Oleh Afrianto Daud
Birulangitid-Ramadhan sering juga disebut dengan 'syahrut tarbiyah' atau bulan pendidikan. Disamping sebutan lain, seperti 'bulan ampunan', 'bulan kebaikan', 'bulan seribu bulan', 'penghulu dari semua bulan', dan sebagainya.
Sebagai bulan pendidikan, Ramadhan bisa dipahami sebagai sekolah yang tak pernah selesai. Ramadhan selalu datang setiap tahun menjadi momen belajar memperbaiki diri untuk setiap hamba yang beriman. Setiap insan memiliki kesempatan yang luas untuk terus berguru pada bulan bernama Ramadhan.
'La'allakum tattaquun', demikian ayat di akhir surat Al-Baqarah 183, ayat tentang kewajiban berpuasa yang sudah sangat sering kita dengar. Dalam konteks kurikulum pendidikan, frase 'mudah-mudahan kamu menjadi hamba yang bertaqwa' itu bisa dipahami sebagai bentuk 'outcome based education (OBE)'.
OBE adalah sebuah pendekatan pendidikan yang berorientasi pada hasil atau luaran. Sebuah proses pendidikan hanya dianggap sukses jika menghasilkan peserta didik yang bisa mencapai target-target konten kurikulum yang telah ditetapkan di awal. Luaran itu nanti akan terlihat setelah proses pembelajaran selesai.
Dalam konteks sekolah bernama Ramadhan, puasa tidaklah hanya sekedar menahan lapar dan haus, tetapi yang paling penting adalah ada outcome/luaran yang dihasilkan sebagai hasil proses menahan lapar dan haus dan melaksanakan segala yang Allah dan Rasulullah anjurkan ketika berpuasa. Sebutlah itu zikir, istighfar, do'a, infak, sedekah, dan amalan baik lainnya.
Outcome itu benama 'taqwa'. Ini adalah istilah yang sudah sangat sering dibahas. Tapi, sebagai sekolah yang tak pernah usai, hasil bernama taqwa ini masih perlu terus diulang.
Taqwa memiliki dimensi yang sangat luas. Bisa dibahas panjang dan berjilid-jilid buku. Tapi, jika hendak disingkat, ketaqwaan itu minimal tercermin pada dua hal: kesolehan pribadi dan kesolehan sosial.
Puasa idealnya bisa menjadi jalan pelakunya untuk memiliki kesolehan pribadi. Menjadi orang yang lebih baik di mata Allah dan Rasulnya. Puasa, misalnya, bisa kembali menempa diri seseorang untuk menjadikan Allah sebagai motivasi beramal dan sebagai tempat mengembalikan semua amalan (baca:ikhlas). Karena berpuasa adalah amalan yang unik. Amal yang tak bisa dilihat langsung oleh manusia lain. Hanya Allah dan mereka yang berpuasa yang benar-benar tahu amal puasa seseorang.
Puasa juga seyogianya bisa menempa diri menjadi seseorang yang shabar dalam menjalani kehidupan. Inti puasa adalah 'menahan', termasuk menahan diri dari rasa marah, menahan diri dari rasa kecewa kepada manusia, menahan diri untuk tidak memakan hak-hak orang lain, bersabar dengan ujian, termasuk bersabar dengan segala kesulitan hidup. Sabar adalah sebaik-baik respon dalam menghadapi apapun bentuk ujian Allah SWT.
Masih banyak lagi sifat-sifat kebaikan di level individu yang bisa dibentuk dari proses puasa. Ini termasuk sikap jujur, disiplin, sederhana, positive thinking, optimis, dan banyak karakter baik lainnya.
Baik sebagai individu penting, tetapi dia tidak cukup untuk sampai pada luaran muttaqin. Kita juga perlu terus belajar bagaimana menjadi seseorang dengan 'kesolehan sosial'. Ini adalah mereka yang tidak hanya baik sebagi pribadi, tetapi juga berfikir dan berbuat bagaimana menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan pada orang lain. Mereka juga terlibat dalam usahan sistematis 'memperbaiki' orang lain.
Puasa adalah momentum spesial yang mengajarkan manusia untuk mengontrol egonya, mengatur keakuannya, mulai berfikir dan memberi manfaat bagi orang lain. Ini karena selama Ramadhan kita diajarkan untuk memiliki empati kepada mereka yang tidak berpunya, kita dianjurkan untuk memberi makanan berbuka untuk orang lain, memperbanyak infak, sedekah, dan membayarkan zakat.
Singkatnya Ramadhan adalah guru yang melatih kita untuk mau memberi dan berbagi dengan orang lain. Ramadhan adalah sekolah filantropis terbaik yang pernah ada. Idealnya, setelah kurikulum Ramadhan ini selesai, makin banyak alumni yang memiliki jiwa filantropis ini. Para pejuang sosial yang tak bisa hidup nyaman jika melihat masih banyak orang lain yang hidup susah di sekitarnya.
Ramadhan adalah pendidik terbaik yang mengajarkan jiwa manusia bahwa kebahgiaan hakiki manusia bukanlah saat dia mendapatkan sebanyak-banyaknya untuk dirinya, tetap sa'at dia mampu memberi dan berbagi manfa'at untuk orang lain. Ini diantara sikap mental mereka yang memiliki 'kesolehan sosial' itu.
Dunsanak,
Mumpung sekolah Ramadhan ini baru saja dimulai kembali, mari kita belajar dengan sunggu-sungguh, sehingga nanti kita bisa keluar dengan 'outcome' muttaqin dengan segala karakteristiknya itu.
Ammiin.
Selamat berbuka puasa untuk dunsanak semua! 🙂