Birulangitid-Kita, sebagai sesama ibu, biasanya punya cerita yang sama. Kalau bukan tentang rumah tangga, ya tentang anak.
Tentang anak, lebih banyak lagi pasti ceritanya. Mulai yang bikin mesem-mesem sendiri, sampai yang bikin nangis-nangis sendiri.
Suatu siang, saya duduk diam. Waktu itu, saya sedang memandangi anak-anak yang asyik bermain. Asiyah baru 3 tahun, sementara Uwais belum sampai setahun. Tempat tinggal kami di 3rd-level; lantai pertama dihitung sebagai G-level (ground level). G-level, 1st level, 2nd level, dan 3rd level.
Bangunan itu tergolong low-rise building. Jadi, tak ada lift. Naik-turun mesti manual, alias pakai tangga. Makanya, aktivitas kami sangat terbatas. Kalau mau mengajak anak-anak main ke bawah, sangat jarang kami membawa turun sepeda. Mesti nunggu ada suami yang bisa bantu mengangkat.
Tentang anak, lebih banyak lagi pasti ceritanya. Mulai yang bikin mesem-mesem sendiri, sampai yang bikin nangis-nangis sendiri.
Suatu siang, saya duduk diam. Waktu itu, saya sedang memandangi anak-anak yang asyik bermain. Asiyah baru 3 tahun, sementara Uwais belum sampai setahun. Tempat tinggal kami di 3rd-level; lantai pertama dihitung sebagai G-level (ground level). G-level, 1st level, 2nd level, dan 3rd level.
Bangunan itu tergolong low-rise building. Jadi, tak ada lift. Naik-turun mesti manual, alias pakai tangga. Makanya, aktivitas kami sangat terbatas. Kalau mau mengajak anak-anak main ke bawah, sangat jarang kami membawa turun sepeda. Mesti nunggu ada suami yang bisa bantu mengangkat.
Keterbatasan gerak itu juga yang membuat aktivitas week-days kami lebih banyak di rumah. Tiga orang tetangga pun sibuk masing-masing. Apalagi yang orang kantoran: pergi pagi, pulang sore.
Anak-anak sih senang-senang saja. Toh mereka bisa lari-lari dalam rumah, karena kami tidak punya perabotan. Hanya kasur dan meja. Kursi pun cuma ada satu, untuk dipakai suami.
Sedangkan saya, waktu itu merasa “terkunci”. Toko buku jauh, warung jauh, tempat pengajian jauh. Kalau siang hari mau buka laptop, mesti ditunda karena masih ada anak-anak yang perlu ditemani.
Pernah terpikir bahwa hidup saya saat itu monoton sekali. Bahkan sudah sampai level membosankan. Apalagi dengan pola aktivitas yang nyaris mirip tiap harinya.
Tapi renungan siang itu mengubah pola pikir saya hingga hari ini.
Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saat duduk diam siang itu, saya jadi ingat batu-bata. Apa mungkin karena setiap hari saya mendengar suara alat konstruksi di dekat apartemen kami. Wallahu a’lam. Yang paling saya ingat, sambil menemani Asiyah dan Uwais yang bermain saat itu, terlintaslah frasa “batu-bata kehidupan”.
Tiba-tiba terlintas self-reminder. Bahwa “kebosanan” saya itu bukan hal yang sia-sia. Karena saya sedang menyusun batu-bata kehidupan Asiyah dan Uwais. Dua anak ini adalah rezeki dari Allah, amanah dari Allah, dan tabungan kehidupan untuk saya dan suami.
Batu-bata adalah penyusun bangunan. Batu-bata yang kecil itu disusun hingga berjumlah banyak, dicampur semen, pasir, dan tanah. Diberi pondasi, diplester, dicat. Diberi ornamen. Semua itu menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh dan megah.
Anak-anak kadang meminta hal yang sepele di mata kita. Mereka minta ditemani bermain rumah-rumahan. Atau minta dibikinkan gambar pesawat. Kadang minta diajari naik sepeda. Dan ketika sedang masa toilet-training, kita mengepel ceceran kencingnya entah berapa kali sehari.
Anak-anak terbata-bata belajar membaca. Sebanyak anak menyerah untuk berlatih menulis, sebanyak itu pula kita terus menyemangatinya.
Anak-anak minta dibacakan cerita favoritnya, kadang sampai berulang-ulang. Anak-anak pengen ditemani ngobrol, pengen diladeni pertanyaan-pertanyaannya.
Andai kita rinci 24 jam sehari habis untuk apa, mungkin anak-anak mengambil 2/3 nya.
Berkali-kali saya mengingatkan diri sendiri, mengulang-ulang ucapan dalam hati, bahwa saya sedang menyusun batu-bata kehidupan anak-anak. Dan itu insyaallah tidak akan sia-sia.
