. Para ulama sepakat bahwa melakukan hajr terhadap saudara sesama muslim adalah haram jika sampai melebihi tiga hari sejak pertikaian itu terjadi. Bahkan ancamannya semakin besar jika dalam waktu melebihi tiga hari antara Muslim tersebut masih juga menampakkan permusuhan.
Dari Abu Hurairah RA, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, jika ia tetap mendiamkan hingga lebih dari tiga hari lalu meninggal dunia, maka ia masuk ke dalam neraka.” (HR. Abu Dawud)
Kedua. Hajr Al Maal, yakni adalah menahan harta untuk tidak digunakan oleh pemilik harta dalam hal ini seperti anak yang belum baligh, orang gila, orang tua pikun dan orang idiot. Penyebabnya bisa karena si empunya harta tersebut dianggap belum atau bahkan tidak mempunyai kecakapan yang memadai dalam mengelola harta, dan jika harta tersebut tetap digunakan secara bebas oleh si empunya harta, maka akan mendatangkan bahaya pada dirinya adan orang lain.
Ketiga. Hajr Az-Zawjah An-Naasyizah. Hal ini terkait dengan interaksi suami dan isteri. Di mana, jika istri tidak melaksanakan kewajibannya terhadap suami, maka suami berhak untuk mendidik istrinya. Salah satu bentuk didikan yang diperbolehkan menurut syariat kepada suami atas istrinya adalah Al-Hajr Fil Madhoji’ atau berpisah secara fisik dari tempat tidur dalam rangka memberikan didikan psikologis kepada istrinya itu.
Kemaksiatan yang dilakukan isteri terhadap suami disebut dalam terminologi fiqih dengan istilah nusyuz. Istri yang melakukan hal tersebut digelari dengan sebutan naasyiz atau nasyizah. Perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kekufuran yang memang tidak sampai mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya dan diistilahkan oleh Nabi SAW dengan kalimat Kufron Al-‘Asyir.
Bentuk Hajr yang keempat adalah Hajr Al-Mujahir bi Al-Ma’shiyah. Maksudnya adalah Hajr untuk tidak menjalin komunikasi dan interaksi terhadap orang-orang yang secara sengaja menampakkan perbuatan maksiatnya. Bentuk Hajr jenis inilah yang pernah Rasulullah SAW – terapkan sebagai eksekusi hukuman terhadap tiga orang sahabat beliau yakni Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah yang meninggalkan jihad saat perang Tabuk hingga turun ayat yang menerima taubat mereka dalam surat At Taubah ayat 118.
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
#MuharramMulia
والله أعلم بصواب
Sumber: Dikembangkan dari buku : Isnan Ansory, Hijrah dalam Perspektif Fiqih Islam, Jakarta : RFP, 2020