Oleh Edison (bang edy ustadz)
Penulis adalah Dosen, Peneliti, Penggiat Dakwah dan Pendidikan Agama Islam serta Narasumber di berbagai Forum.
Birulangitid-Jika syariat telah menyebutkan adanya rukhsah untuk menampakkan ketaatan, terutama yang fardhu dan bahkan amalan sunnah pada saat-saat tertentu, akan tetapi syariat Islam yang hanif ini tidak menetapkan adanya keringanan untuk menampakkan dosa dan kemaksiatan. Ada beberapa sebab berkenaan dengan hal ini :
Pertama, Jika kita terjebak melakukan kedurhakaan kepada Allah SWT, maka kita diperintahkan untuk menutupinya dengan tutupan Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits : Jauhilah perbuatan-perbuatan keji yang dilarang Allah. Barangsiapa mengerjakan sebagian darinya, maka hendaklah dirinya menutupi dengan tutupan Allah SWT. (HR. Al Hakim)
Hendaknya si pelaku maksiat menunjukkan ketidaksukaan atas kedurhakaan yang muncul dari orang selainnya sebagaimana dirinya tidak suka jika kemaksiatan itu muncul dari dirinya sendiri. Mukmin itu tidak menyukai untuk saudaranya apa-apa yang tidak dia sukai untuk dirinya.
Kedua, untuk menjaga terkoyaknya tabir tutupannya yang memicu kemaksiatan lainnya lagi. Semakin banyak butir dosa dalam relung jiwa seseorang, maka akan semakin sulit dirinya untuk meninggalkannya. Kekhawatiran tersingkapnya tabir maksiat di dunia harus muncul sebagaimana akan tersingkapnya semua tabir di akhirat. Makanya di antara doa yang dilantunkan orang-orang shalih adalah : Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menutupi aib kami di dunia, maka tutupilah aib kami di akhirat, dan janganlah Engkai hinakan kami di hadapan orang-orang yang menyaksikan.
Ketiga, agar orang lain tidak meniru dosa serupa. Cukuplah dirinya saja yang melakukan kedurhakaan itu, lalu bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa kedurhakaan itu bisa menular seperti virus dan kuman bahkan bisa bermutasi dan berinovasi menjadi kemaksiatan yang lebih besar lagi. Maka segera putus rantai penyebarannya sedini mungkin.
Maka dari itu, si pelaku maksiat harus menyembunyikan kemaksiatannya itu, sekalipun di hadapan orang yang paling dekat dengannya seperti isteri, suami, anak, orang tua, kerabat dan asisten rumah tangganya.
Keempat, agar dirinya tidak menjadi orang-orang yang membanggakan kejahatannya. Dalam Ashahihain, disebutkan hadits dari Abu Hurairah RA : Setiap umatku diampuni kecuali orang-orang yang menampakkan kedurhakaannya. Sungguh keterlauan jika seseorang melakukan suatu amal di malam hari, kemudian membeberkannya di siang hari, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya… (Muttafaq ‘Alaihi)
Kelima, agar rasa malu yang ada pada dirinya berperan untuk tercegahnya kedurhakaan yang lebih meluas lagi. Keenam, agar dirinya termasuk golongan orang-orang yang disaksikan sebagai orang baik oleh manusia lainnya. Ketujuh, dengan tidak menampakkan kemaksiatannya, diharapkan orang-orang tidak mencelanya atau bahkan menimpakan celaan yang kelewat batas, dan dengan sendirinya hal itu akan mencegah kegaduhan di masyarakat. Dan agar dirinya tidak semakin menderita jika celaan itu muncul dan menyebar, atau demi menghindari gangguan balasan atas maksiat yang dilakukannya. Demikianlah, ternyata dengan menyembunyikan dosa, maka dampak lebih parah atas dosa itu bisa diminimalisir, sedangkan jika suatu maksiat ditampakkan, maka ganjaran dosanya akan semakin lebih besar lagi.
والله أعلم بصواب
#HijrahNiat
Ig : @edison_bangedyustadz
Sumber Dikembangkan dari buku : Yusuf Qardhawi, Niat dan Ikhlas, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2002