Birulangitid-Kesiapsiagaan dalam mengidentifikasi wilayah yang berpotensi sangat dibutuhkan oleh pemerintah daerah sehingga dampak korban jiwa dapat dihindari. Hal tersebut sangat beralasan mengingat sebagian besar wilayah Indonesia yang akan memasuki musim hujan pada September hingga November 2021.
Dikutip dari mediacenter.riau.go.id Curah hujan dapat menjadi salah satu pemicu bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan tanah longsor. Namun faktor lain dapat berkontribusi sebagai pemicu bencana tersebut, seperti gangguan kestabilan lereng atau pemanfaatan lahan tanpa adaptasi kondisi geologi lokal. Menyikapi berbagai faktor serta informasi prakiraan musim hujan, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah memetakan potensi gerakan tanah pada September 2021.
Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Dr. Ir. Agus Budianto menyampaikan bahwa pihaknya telah mengeluarkan peta prakiraan wilayah potensi terjadinya gerakan tanah pada September 2021. Pada peta tersebut tampak wilayah dengan warna merah, kuning dan hijau. Menurutnya, daerah merah merupakan wilayah dengan potensi tinggi untuk terjadinya Gerakan tanah. Pada zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, sedangkan Gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Namun Agus memberikan catatan, bukan berarti wilayah dengan warna hijau itu aman.
“Jalur hijau ya tidak, ada jalur air, jalur sungai di sana. Bantaran sungai juga ada di sana. Warna merah kuning hijau bukan berarti sama atau berbeda tetapi ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi,” ujar Agus dalam talkshow tim intelijen, pada Kamis (2/9/2021).
Agus juga menyampaikan bahwa suatu wilayah yang teridentifikasi titik longsor patut diwaspadai karena ini dapat memicu longsor di sekitar kawasan pada masa yang akan datang. Terkait dengan hal ini, ia berharap BPBD membantu dalam mendokumentasikan titik longsor lama untuk pembelajaran ke depan dan untuk membangun kesiapsiagaan.
Meskipun sebagian wilayah Indonesia memasuki musim hujan, kondisi curah hujan tinggi belum tentu menyebabkan gerakan tanah. Agus menyampaikan hal tersebut akan dipengaruhi oleh faktor lokal, seperti perubahan lahan, retakan dan jalur air dan pemukiman.
Sementara itu, perwakilan dari Direktorat Bina Operasi dan Pemeliharaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Edwin Alexander S.T.P., MPSDA menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan upaya mitigasi struktural dan nonstruktural.
Pada mitigasi struktural, Edwin menyampaikan bahwa Kementerian PUPR telah melakukan pembangunan bendungan, seperti bendungan Cimahi, Sukamahi dan Jatibarang. Ia mengatakan bahwa bendungan itu ada yang memiliki multfungsi dan fungsi tunggal. Selain itu, mitigasi struktural juga menyasar pembangunan atau perbaikan tanggul, kolam regulasi, remedial bendungan serta operasi dan pemeliharaan prasarana.
Ia menambahkan terkait dengan nonstruktural, khususnya pada upaya pencegahan yang dilakukan dengan penyuluhan, penanaman pohon dan penataan kawasan bendungan.
Pada kesempatan itu, akademisi Perdinan, Ph.D., MNRE mengatakan bahwa dalam menyikapi potensi bencana dibutuhkan modalitas dan kesiapan. Modalitas ini bisa mencakup pesan yang dapat direspons sehingga tumbuh aksi kesiapsiagaan, khususnya warga yang berpotensi terpapar bahaya, dapat mengantisipasi, mencegah atau meminimalkan dampak bencana.
“Pilihan aksi yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan pemanfaatan teknologi, seperti satelit, model, portal, dalam memastikan kebutuhan aksi sesuai terjemahan informasi prediksi,” ucap Perdinan sebagai moderator pada acara talkshow virtual yang mengundang seluruh BPBD di Indonesia.
Perdinan menekankan pada pemberdayaan masyarakat dan kapasitas daerah sangat vital dalam akselerasi aksi berdasarkan informasi prediksi dan diseminasinya serta rekomendasinya sesuai ancaman yang dihadapi pada musim hujan tahun ini.