Orang besar pun pasti pernah melewati masa kecil
Hidup kita, kita sendiri yang menjalani, sedangkan orang lain hanya melihat. Hidup orang lain, mereka yang menjalani, sedangkan kita hanya melihat. Bila kita semata melihat tanpa pernah mengalami langsung, mungkin perlu usaha lebih untuk mendapat feel-nya.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia secerdas Bapak B.J. Habibie. Paten yang mendunia, penghormatan akademis di negeri orang, hingga teorema sains yang diaplikasikan di dunia teknologi sampai hari ini. Namun, apakah sependek itu cerita hidup beliau? Ternyata tidak, Ibu-ibu. Ada seorang janda penuh jasa di balik hidup beliau. Ibunya, seorang janda yang bertekad membesarkan dan mendidik anak-anaknya meski berjuang sendiri sepeninggal suaminya.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia sehebat Shalahuddin Al-Ayyubi. Nama Shalahuddin senantiasa tersemat kala kita baca sejarah manis umat Islam – pembebasan Al-Aqsha. Tapi, adakah kita tahu bagaimana Shalahuddin kecil sudah berhijrah bersama ayah-bundanya di tengah kekacauan politik saat itu? Bagaimana rasanya hidup di tengah deru perang? Di tengah hidup yang serba manual – tanpa rice cooker, mesin cuci, apalagi internet! – orang tua Shalahuddin mampu membesarkan sosok Shalahuddin sang Pembebas Al-Aqsha.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia sejenius Imam Asy-Syafi’i. Seorang anak miskin, yatim pula. Namun ibunya adalah seorang wanita shalihah yang cerdas sekaligus tegar. Kemiskinan bukanlah alasan yang bisa membuatnya putus asa. Semangat itulah yang turut beliau benamkan dalam jiwa anaknya, Asy-Syafi’i.
Itu baru tiga contoh orang-orang besar yang biografinya mampu membuat kita terperangah. Bila hanya sebatas mencari bahan bacaan, kisah sukses mereka sudah cukup memecut kita. Namun bila kita – utamanya kita sebagai ibu – ingin meneropong lebih jauh ke masa lalu mereka, tentu kita akan dapati bahwa buah yang manis tak bisa tiba-tiba tumbuh dalam hitungan jam. Ada keringat, ada air mata, ada doa, ada semangat … dan ada kesabaran. Semuanya itu yang membuat hasil perjuangan terasa sangat manis.
Membesarkan anak bayi yang unyu-unyu hingga menjadi sosok yang tangguh bukan sebatas mengajarinya pandai calistung. Ada tahapan-tahapan kecil yang akan silih-berganti selama 24 jam non-stop setiap hari. Ompolnya ketika tidur, hilir-mudiknya ketika bangun. Rewelnya di tengah malam, tawanya di tengah siang. Senyumnya karena senang, tangisnya karena sedih.
Sejatinya, setiap jerih payah kita dalam membesarkan anak-anak – sekecil apa pun itu – adalah batu-bata kehidupan bagi mereka. Sedikit demi sedikit, insyaallah batu-bata itu akan terbangun menjadi bangunan yang megah dan kokoh. Jangan terburu-buru menyerah kala menghadapi kesulitan, “Ya sudah. Capek bangun rumah dari batu-bata, bikin gubuk dari jerami aja.”
Sudah sunnatullah, kebaikan akan berbalas kebaikan. Itu, Allah sendiri yang telah menjanjikan,
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
(QS. Ar-Rahman: 60)
Sumber ummiummi.com
Sedangkan saya, waktu itu merasa “terkunci”. Toko buku jauh, warung jauh, tempat pengajian jauh. Kalau siang hari mau buka laptop, mesti ditunda karena masih ada anak-anak yang perlu ditemani.
Pernah terpikir bahwa hidup saya saat itu monoton sekali. Bahkan sudah sampai level membosankan. Apalagi dengan pola aktivitas yang nyaris mirip tiap harinya.
Tapi renungan siang itu mengubah pola pikir saya hingga hari ini.
Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saat duduk diam siang itu, saya jadi ingat batu-bata. Apa mungkin karena setiap hari saya mendengar suara alat konstruksi di dekat apartemen kami. Wallahu a’lam. Yang paling saya ingat, sambil menemani Asiyah dan Uwais yang bermain saat itu, terlintaslah frasa “batu-bata kehidupan”.
Tiba-tiba terlintas self-reminder. Bahwa “kebosanan” saya itu bukan hal yang sia-sia. Karena saya sedang menyusun batu-bata kehidupan Asiyah dan Uwais. Dua anak ini adalah rezeki dari Allah, amanah dari Allah, dan tabungan kehidupan untuk saya dan suami.
