Birulangitid-Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Fatoni menyampaikan bahwa terdapat delapan faktor pemicu konflik pertanahan di Indonesia.
Dikutip dari mediacenter.riau.go.id Adapun delapan faktor tersebut, diantaranya penguasaan dan pemilikan tanah aset BUMN dan tanah di kawasan hutan, penetapan hak atas tanah, batas dan letak bidang tanah, pengadaan tanah.
Selanjutnya, tanah objek land-reform, tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah ulayat atau masyarakat hukum adat, pelaksanaan putusan pengadilan.
"Sejak tahun 2017 hingga semester dua tahun 2018 telah memfasilitasi konflik pertanahan sebanyak 487 kasus yang tersebar di Indonesia," ujarnya dalam webinar konflik pertanahan di Indonesia secara virtual yang disiarkan melalui YouTube Badan Litbang Kemendagri, Jumat (22/1/2021).
Fatoni menuturkan, peran Kemendagri dalam penyelesaian konflik pertanahan memiliki cakupan yang luas dan mampu melakukan fungsi fasilitasi dan koordinasi di pusat dan ke pemerintah daerah. Maka konflik pertanahan menjadi perhatian serius agar Kemendagri turut berperan menemukan solusi pencegahan, meminimalisir maupun penyelesaian konflik.
Ia menambahkan, Kemendagri secara konsisten tetap berkomitmen terhadap penyelesaian berbagai konflik di bidang pertanahan yaitu melakukan kebijakan fasilitasi dan koordinasi kepada pemerintah daerah agar mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
"Kemendagri menjalankan fungsi sebagai fasilitator atau koordinator dan melakukan pembinaan," terangnya.
Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Nur Hari Cahya Murni menambahkan, Kemendagri akan terus mengawal proses setiap kebijakan nasional termasuk dalam bidang pertanahan dengan memberikan arahan, fasilitasi, koordinasi dan supervisi serta mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan berbagai hal.
Seperti, menginstruksikan program dan kegiatan dalam menunjang penyelesaian sengketa dan konflik dalam RPJMD, RKPD dan APBD provinsi/kabupaten/kota, menginventarisasi tanah kosong atau tanah terlantar untuk diusulkan menjadi tanah negara yang akan di retribusikan kepada masyarakat melalui koordinasi antara pemda, kanwil, kantah BPN dan stakeholder.
Mendorong pemda melaksanakan kegiatan yang dapat mendukung penyelesaian konflik dan pelaksana reforma agraria melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) provinsi dan kabupaten/kota, mendukung pencapaian target penyelesaian konflik dan target reforma agraria yang menjadi prioritas nasional melalui mediasi konflik bersama stakeholder.
"Selanjutnya memperkuat koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan program dan kegiatan di tingkatan pemerintah pusat dan daerah melalui rakortekbangda," terang Nur Hari Cahya Murni.