Batu-bata adalah penyusun bangunan. Batu-bata yang kecil itu disusun hingga berjumlah banyak, dicampur semen, pasir, dan tanah. Diberi pondasi, diplester, dicat. Diberi ornamen. Semua itu menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh dan megah.
Anak-anak kadang meminta hal yang sepele di mata kita. Mereka minta ditemani bermain rumah-rumahan. Atau minta dibikinkan gambar pesawat. Kadang minta diajari naik sepeda. Dan ketika sedang masa toilet-training, kita mengepel ceceran kencingnya entah berapa kali sehari.
Anak-anak terbata-bata belajar membaca. Sebanyak anak menyerah untuk berlatih menulis, sebanyak itu pula kita terus menyemangatinya.
Anak-anak minta dibacakan cerita favoritnya, kadang sampai berulang-ulang. Anak-anak pengen ditemani ngobrol, pengen diladeni pertanyaan-pertanyaannya.
Andai kita rinci 24 jam sehari habis untuk apa, mungkin anak-anak mengambil 2/3 nya.
Berkali-kali saya mengingatkan diri sendiri, mengulang-ulang ucapan dalam hati, bahwa saya sedang menyusun batu-bata kehidupan anak-anak. Dan itu insyaallah tidak akan sia-sia.
Orang besar pun pasti pernah melewati masa kecil
Hidup kita, kita sendiri yang menjalani, sedangkan orang lain hanya melihat. Hidup orang lain, mereka yang menjalani, sedangkan kita hanya melihat. Bila kita semata melihat tanpa pernah mengalami langsung, mungkin perlu usaha lebih untuk mendapat feel-nya.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia secerdas Bapak B.J. Habibie. Paten yang mendunia, penghormatan akademis di negeri orang, hingga teorema sains yang diaplikasikan di dunia teknologi sampai hari ini. Namun, apakah sependek itu cerita hidup beliau? Ternyata tidak, Ibu-ibu. Ada seorang janda penuh jasa di balik hidup beliau. Ibunya, seorang janda yang bertekad membesarkan dan mendidik anak-anaknya meski berjuang sendiri sepeninggal suaminya.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia sehebat Shalahuddin Al-Ayyubi. Nama Shalahuddin senantiasa tersemat kala kita baca sejarah manis umat Islam – pembebasan Al-Aqsha. Tapi, adakah kita tahu bagaimana Shalahuddin kecil sudah berhijrah bersama ayah-bundanya di tengah kekacauan politik saat itu? Bagaimana rasanya hidup di tengah deru perang? Di tengah hidup yang serba manual – tanpa rice cooker, mesin cuci, apalagi internet! – orang tua Shalahuddin mampu membesarkan sosok Shalahuddin sang Pembebas Al-Aqsha.
Kita mungkin tak henti-hentinya terkagum-kagum dengan Allah yang telah menciptakan manusia sejenius Imam Asy-Syafi’i. Seorang anak miskin, yatim pula. Namun ibunya adalah seorang wanita shalihah yang cerdas sekaligus tegar. Kemiskinan bukanlah alasan yang bisa membuatnya putus asa. Semangat itulah yang turut beliau benamkan dalam jiwa anaknya, Asy-Syafi’i.
Itu baru tiga contoh orang-orang besar yang biografinya mampu membuat kita terperangah. Bila hanya sebatas mencari bahan bacaan, kisah sukses mereka sudah cukup memecut kita. Namun bila kita – utamanya kita sebagai ibu – ingin meneropong lebih jauh ke masa lalu mereka, tentu kita akan dapati bahwa buah yang manis tak bisa tiba-tiba tumbuh dalam hitungan jam. Ada keringat, ada air mata, ada doa, ada semangat … dan ada kesabaran. Semuanya itu yang membuat hasil perjuangan terasa sangat manis.
Membesarkan anak bayi yang unyu-unyu hingga menjadi sosok yang tangguh bukan sebatas mengajarinya pandai calistung. Ada tahapan-tahapan kecil yang akan silih-berganti selama 24 jam non-stop setiap hari. Ompolnya ketika tidur, hilir-mudiknya ketika bangun. Rewelnya di tengah malam, tawanya di tengah siang. Senyumnya karena senang, tangisnya karena sedih.
Sejatinya, setiap jerih payah kita dalam membesarkan anak-anak – sekecil apa pun itu – adalah batu-bata kehidupan bagi mereka. Sedikit demi sedikit, insyaallah batu-bata itu akan terbangun menjadi bangunan yang megah dan kokoh. Jangan terburu-buru menyerah kala menghadapi kesulitan, “Ya sudah. Capek bangun rumah dari batu-bata, bikin gubuk dari jerami aja.”
Sudah sunnatullah, kebaikan akan berbalas kebaikan. Itu, Allah sendiri yang telah menjanjikan,
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
(QS. Ar-Rahman: 60)
Sumber ummiummi.com